Mereka duduk menikmati makan siang di sebuah kafe. Keduanya tak banyak bicara. Setelah kejadian tempo hari, Mean dan Plan masih kaget dengan keadaan.
Plan masih kaget dengan yang dikatakan Phi God kepadanya, terlebih yang dilakukannya kepadanya.
Sementara itu, Mean sangat bingung dengan perasaannya. Ia cinta mati kepada Neena sampai-sampai ia mau menyusulnya ke Amerika. Namun, saat melihat Plan dengan yang lain selain dirinya, terlebih lelaki lain melakukan sesuatu kepadanya. Hatinya merasa marah dan kecewa.
Saat ia pulang tempo hari itu, ia bertanya pada banyak orang san bahkan Paman Google. Yang tidak ia tanya hanyalah rumput yang bergoyang sebab ia bingung bagaimana ia akan paham saat mereka menjawabnya nanti.
Semuanya berkesimpulan sama, bahwa Mean jatuh cinta kepada Plan. Mean langsung dengan tegas menolak teori itu. Sangat mustahil. Paling banter perasaan itu adalah sayang karena kebersamaan mereka yang sangat lama.
Namun, jauh di dalam lubuk hati Mean, ia ingin membuktikan teori itu. Jika ia benar-benar menyukai Plan, ia harus bisa mencium atau bahkan melakukannya dengannya.
Tapi, hei melakukan itu artinya ia harus bilang kepada Plan tentang ini, bukan? Dan ini tentu saja sangat berisiko. Kalau ia memaksanya, salah-salah ia diberi jurus Muay Thai dan persahabatan mereka berakhir sudah.
Mean bingung bukan main. Padahal kepergiannya ke Amerika hanya tinggal dua minggu lagi. Ia tak mau digantung dengan perasaan yang tidak menentu. Ia ingin semuanya jelas supaya ia tenang saat meninggalkan Thailand.
"Kudengar dari Sammy saat acara kelulusan kau mencariku?" Plan menatap Mean dengan penasaran.
"Ah, itu, iya, tapi aku belum sempat mencarimu. Ayahku menelepon dan memintaku pulang," ujar Mean berbohong.
"Uhm," gumam Plan. Ia melanjutkan minumnya.
"Ada apa?" tanya Plan.
"Apa?" tanya Mean yang diam-diam tengah mengamati Plan dari sudut matanya. Dan benar seperti kata God. Plan memang imut.
"Kau mencariku waktu wisuda!" Plan menegaskan.
"O, o, iya itu. Aku mau ambil foto dan mengirimnya kepada Neena," sahut Mean lagi. Ini memang benar.
"O, begitu. Kau mau melakukannya sekarang?" tanya Plan sambil menatapnya.
"Ya, oke," jawab Mean. Ia pindah ke sebelah Plan dan entah kenapa bau tubuh Plan yang seharusnya sudah tak asing lagi di hidung Mean menjadi begitu nikmat dihirup hidungnya.
Ia meneguk ludah. Plan memperhatikan tingkah Mean yang kikuk itu dan ia menjadi bingung dibuatnya.
"Kau kenapa, Mean?" tanya Plan lagi sambil melirik ke arah Mean dengan wajah penasaran.
"Paw, hanya sedih karena aku akan meninggalkanmy sebentar lagi," ujar Mean.
"Cuih! Bohong! Kalau sudah ke sana yang kau ingat hanya gunung kembar Neena dan lubangnya," bisik Mean dan hei siapa sangka suaranya yang tengah berbisik di telinga Mean itu telah menggugah selera sang naga.
Mean mundur dengan wajah memerah dan Plan langsung tertawa kecil.
"Dasar mesum!" Plan mengerling lalu merebahkan dirinya di kursi.
"Ayo, katanya mau foto," ujar Mean sambil melihat ke arah Plan. Plan menganggukkan kepalanya. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah kamera dan keduanya sangat dekat.
Mereka mengambil foto dan kemudian dengan cepat, Mean kembali pada posisinya.
"Ini," ujar Mean sambil memberikan sebuah kotak.
"Apa?" Plan menatap kotak lalu Mean.
"Hadiah untukmu. Kita akan berpisah. Jadi, aku ingin kau menyimpannya untukku. Ini hadiah persahabatan kita," sahut Mean lagi.
"Wah, coba aku lihat isinya," ujar Plan. Ia melihat sebuah kalung dan kaget.
"Kenapa kalung?" Plan bingung.
"Nanti kau bisa berikan kepada anakmu kelak dan bilang ini hadiah dari teman terbaikmu sedunia. Kau paham, uhmmn!" sahut Mean sambil memainkan alisnya.
Plan hanya tersenyum. Bagaimana mungkin Mean teman terbaiknya sebab baginya Mean adalah seseorang yang istimewa.
"Teeima kasih," sahut Plan sambil menyimpannya di saku.
"Eh, jangan disimpan! Sini aku pasangkan," sahut Mean lagi. Ia membuka tangannya.
Plan kaget tapi ia menuruti Mean. Ia memberikan kalungnya kepada Mean dan membiarkan Mean memasangkannya pada lehernya.
"O, kau punya tahi lalat di belakang lehermu," sahut Mean sambil mengelusnya pelan.
"Meaan, apaan sih!" Plan dengan cepat mengibaskan tangan Mean dari leher belakangnya.
"Eeeh! Itu kelemahanmu, bukan! Ketahuan!" olok Mean.
"Sialan!" Plan melempar sendok ke arah Mean.
"Aduh diberi hadiah kok malah lempar sendok," sahut Mean lagi dan mengembalikan sendok pada sisi semula.
"Kau menyebalkan!" sahut Plan sambil menjulurkan lidahnya.
Mean tergelak.
"Maafkan aku. Aku belum mempersiapkan hadiah untukmu," ujar Plan lagi.
"Tidak perlu, tapi nanti aku akan minta kalau aku mau," ujar Mean sambil mengedipkan satu matanya.
"Kalau aku sanggup, aku akan berikan," sahut Plan sambik tersenyum. Ia bahkan tak tahu yang sedang Mean rencanakan.
Bersambung