Lima tahun dalam kehidupan Plan, setelah pertemuannya dengan Mean adalah waktu yang cukup lama dan berat. Sebagian besar membahagiakan memang, tapi yang lainnya membuat Plan harus berurai air mata.
Berita yang membahagiakan adalah usaha Plan semakin berkembang. Ia bahkan memiliki dua puluh staf yang diatur oleh orang tuanya, Ken dan Nun.
Usahanya ini berkembang sampai ke Bangkok. Plan memiliki beberapa toko sayuran dan obat herbal yang diberi nama Tee. Usahanya ini diatur oleh teman lama Plan saat SMA, Yacht dan Sammy.
Mereka sudah menikah dan tinggal di Bangkok dan memiliki satu anak perempuan bernama Love. Oleh karena usahanya ini, Plan sering pulang pergi ke Bangkok dan Hua Hin, meski memang tidak tiap hari.
Berita yang membuatnya berurai air mata adalah karena Po meninggal dunia di saat bisnisnya berkembang pesat.
Ia sedih sebab Po belum maksimal menikmati kebahagiaannya. Setidaknya itu menurut Plan, sebab menurut sang Pembuat Takdir Po sudah cukup mengenyam rasa itu dan akan lebih bahagia berada di samping-Nya.
Tee sudah berusia delapan tahun sekarang. Ia duduk di kelas dua SD. Ia semakin mirip dengan Mean. Mean tak akan bisa memungkiri bahwa Tee memang anaknya. Tidak ada satu bagian pun yang mirip dengan Plan.
Sekali lagi mereka bertemu dalam keadaan yang dewasa. Plan terlihat lebih dewasa dan menarik.
Mean juga lebih tampan dan karismatik.
Keduanya sama-sama pebisnis sekarang, meski level mereka memang jauh berbeda.
"Pendidikanmu sangat tinggi Mean. Bagian mana yang tak kau mengerti bahwa aku tak ingin bertemu denganmu lagi?" nada Plan mengundang permusuhan, sama seperti wajahnya yang terlihat kesal.
"Aku harus bicara denganmu," ujar Mean.
Mereka duduk berhadapan di sebuah restoran setelah Mean menunggu Plan cukup lama di depan rumah Plan.
"Apalagi?" tanya Plan. Ia sama sekali tak ramah.
Mean mulai bercerita dan ia menjelaskan semuanya. Plan marah besar. Ia menolak permintaan Mean dengan tegas dan ia malah memintanya untuk mengangkat anak seperti yang disarankan orang tua Mean sebelumnya.
Mean tak punya pilihan. Lelaki ini mengancam Plan akan mengajukan gugatan tentang hak anak melalui jalur hukum. Sebuah hal yang tak pernah Plan sangka seumur hidupnya bahwa ia dan Mean akan menjadi musuh gara-gara kecelakaan pada masa lalu.
Ancaman Mean tidak main-main. Sebuah surat dari pengadilan di Bangkok tiba di rumah Plan dan Plan mengamuk. Orang tua Plan tidak tinggal diam. Mereka juga menyewa pengacara terhebat untuk menangani kasus ini. Dan setelah satu tahun berjalan dengan perjuangan yang berdarah-darah usaha mereka membuahkan kegagalan. Plan harus menyerahkan Tee kepada Mean dan ini membuat hati dan hidup Plan hancur.
"Brengsek kau, Phiravich! Akan kubunuh kau!" maki Plan di luar ruang sidang dan ia hampir menyerang Mean jika saja pengawal pribadinya tidak cepat bertindak.
Mean menatapnya sedih. Ia juga tak menginginkan hal ini. Namun, ia tak punya pilihan. Setelah enam bulan, Tee dibawa oleh Mean dan Plan menangis. Ia mengejar mobil yang Tee naiki dan Tee memukul-mukul kaca belakang mobil meminta keluar dari mobil karena ingin bersama dengan ibunya sambil menjerit memanggil ibunya.
Semua yang menyaksikan kejadian itu menangis, merasakan kesedihan yang dialami Plan. Selama sebulan, Plan mengurung dirinya di kamar, meratapi nasibnya. Ini sama dengan Tee yang juga mengurung dirinya di kamar, tak mau makan dan minum sampai akhirnya ia mengalami dehidrasi dan dirawat di rumah sakit.
Plan menerima kabar itu dan ia langsung pergi ke Bangkok ke rumah sakit tempat Tee dirawat. Di sana ia bertemu dengan orang tua Mean dan juga Neena yang sorot matanya menggaungkan kebencian dan permusuhan.
Plan menangis tiada henti. Ia tak pernah berpindah dari posisinya menunggui anaknya di sebelahnya sampai dua minggu kemudian, Tee siuman dan terlihat sangat bahagia melihat ibunya di sampingnya.
Mean mengajak Plan bicara. Meski sebenarnya Plan tak mau, ia tak punya pilihan. Mean menawarkan Plan untuk tinggal bersamanya bersama dengan anaknya dan keluarganya dan Neena. Plan dengan tegas menolaknya. Mean sudah gila membuat dirinya dengan Neena berada di bawah atap yang sama.
Namun, ia sendiri sadar bahwa ia ingin bersama dengan anaknya. Plus, Mean tak melarang dirinya untuk melanjutkan pekerjaannya dan ia tak melarang Plan melakukan kegiatan apapun yang ia sukai. Mean jelas tahu bahwa Tee sangat memerlukan ibunya.
Ia menerima tawaran itu setelah sebelumnya ia berbicara dengan Neena.
"Aku tak menyangka kau bermain-main dengan kekasihku di belakangku, Plan," nada Neena sepenuhnya mengandung kebencian.
"Dulu aku begitu menghormatimu, percaya dengan sepenuh hatiku dan menghargai dirimu seperti teman sejati." Pernyataan Neena begitu pahit terdengar di telinganya.
"Apapun yang kukatakan kepadamu, kau pasti memilih untuk tidak mempercayainya. Jadi, aku bahkan tak akan membuang waktuku menjelaskannya. Kurasa kau sudah tahu apa yang akan kukatakan tentang masalah tinggal di kediaman Phiravich. Aku tak akan menolaknya demi anakku, dan aku tahu jelas kau pasti akan merasa sakit dan hancur karena kehadiranku, aku minta maaf kepadamu," sahut Plan menjelaskan.
"Kau sedang mengolokku, hmm?" Neena menatap tajam Plan.
"Tidak. Aku tak akan melakukannya. Aku ke sini membawa sebuah proposisi," ujar Plan.
Neena mengernyitkan alisnya.
Plan menjelaskan gagasannya. Ia ingin membantu Neena mendapatkan kembali kedudukannya sebagai istri terlebih ibu. Ia ingin Neena mencoba program kesuburan dengan obat herbal yang ia racik sendiri dan beberapa perawatan lainnya. Ia sendiri yang akan bertanggung jawab. Program itu sudah diakui oleh Departemen kesehatan jadi legal dan aman.
Neena tak percaya bahwa Plan melakukan itu untuknya. Ia mencurigai Plan menginginkan sesuatu di balik kebaikannya.
"Kau benar! Aku menginginkan sesuatu darimu," ujar Plan.
"Sudah kuduga. Apa? Aku tak akan memberikan Mean kepadamu," sahut Neena dengan sinis. Ia mengangkat satu alisnya.
"Kau salah besar," sahut Plan sambil tersenyum.
"Lalu apa?" tanya Neen lagi.
"Kembalilah menjadi Neena yang kukenal. Berikan Mean keturunan dan biarkan aku dan anakku pergi dari hidup kalian dan hidup tenang. Hidup kamu bahagia tanpa kalian," ujar Plan dengan nada memohon.
Neena membelalakkan matanya. Ia tak percaya yang dikatakan Plan kepadanya. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, ia memiliki rasa kagum kepada perempuan di depannya ini dan ia ingin mempercayainya.
"Baiklah. Kuberikan kesempatan. Buktikan perkataanmu," sahut Neena. Mereka membuat kesepakatan hitam di atas putih lalu bersalaman.
Setelah itu, Plan tinggal bersama dengan Mean dan Neena di kediaman Phiravich.
Bersambung