1. Hari yang Sakral

124K 5.9K 229
                                    

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha 'alal mahril madzkur wa radhitu bihi wallahu waliyu taufiq."

"Sah?"

"SAH!"

Suara ijab qobul itu terdengar sampai di kamarku. Ya, mulai detik ini aku menjadi istri seorang Gus Aidar Farid Asyraf. Air mataku merembes keluar.

"Wes tho Ra, make up-mu luntur iku," tutur Mbak Shila, kakak perempuanku. Dia sudah menikah dengan Mas Fatih dan Alhamdulillah sudah di karuniai seorang putra bernama Saka Putra Pratama, yang masih berumur tiga tahun.

Mbak Shila menghapus air mataku yang terus mengalir. "Ndak bisa, Mbak. Nggak tahu kenapa air mata ini terus mengalir," tuturku.

Pintu di ketuk. Mbak Shila berjalan ke arah pintu untuk membukanya. Terlihat lelaki jangkung yang memakai jas hitam dengan bawahan sarung, tak lupa peci hitam di atas kepalanya. Dia suamiku, Gus Aidar.

Mbak Shila pamit keluar. Tersisalah aku dengan Gus Aidar. Suasana canggung menyergapi di antara kita, apalagi kita sudah lama tak bertemu, ya aku memang mengenalnya, dia kakak kelasku waktu MA. Di pertemukan kembali waktu acara lamaran minggu lalu. Tapi aku yakin dia tak mengenalku.

Gus Aidar menghampiriku yang masih terduduk di ranjang. Ia duduk di sampingku, meraih tangan kananku, ia meraih sesuatu di saku jas atasnya.

Cincin, ya cincin pernikahan. Gus Aidar memakaikan cincin itu ke jari manis kananku. Aku mengulurkan tanganku saat ia selesai memakaikanmu cincin. Tapi tak menjawab apapun. Juga tanpa ada adegan dia memegang puncak kepalaku lalu membacakan do'a, sedang aku meng-Aamiin-kan.

"Ayo turun," ucapnya. Sedangkan aku hanya mampu mengangguk. Sakit yang aku rasakan.

Kami keluar dari kamarku yang sudah ku tempati 22 tahun ini. Aku hanya mengikutinya, kita menuruni tangga. Memang rumah Abi terdapat dua lantai. Saat di pertengahan tangga Gus Aidar tiba-tiba berhenti, ia meraih tanganku untuk di genggamnya. Aku melangkah untuk menyamakan posisiku dengannya. Sebenarnya aku kesusahan dengan kebaya putih modern yang melekat di tubuhku.

"Pengantin lama banget keluarnya," ucap seorang laki-laki yang tak ku kenal. Aku hanya menunduk tak berani mendongak.

Tangan Gus Aidar masih menggenggamku, ia menuntunku ke arah meja penghulu, di sana sudah ada Abi dan tentunya ada ayah mertuaku.

.
.
.

Aku sedang berganti baju, di kamar milikku. Kini aku berganti memakai gaun berwarna peach. Tak hanya baju, jilbab pun di ganti beserta pernak-perniknya.

"Cantik, Ning," tutur Mbak periasnya.

Aku tersenyum manis. "Hehe makasih, Mbak. Kan berkat Mbak-nya juga yang meriasku," ucapku padanya. Ia sedang merapikan alat-alat make up itu yang tentu aku tak tahu namanya. Sedangkan make up ku hanya, bedak tabur dan celak hitam.

"Emang udah cantik, di apa-apain tetep cantik, Ning," ucapnya.

Aku hanya tersenyum menggeleng.

"Saya, keluar dulu ya, Ning," pamitnya.

Aku mengangguk.

Pintu tadi yang tidak tertutup rapat kini terbuka sedikit lebar. Siapa lagi kalau bukan suamiku.

"Ayo," ucapnya. Aku hanya menurutinya. Tak seperti tadi, saat aku sudah sampai di depan pintu, Gus Aidar meraih tanganku untuk di genggamnya.

Acara selanjutnya adalah resepsi. Banyak teman dan teman Gus Aidar yang mengucapkan selamat pada kami. Tentu juga para santri.

Tamu undangan lumayan banyak, tentu teman-teman Abi semasa beliau mondok. Banyak juga kyai-kyai sohib Abi yang ada di sini.

Seharian bak menjadi Ratu di sini, membuat kaki pegal rasanya. Bagaimana tidak, aku terus saja berdiri, saat aku menatap wajah Gus Aidar, pandangannya menetap pada salah satu tamu. Aku mengikuti arah pandangnya.

Siapa orang Dilihat Gus Aidar sampai segitunya. Bentar, tapi aku melihat seorang gadis berhijab, yang sedang berbincang dengan tamu lain. Kadang sesekali tertawa.

Mataku sudah berkaca-kaca, tentu aku mengenalnya. Dia, Fiya sahabatku. Lengkapnya adalah Fiyana Amanda.

Akhirnya air mataku jatuh tak dapat dapat lagi aku menahan. Jadi benar, jika rumor waktu MA, Gus Aidar suka sama Fiya. Rasanya berat sekali, aku, suami dan sahabatku terlibat cinta segitiga.

Tapi setahuku Fiya menyukai salah satu teman kampusnya dulu, memang aku dan Fiya masih satu kampus. Makanya kami bersahabat dekat.

Oh Allah, cobaan apa ini. Aku memejamkan mataku sebentar. Apa aku kuat mengadapi suamiku yang mencintai perempuan lain ketimbang istrinya.

Bukan aku mengira saja, tapi aku yakin, jika Gus Aidar memang menyukai Fiya, sahabatku. Apalagi pandangannya yang saat ini menatap Fiya.

Biarlah aku mencintainya dalam do'aku. Ku meminta pada-Nya, agar terbukanya cinta suamiku padaku. Aku memang mencintai Gus Aidar dari waktu aku kelas satu MA, sedangkan waktu itu Gus Aidar kelas tiga MA.

Aku juga tak tahu, kalau dia adalah seorang Gus, yang kutahu dia adalah santri di tempatku mondok dulu waktu MA.

Fiya menghampiriku, mengucapkan selamat untukku, mungkin. Pandangan Gus Aidar terus mmenatap ke arah Fiya, sampai Fiya berada di depanku.

Fiya memelukku, dan memberiku selamat atas pernikahanku.

.
.
.

Malam harinya, setelah melaksanakan shalat berjamaah di musholla rumah aku di tuntun oleh Umi dan Mbak Shila ke kamarku. Aku memasuki kamarku, sedang Umi dan Mbak Shila sudah balik.

Aku langsung menuju ke lemari untuk mengambil baju gantiku lalu masuk ke kamar mandi.

Saat aku keluar dari kamar aku menemukan suamiku duduk di ranjang. Aku menghampirinya. "Mau pakai kamar mandinya, Gus?"

"Hm."

Dia berjalan ke arah lemari. Mungkin untuk meraih baju ganti.
Aku mengikutinya. "Biar saya ambilkan, Gus," ucapku.

Ia memberi ruang untuk aku. Aku memilih kaos hitam. Karena hampir sebagian kaos yang di bawakan oleh Ummah, ibu mertuaku berwarna hitam dan putih.

"Sarung saja," ucapnya saat aku mau mengambilkan celana pendek lalu aku menyerahkannya. Lalu ia melenggang pergi begitu saja. Tanpa sepatah kata apapun.

Dia melenggang pergi begitu saja. Aku meraih ponselku yang ada di atas nakas. Ada banyak pesan yang mengucapkan selamat. Mataku berhenti pada nama kontak 'Gus Zaka'

{Selamat Ning, atas pernikahannya. Semoga langgeng, sakinah, mawaddah warahmah}

Itulah pesan yang di kirimkan padaku. Aku hanya menjawab, 'Aamiin'.

Pintu kamar mandi di buka, siapa lagi pelakunya kalau bukan Gus Aidar.

"Belum tidur," ucapnya. Aku hanya tersenyum sembari menggeleng.

"Tidurlah, udah malam," ucapnya. Aku tersenyum tipis.

Senyumku luntur begitu saja, saat ia meraih bantal. Apa dia akan tidur di sofa? Seperti novel-novel yang aku baca?

"Saya tidur di sofa saja. Ma'af saya belum bisa tidur satu ranjang denganmu," ujarnya.

Sakit hati ini ya Allah. Air mataku merembes keluar. Aku mengusapnya, agar Gus Aidar tak melihatnya.

Apakah ini yang di namakan malam pertama yang indah?

.
.
.

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Artinya: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."

210920

Untukmu Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang