4. Mencintai karena Allah

41K 4.1K 119
                                    

Semoga hari esok akan lebih baik dari hari sekarang.

~Naira Sazia Akyra~

_________

"Eh ada, Aidar. Kok berdiri di situ sih. Sini duduk bareng kita, ya kan, Nduk?" ucap Ummah padaku. Aku masih tak percaya, sejaka kapan ada Gus Aidar di sana? Apa dia mendengar ucapanku dengan Ummah? Semoga saja tidak.

Gus Aidar duduk di samping Ummah, dan posisinya jadi, Ummah sebagai penengah aku dan Gus Aidar. "Dari mana kamu, Dar?" tanya Ummah pada Gus Aidar.

"Dari aula pondok putra, Mah," jawab Gus Aidar.

"Tadi Davi sama kamu tho mana dia?" tanya Ummah.

"Lagi main sama Kang Ammar, Mah. Wonten nopo?" ucap Gus Aidar.

"Ndak ada, cuma tadi minta di masakin makanan kesukaannya."

"Bibi," panggil Davi. Entah sejak kapan dia datang.

"Ada apa, hm?" tanyaku.

"Davi punya mainan balu. Yuk Bi, main tama Davi," ucapnya sembari menunjukkan mainan barunya. Satu tas berukuran lumayan besar, dengan gambar kereta mainan.

"Mau kan, Bi?" tanya-nya saat aku tak menjawab.

Aku mengangguk. "Yuk, main di mana?"

"Kamal Paman," jawabnya.

"Izin dulu," ujarku.

Davi berjalan ke arah Gus Aidar. "Paman, boleh kan?"

"Hm."

"Ayo, Bi. Paman udah boleh, juga udah jawab 'Hm' gitu." Aku terkekeh pelan mendengar ucapan yang meniru Gus Aidar.

"Mbah Putli, Davi pamit mau main tama Bibi," pamit Davi pada Ummah.

"Sekarang ndak mau main sama Mbah Putri?" tanya Ummah.

"Matih mau kok, Mbah. Tapi sekalang Davi maunya main tama Bibi. Ayo, Bi." Davi langsung menarik tanganku. Sebelumnya aku menatap Ummah. "Duluan, Mah, Gu-Mas." Aku tergagap mau manggil Gus Aidar apa. Nggak mungkin aku memanggilnya 'Gus' di hadapan Ummah.

Ummah terkekeh. "Masih malu saja kamu, Ra."

Aku tersenyum canggung.

Davi masih menggenggam tanganku sampai masuk ke kamar Gus Aidar. Davi langsung membuka tas mainan itu, mengeluarkan semua isinya. Aku membantunya sebisaku.

"Bibi, punya keltas ndak?" ucapnya padaku.

Aku menaikkan satu alisku. "Kertas buat apa?"

"Buat katih nama mainan Davi, telus Davi tempel di tas, biar nggak ada yang ngambil milik Davi. Kan Davi udah katih nama."

Aku mengangguk. Aku mencoba mencari. 'Mungkin di laci, pikirku. Aku membukanya. Aku melihat satu kertas dengan ukiran sangat cantik, dan di tulis dengan Pegon Arab. Aku bisa membacanya, Fiyana Amanda.

Satu air mataku lolos begitu saja. Melihat ini, semakin menguatkanku kalau Suamiku sendiri mencintai sahabatku.

"Bibi, punya ndak?" tanya Davi. Aku segera memeriksa di bawah kertas ukiran nama itu.

"Punya apa?" Aku melototkan mataku. Aku kenal suara itu, Gus Aidar. Aku menghapus air mataku. Dan syukurlah ada kertas.

Aku menutup laci itu. Lalu memberikan kertas itu pada Davi.

"Bibi lama," ucapnya dengan bibir mengerucut.

"Ini kertas apa?" Gus Aidar langsung merebut kertas dari tangan Davi. Mungkin ia takut kalau kertas berukiran nama itu berada di tangan Davi. Karena aku yakin buatnya itu pun susah. Karena sangat rumit ukiran-ukiran dan hiasannya. Kenapa aku tahu? Sebab dulu aku pernah mencoba membuat, tapi tak sebagus milik Gus Aidar. Kalau kalian pengen tahu, nama siapa yan  aku lukis, maka aku jawab, Aidar Farid Asyraf, suamiku.

Untukmu Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang