"Mean, kau serius dengan yang kau katakan? Neena, uhm, dia lesbi?" Plan menatap wajah Mean tajam, sebegitu kuatnya ia ingin memastikan bahwa yang dikatakan Meam bukanlah sebuah kebohongan.
"Tidak, kau salah paham. Dia bukan lesbi. Yang ia cintai adalah kau dalam sosok lelaki. Kau ingat? Berapa lama ia baru tahu bahwa yang sebenarnya kau adalah seorang perempuan sejak pertama kita bertemu dengannya?" Mean seolah mencoba mengingatkan Plan.
Plan diam sejenak. Yang dikatakan Mean benar. Saat itu, Neen selalu pikir ia adalah lelaki sampai beberapa bulan setelah mereka jadian, ia baru mengetahui bahwa Plan adalah perempuan.
"Pantas saja, dulu ia selalu bertanya tentangmu dan sewaktu aku datang ke Amerika, dia selalu bertanya tentangmu," ujar Mean.
"Eh! Aku tak percaya," sahut Plan sambil memalingkan wajahnya.
"Aku dengar ia tak pernah berhenti mengirimmu email dan kau tak pernah membalasnya," ujar Mean lagi.
"Aku sibuk," sahut Plan.
"Aku juga bilang yang sama saat ia merajuk kepadaku tentang masalah ini," ujar Mean lagi.
"Sekarang dia membencimu," sahut Mean dan menatap Plan.
"Karena anak kita," sahut Plan dengan nada sedih. Ia melirik ke arah Mean.
"Karena kau memanjangkan rambutmu, memakai rok, dan menjadi perempuan. Kau yang sekarang telah menghancurkan fantasi yang ia bangun dalam otaknya." Mean menjelaskan.
"Astagaaa! Aku seorang ibu," sahut Plan.
"Iya, yang ini, aku yang suka," sahut Mean sambil nyengir.
"Meaaaaan!" Plan mengerling.
"Apa yang harus kulakukan jika berhadapan dengannya?" sahut Plan lagi terlihat bingung.
"Oi, biasa saja. Ia sudah bisa melupakanmu. Maksudku sosokmu yang dulu. Santai saja. Tapi, masalahnya, aku tak yakin bisa melakukan program ini dengannya. Tidak ada cinta di antara kami. Bagaimana kami akan memulainya," sahut Mean. Nadanya seperti ia merasa bersalah.
"Kenapa kau bilang tentang semua ini kepadaku? Aku merasa bingung sekarang," sahut Plan lagi. Matanya terlihat kosong.
"Mungkin karen aku marah, dan cemburu dan merasa kecolongan," jawab Mean setelah ia menarik napas panjang.
Plan menatap Mean bingung.
"Kau bisa membayangkan bagaimana rasanya dua orang yang bercinta tapi memikirkan orang yang sama. Bukankah kami menyedihkan? Tubuh kami berpaut, tapi pikiran kami membayangkan kau dalam versi yang berbeda," sahut Mean lagi sambil menatap Plan dan tersenyum.
"Eh! Ke-kenapa kau juga membayangkan aku?" Plan mundur dan ekspresi di wajahnya terlihat sangat takut.
"Aku mencintaimu sejak dulu, tapi aku tak menyadarinya sampai aku memaksamu di mobil itu. Aku berbohong kepadamu. Aku bukan ingin membuktikan teori atau bersenang-senang denganmu, tapi karena aku sungguh-sungguh ingin melakukannya denganmu, karena aku menyukaimu. Tapi, aku tak tahu bagaimana harus memulai sementara saat itu aku punya Neena," jelas Mean.
Plan membelalakkan matanya.
"Kalau saja kau bilang bahwa kau tengah hamil anakku, waktu itu, Plan, apapun yang terjadi, aku akan pulang dan menikahimu. Kau pasti tak akan percaya dengan yang kukatakan saat ini. Tapi aku akan bahagia dan Tee bisa menjadi alasan untuk memulai hubungan kita," ujar Mean lagi.
"Semuanya sudah terjadi, tak ada yang bisa dilakukan lagi," ujar Plan dengan cepat merespons.
"Tapi, kita masih bisa memulai hubungan kita, bukan? Aku tak pernah ingin merebut Tee darimu, terlepas ia adalah pewaris dariku yang sesungguhnya. Bersamaku atau tidak, aku sudah menunjuknya sebagai pewarisku. Tapi, aku tahu ini satu-satunya cara agar aku bisa dekat denganmu dan mendekatimu," ujar Mean lagi sambil menatap Plan lagi.
"Kau gila!" Plan melotot.
"Karena kau yang membuatnya begitu. Kenapa kau melakukan itu kepadaku, Plan? Kenapa kau membuatku selalu ingat kepadamu dan mencintaimu, hmm?" Mean menatap Plan lembut.
"Aku dan Neena sudah bercerai, Plan," ujar Mean lagi. Ia kemudian memberikan Hpnya, memperlihatkan surat perceraian mereka.
Plan melotot tak percaya. Ia menatap Mean dan meneguk ludah. Neena dan Plan sudah bersepakat tentang sesuatu dan selama ini ternyata ia berbohong kepadanya. Ia tahu pasti, ia tak akan bersama dengan Mean dan ia tahu dengan begitu Mean tak akan melepaskan Plan. Mengapa ia membiarkannya. Apakah dia marah kepada Plan karena sosoknya yang sekarang menghancurkan fantasinya? Bahwa ia harus hidup dalam kenyataan bahwa sebenarnya ia tak punya siapapun dan kesepian.
O, sekarang Plan merasa marah, tapi juga sedih dan kasihan kepadanya. Jadi, selama ini, sebenarnya, ia juga menderita. Mean lebih paham dengan ini. Oleh karena itu, ia tetap berada di sisinya.
"Neena belum siap memberitahu orang tuanya, karena kondisi ibunya yang saat ini sedang sakit. Jadi, aku membiarkannya." Mean menjelaskan tiba-tiba.
"Uhm," gumam Plan.
Dan ia kaget melihat Mean menatapnya dengan teduh. Ia selalu tak tahan dengan tatapan seperti itu.
"Kau kenapa?" tanya Plan kikuk.
"Rak. Aku mencintaimu, Plan," lirih Mean. Plan membelalakkan matanya dan wajahnya memerah.
"Kau mencintaiku?" Mean bertanya lagi. Ia memegang tangannya. Plan membiarkannya. Mean mencium tangan itu lembut dan menatapnya.
Plan tak menjawab. Mean mendekatkan wajahnya dan ia perlahan mengangkat wajah Plan, membuat Plan kaget.
"Meaan, aku, mmmmmph!" Plan tak melanjutkan bicaranya sebab bibirnya digamit Mean lembut.
Mereka berciuman lama dan keduanya memejamkan mata. Tangan mereka berpaut erat dan mereka masih tenggelam dalam hangatnya ciuman kerinduan.
"Rak!" bisik Mean lagi sambil membelai kepala Plan setelah mereka melepaskan ciuman.
"Uhm," gumam Plan sambil menunduk malu.
Mean tersenyum. Ia memeluk Plan hangat dan erat kemudian mencium pucuk kepalanya.
"My Plan. My Baby Plan," lirih Mean sambil tersenyum dan ia masih pada posisinya.
"Mean, aku mengantuk," bisik Plan.
"Kalau begitu, tidurlah!" lirih Mean dan ia masih memeluknya.
"Kau kembali ke kamarmu," sahut Plan.
"Aku tak boleh tidur di sini denganmu?" tanya Mean sambil melepas pelukan dan menatap Plan.
"Pelan-pelan saja, na!" Plan menatapnya memohon.
"Okay," sahut Mean. Ia tersenyum dan mencium kening Plan pelan lalu beranjak dari duduknya dan keluar.
Malam itu, Plan tak tidur. Ia merenung. Tentang Neena dan dirinya dan Mean. Semuanya di luar kendalinya. Tapi ada satu hal yang bisa ia kontrol dan itu adalah niat untuk membantu Neena. Ia memutuskan tak akan menyerah hanya karena ia tahu bagaimana Neena melihatnya saat ini. Kesehatannya lebih penting dan mungkin jika ia sama seperti perempuan lainnya, ia akan memiliki pandangan baru dan hidup dengan lebih bersemangat.
Ia juga merasa kasihan kepada Mean. Plan yakin Mean sempat mencintai Neena, cinta yang bersemangat layaknya anak muda yang berambisi akan sesuatu. Tidak seperti cinta yang dipunyai dirinya, diam dan tertekan, meski akhirnya berbalas juga.
Plan bisa bernapas lega sekarang. Ia tahu kenyataannya dan dengan begitu, ia tahu langkah yang harus ia lakukan selanjutnya.
Bersambung