Plan memarkir mobil Mean di depan rumah. Mereka kemudian turun dan memasuki rumah Plan.
Mean duduk di sofa dan mengedarkan pandangannya sejenak sebelum akhirnya ia memutuskan untuk merebah.
"Sudah berapa lama aku tak datang ke sini?" sahut Mean saat Plan berjalan menuju padanya dengan segelas air putih di tangannya.
"Aku tak tahu! Kau pikirkan saja sendiri," jawab Plan sambil menyimpan gelas di meja tepat di depan Mean dan ia menjatuhkan dirinya di kursi yang lain.
"Kau tak kesepian sendirian di sini?" tanya Mean lagi setelah beberapa saat.
"Aku sudah biasa," sahut Plan.
"Uhm," gumam Mean.
"Maafkan aku!" sahut Mean lagi.
"Kenapa?" tanya Plan dengan wajah bingung.
"Karena tak selalu bisa menemanimu seperti dulu. Sekarang aku merasakan hal yang sama denganmu dan aku mengerti bagaimana perasaanmu," sahut Mean sambil bangkit dari tidurnya.
Plan menatapnya sejenak. Andai saja Mean tahu tentang bagaimana perasaannya saat itu, tapi ia memutuskan untuk tak mengangkatnya dan memilih menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
"Kau bisa menyusulnya. Kalian masih berkontak, bukan?" tanya Plan lagi setelah beberapa saat.
"Uhm," gumam Mean.
"Bukankah ia menghubungimu juga?" tanya Mean sambil melirik ke arah Plan.
Plan menganggukkan kepalanya. Sebenarnya ia tak paham mengapa Neena menghubungi dirinya, tapi mungkin itu karen Neena menganggap dirinya teman.
"Kau menjawabnya?" tanya Mean.
"Yang memerlukan jawaban," ujar Plan.
"Kau bisa bicara dengan ayahmu dan mengaturmu untuk sekolah dengan Neena di sana," sahut Plan lagi.
Ia bicara ini bukan asal bicara. Plan sudah tak tahan lagi melihat Mean yang semakin hari semakin gila karena Neena. Meski sejujurnya, ia bahagia bahwa Neena sekarang jauh dari mereka, tapi ternyata perasaan Mean tak bisa lupa. Ini seolah Plan punya raga Mean tapi tak dapat hati Mean. Untuk apa kalau begitu? Lebih baik ia membuat Mean pergi dan ia sama sekali tak melihatnya lagi supaya ia leluasa menangis karena sebenarnya ia patah hati.
Mean mengikuti saran Plan dan ia bicara kepada ayahnya tentang ini. Ayahnya langsung mengabulkan permohonan anaknya dan Mean akan pindah ke Amerika setelah ia lulus SMA yang hanya tinggal dua bulan itu.
Saat mengetahui hal itu, Plan menangis seharian. Hatinya merana, padahal ia sudah bisa memprediksi dan sudah bersiap bahwa cepat atau lambat ia akan kehilangan sahabat yang ia cintai itu.
Hari itu hari kelulusan. Mereka semua mengikuti upacara dengan khidmat dan setelahnya mereka berfoto dan bersenang-senang dengan teman kelasnya.
"Sam, Plan di mana?" tanya Mean celingukan saat ia mencari Plan di kelasnya dan di tempat latihannya, tapi ia tak menemukannya.