Chapter 15

136 18 1
                                    

"Menjijikkan. Kurasa, Tuhan membuat kesalahan saat menciptakanmu, Amagi (Name). Ayahmu pemabuk dan penjudi, namun, bagaimana bisa seseorang seperti dia menjadi seorang idola jika bukan melalui kekuatan orang dalam. Dan sekarang, anaknya menjadi wanita penghibur CEO ternama. Hmmm, betapa menjijikkannya dirimu," ucap Katagiri yang membuat perasaan (Name) semakin tertusuk.

"(Name) kemari hanya untuk memperdalam strategi pemasaran sekaligus kepemimpinan. Dia tidak berniat menghibur atau melakukan hal-hal yang ada dipikiran mu, Ran Katagiri. Dan satu hal yang perlu kau ketahui, Tuhan tidak pernah memberikan kegagalan dalam menciptakan manusia. Manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling memahami, menyayangi, dan mencintai satu sama lain. Kuharap ayahmu mengajarkan hal itu, Katagiri," ucap Seijuuro dengan sebuah seringai diwajahnya.

(Name) hanya diam. Ia tidak ingin melawan sedikitpun.

"Jika tidak melakukan kesalahan, mengapa (Name)-chan harus memiliki paras yang sama dengan gadis itu," ucap Katagiri dengan datarnya.

"Katagiri, sudah cukup!" tegur Manami yang masih berusaha membungkam Katagiri.

"Kau harus tahu jika manusia memiliki banyak kembaran di dunia ini. Mungkin, di Jepang hanya satu yang memiliki wajah sepertimu. Tapi, dibelahan dunia lainnya sudah banyak yang memiliki wajah sepertimu," jelas Seijuuro yang membuat Katagiri terdiam sejenak.

"Kalian ... berhenti berdebat," ucap (Name) yang langsung turun dari pangkuan Seijuuro dan meninggalkan ruangan itu.

"Ah, (Name)-chan!" panggil Manami yang tidak dibalas oleh (Name).

"(Name) ku menjadi pergi karena kau, Ran Katagiri," ucap Seijuuro yang langsung merelaksasi punggungnya dengan kursinya.

"Bagaimana jika aku sengaja?" ucap Katagiri dan langsung dijawab oleh Seijuuro, "Bagaimana jika aku tidak peduli?"

"Paman, berhubung (Name) tidak disini ... bisakah Anda memberitahu kami tentang gadis ini?" ucap Manami yang membuat Seijuuro menatap mereka secara bergantian.

"Tidak ada gunanya untuk bertanya pada orang yang sudah tua, tetapi belum menikah juga. Ayo, Manami," ucap Katagiri yang menggandeng Manami keluar. Namun, Manami sama sekali tidak ingin melangkah.

"Tunggu, Katagiri!" Manami melepaskan tangannya dari Katagiri dan menghadap Seijuuro lagi dengan tatapan serius sekaligus memohon, "Paman, tolong beritahu kami."

Disisi lain, (Name) kini tengah menempuh perjalanan untuk keluar dari gedung bertingkat yang bertuliskan 'Akashi Corp'. Seluruh ucapan Katagiri masih terngiang di kepalanya.

Ia tidak suka itu. Ia sangat tidak suka jika ayahnya dikaitkan dalam hal ini. Ia tahu jika ayahnya memang buruk, tapi ayahnya tetap pria yang baik dihadapan siapapun.

Bruk!

"Maaf," ucap (Name) yang langsung membungkukkan badannya tanpa melihat siapa yang ia tabrak.

"Nak (Name) rupanya ya."

Suara itu membuat (Name) segera bangkit dan menatap lawan bicaranya. Sungguh, ia terkejut akan sosok yang ia tabrak.

"Kakek Akashi Masaomi," ucap (Name) yang membuat pria yang telah termakan usia itu tersenyum padanya.

"Ada apa, putriku? Apa Seijuuro membuat sesuatu yang membuatmu sedih?" tanya Masaomi yang membuat (Name) bergeleng cepat lalu berkata, "Aku baik-baik saja, Kek. Hanya saja, apa aku boleh bertanya sesuatu?"

Masaomi pun tampak menimang pertanyaan (Name). Namun, pada akhirnya, iapun memutuskan untuk menerima pertanyaan itu.

"Dengan syarat, ikutlah makan siang dengan kami, ya. Jarang sekali ada wanita yang bisa diajak makan bersama," ucap Masaomi yang membuat (Name) sedikit tertawa.

"Kakek ada-ada saja. Kakek kan bisa tinggal menunjuk wanita manapun," ucap(Name) yang membuat Masaomi ikut tertawa lalu berkata, "Ya sudah, semakin cepat kita bertemu Seijuuro. Maka semakin cepat aku menjawab pertanyaanmu."

*****

Sang surya telah mengambil istirahat. Tak lupa, tugasnya pun diambil alih oleh rekan setianya yang terus membantunya tanpa kenal lelah untuk menghantarkan manusia ke alam mimpi.

"Tadaima." Kaoru mulai menapakkan kakinya pada rumah yang telah lama ia tempati. Tentunya, ia selalu bersama ayahnya. Karena kakaknya telah menikah dan yang pasti pindah rumah.

"Kaoru, dimana anak itu? Mengapa ia belum pulang hingga sekarang? Belajar apa dia?" ucap ayah Kaoru yang telah berkacak pinggang.

"Biarkanlah, Yah. Lagipula, dia sudah besar, sudah bisa jaga diri, dan sudah mengerti aturan," jawab Kaoru dengan santainya.

"Lalu, kapan kau akan mencari istri yang baik, yang tulus, yang tidak meninggalkanmu disaat sulit? Lihat anakmu, dia jadi anak terlantar dan tidak tahu aturan begitu," ucap ayah Kaoru yang membuat Kaoru sedikit malas.

"Yah, jangan kaitkan semua permasalahan hidupku dengan almarhum istriku dan anakku. Mereka tidak bersalah disini. Satu-satunya yang bersalah adalah Ayah. Ayah tidak pernah mendukungku sampai kapanpun. Dan yang Ayah pikirkan hanyalah memaksakan kehendak Ayah kepadaku. Padahal, aku memiliki keputusan, hidup, dan pemikiranku sendiri. Mengapa Ayah tidak pernah mengerti tentangku?" balas Kaoru yang membuat ayahnya semakin naik pitam.

"Oh, jadi kau sudah mulai melawan ayahmu sendiri," ucap ayah Kaoru dengan tampang yang semakin menantang Kaoru.

"Ayah sudah merasakan bagaimana ditinggalkan oleh wanita yang Ayah cintai, bukan? Dan Ayah masih tetap setia, bukan? Lalu, mengapa aku tidak boleh berada dalam hal itu?" ucap Kaoru yang terkesan memojokkan ayahnya.

Dan yang benar saja, ayah Kaoru tidak bisa berkutik. Ia hanya diam saja sembari memikirkan perkataan anaknya. Sementara Kaoru, ia sedang menanti Rie kembali agar Rie tidak terlibat dalam pertengkarannya yang sudah lama berlangsung.

Tak lama kemudian, ponsel Kaoru pun bergetar yang membuatnya langsung membuka dan membaca pesan yang tertera dalam benda digital itu. Setelahnya, ia langsung memakai jaket dan meninggalkan rumah.

"Mau kemana kau?" sergah ayah Kaoru. Namun, Kaoru tidak memperdulikannya. Ia tetap nekat untuk pergi.

Dan saat Kaoru berada didepan rumah, ia menatap gadis semata wayangnya yang tengah tersenyum padanya.

"Rie," panggil Kaoru dan langsung memeluk anaknya erat.

"Maafkan aku, Papa. Karena aku, Papa menjadi bertengkar dengan Kakek," ucap Rie dengan penuh penyesalan.

Mendengar perkataan Rie, Kaoru menjadi merasa bersalah. Tidak seharusnya Rie mengetahui pertengkaran itu dan tidak seharusnya Rie mengatakan permintaan maaf padanya.

"Tenanglah. Rie tidak salah apapun. Papa yang salah. Ini kesalahan papa sedari awal," ucap Kaoru yang kemudian mengecup pucuk kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.

"Maaf, Rie sayang. Kita jangan tinggal di rumah Kakek dulu ya. Papa akan menyewa hotel untuk kita," ucap Kaoru sembari mengelus surai anaknya yang memiliki warna yang sama dengan dirinya.

"Papa, Papa tidak perlu menyewa hotel. Aku tahu tempat dimana kita bisa tinggal tanpa perlu membayar sedikitpun," ucap Rie dengan penuh keyakinan.

"Maksudnya?" tanya Kaoru yang tidak mengerti akan maksud dari anaknya. Sementara Rie, ia hanya tersenyum sembari memohon pada ayahnya untuk mengikuti kemana dirinya akan pergi.

Only Your Stars : PolifonikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang