2. Hari pertama setelah menikah

53.9K 4.5K 13
                                    

Sepertiga malam aku terbangun. Memang aku sudah terbiasa, dulu waktu aku masih kecil, Umi selalu membangunkan aku, untuk melaksanakan Salat Tahajud.

Aku tak menyangka, di sana, Gus Aidar, sangat khusyuk melaksanakan Salat Tahajud. Saat sujud terakhir bahunya bergetar. Apa yang membuat suamiku menangis.

Ia mengadahkan kedua tangannya. Entah apa do'a yang ia panjatkan kepada-Nya. Bahunya bergetar hebat, apakah ia menyesal menikahiku? Ya Allah tabahkanlah hati hamba. Aku memejamkan mata, bertepataan air mataku luruh.

Ia mengusap air matanya. Langsung saja aku kembali menutup mata, pura-pura tidur. Mataku kembali terbuka saat aku mendengar suara membuka pintu. Gus Aidar keluar dari kamar. Segera aku ke kamar mandi untuk mengambilkan air wudhu.

.
.
.

"Ya Allah, bukalah hati suami hamba untuk hamba. Aku sudah mencintainya sejak dulu. Tapi hatinya tak untuk hamba. Ada perempuan lain di hatinya. Kuatkanlah hamba menghadapi pernikahan ini. Berkahilah pernikahan ini Ya Allah. Aamiin."

Aku menyudahi bermunajatku. Saat aku selesai melipat mukena. Di depan pintu sudah ada Gus Aidar. Entah dia mendengar atau tidak, semoga saja tidak. Aku bingung harus apa. Mau melanjutkan tidur juga tidak mungkin. Karena sebentar lagi adzan shubuh.

Aku tersenyum menyapanya. "Dari mana, Gus?" Aku mencoba membiasakan diri agar tidak kaku.

"Taman," jawabnya sangat singkat. Ia langsung menuju ke kamar mandi. Sedangkan aku hanya menatap kepergiannya. Mending aku ke balkon kamarku.

.
.
.

Aku sedang berada di dapur dengan Umi dan Mbak Shila, dan juga beberapa Mbak-Mbak Santri. "Wes tho, Ra. Mending kamu bantu-bantu Mas-mu. Malah kamu kesini," ucap Umi. Beliau sedang mengiris sayuran. Sedang Mbak Shila sedang di depan kompor.

"Lha Naira kan cuma bantu Umi, sama Mbak Shila, emang salah?" ucapku.

"Yo ndak salah. Tapi mending kamu sama Mas-mu gitu. Wong manten anyar kok."

Aku terdiam. Mending Naira di sini Mi, bareng Umi sama Mbak Shila, dari pada sama Gus Aidar, yang notabenya suami Faira. Sikapnya dingin, Mi. Ingin aku mengatakan pada Umiku, tapi aku tak mau membuat beliau sedih.

"Wes tho, Mi. Wong Mas-e Naira ngobrol kok bareng Abi sama Fatih," timpal Abi, entah sejak kapan berada di ruang makan, dengan Gus Aidar, juga Mas Fatih, Kakak iparku. Jangan lupakan Saka, yang berada di gendongan Gus Aidar, sejak kapan mereka jadi akrab.

"Sudah-sudah. Mari makan," ucap Umi. Abi mengambil duduk di ujung, di sisi nya ada Umi dan Mbak Shila, aku di samping Umi berhadapan dengan Mas Fatih, di ujung satunya ada Gus Aidar sedangkan Saka ada di pangkuan Mas Fatih.

Aku mengambilkan nasi beserta lauk pauknya untuk Gus Aidar, aku tak memperlihatkan ketidak akuranku dengan suamiku di depan keluargaku.

Saka tiba-tiba turun dari pangkuan Mas Fatih, langsung meminta pangku pada Gus Aidar.

"Paman-paman, Aka mau di pangku Paman," ucapnya. Gus Aidar dengan senang hati memangkunya.

"Saka, sini sama Abi aja, Paman mau sarapan," ucap Mas Fatih.

"Ndak papa, Gus. Biar saya saja yang pangku Saka," ucap Gus Aidar. Ia memanggil Kakak Iparku dengan panggilan Gus. Sama sepertiku, Mbak Shila dan Mas Fatih juga di jodohkan. Orang Tua Mas Fatih adalah teman Umi waktu mondok. Meskipun keluarga Mas Fatih bukan keturunan seorang Kyai. Tidak seperti kisahku, Mas Fatih begitu mencintai Mbak Shila.

"Bibi," panggil Saka padaku.

Aku menatapnya. "Kenapa?"

"Tuapin Aka ya," ucapnya lucu. Apalagi tatapan matanya. Di meja makan semua tertawa, kecuali Gus Aidar yang hanya tersenyum tipis.

Untukmu Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang