3. Saat tak berbalas

45.7K 4.3K 97
                                    

Kini aku sudah berada di mobil. Di sampingku ada Gus Aidar, dan di depan ada dua Kang Santri, satu bernama Kang Amar dan satunya bernama Kang Afi. Aku memang mengetahui, karena tadi Gus Aidar sempat menyebut namanya. Meskipun aku dan Gus Aidar berdampingan, tapi sangat berjarak.

"Tadi macet, Kang?" tanya Gus Aidar memecah keheningan.

"Nggeh, Gus. Seharusnya sampai di ndalemnya Ning Naira jam satu, tapi malah molor sampe jam dua," jawab Kang Amar, yang menyetir.

"Oh ya, Gus. Tadi dapet salam dari Gus Davi," ucap Kang Afi.

"Lhoh emang dia ndak tahu kalau saya pulang?" tanya Gus Aidar.

"Mungkin mboten Gus, soalnya pas saya mau jelasin, Ning Mawar ngelarang, biar jadi kejutan buat Gus Davi."

Gus Aidar hanya menganggukkan kepala. "Mampir dulu, Kang Amar, ke rumah makan. Tadi belum sempat makan kan," ucap Gus Aidar. Memang tadi belum sempat makan siang, padahal tadi sudah di siapkan oleh Umi dan di bantu oleh Mbak-mbak Santri.

Kang Amar menghentikan laju mobilnya di depan rumah makan. Kita berempat turun. Aku duduk di samping Gus Aidar.

"Saya di meja lain saja, Gus. Ndak enak ganggu manten anyar, ya kan Fi?" ujar Kang Amar dengan melirik temannya.

"Iya, Gus. Kita di meja lain saja."

Gus Aidar terkekeh. "Ndak papa kok, di sini saja. Ningmu juga ndak keberatan kok. Ya kan, Ning?" Gus Aidar menatapku.

'Mungkin njenengan ndak mau berduaan dengan saya, Gus,' batinku. Aku mengangguk. "Iya, ndak papa kok, Kang." Akhirnya kita berempat duduk dalam meja yang sama.

.
.
.

Sekitaran dua jam lebih, kita sudah sampai di depan ndalem Kyai Ali, ayah mertuaku. Mungki sekarang sudah jam empat lebih, syukur saja kita mampir dulu ke masjid untuk melaksanakan Shalat Ashar.

Aku menoleh ke Gus Aidar, ia tertidur di bahuku. Aku tersenyum ke arahnya. Kang Amar menoleh ke belakang. Ia nampak canggung denganku.

"Nggak papa, Kang. Biar saya yang membangunkan," ujarku.

Ia mengangguk. Lalu keluar dari mobil untuk membantu Kang Afi yang mengangkat barang-barang. Inginku menyentuh wajahnya, tapi kuurungkan. Aku hanya menyentuh lengannya. "Gus, bangun. Sudah sampai," ujarku pelan.

Ia menggerakkan matanya, tanda ia ingin bangun. Menyesuaikan cahaya yang ke matanya. Ia menoleh ke arahku. "Ayo, keluar," ujarnya dengan suara khas bangun tidur.

Aku mengangguk, dan keluar dari pintu yang sama dengan Gus Aidar.
Dari arah dalam, Ibu dari Gus melihat kami. "Alhamdulillah, kalian sudah sampai," sambut Ummah Fatima, ibu mertuaku.

"Bah, mantu kita sudah sampai!" ujarnya memanggil Abah.

"Ono opo to, Mah. Teriak-teriak." Abah berjalan menghampiri Ummah, dan belum menyadari kehadiranku dan Gus Aidar.

"Eh, ono mantuku tho. Ayo masuk-masuk." Abah mempersilahkan aku dan Gus Aidar.

Aku berjalan beriringan dengan Gus Aidar. Kita duduk di ruang tamu.

"Gimana perjalanannya, Nduk, lama?" tanya Ummah padaku.

"Alhamdulillah, mboten terlalu kok," jawabku.

"Aluse Bah, jawabe," ucap Ummah menoleh ke Abah.

"Lha pilihane sopo, Mah," ucap Abah bangga.

"Paman," panggil anak kecil yang kuyakini adalah keponakan dari Gus Aidar. Ia berlari menghampiri Gus Aidar. Dan naik ke pangkuannya.

Untukmu Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang