7. Bekerja

108 15 7
                                    

Hari kedua Kalla bekerja di kantor sebagai asisten ilustrator komik, Kalla memulai dengan membantu pekerjaan Daru. Alih-alih membantu sepertinya justru lebih banyak mengganggu dan membuat pekerjaan Daru bertambah karena harus mengajari Kalla dari nol sekali. Sudah lama Kalla tidak berkutat dengan gambar-menggambar, apa lagi menggunakan media digital canggih di kantor, ini pertama kalinya untuk Kalla. Beruntung Daru selalu sabar membantu Kalla, yang kadang-kadang lemot. Meja kerja Kalla sebelahan dengan meja kerja Daru.

Masih satu jam lagi menuju pukul 12.00 siang, jam istirahat makan siang.

"Ini hasilnya udah lebih oke sih, Kal, tinggal warnanya aja dihalusin lagi di bagian latarnya," Daru menunduk di belakang kursi Kalla menatap layar laptop Kalla, serius.

"Beneran udah lebih oke? Aku kayaknya kesusahan gambar pakai komputer begini. Apa nih namanya, warkop?" kata Kalla polos sambil mengetuk-ketukan pen digital khusus untuk menggambar.

"Hadeuh!" Daru tidak bisa tidak gemas dan menoyor pelan kepala Kalla, "Warkop, emang mau beli kopi kamu? Ini namanya Wacom, tablet grafis."

"Nah, itu," Kalla nyengir.

"Kalau susah, kamu bisa kok gambar di kertas dulu pakai pensil. Habis itu bisa kamu scan dan gambar ulang di komputer jadi sudah ada sketsanya, biasanya bakal lebih mudah," saran Daru sambil kembali duduk di kursinya di sebelah Kalla.

"Thank you, Daru," ucap Kalla yang disambut acungan jempol oleh Daru.

Kalla kembali serius menekuni layar komputer dan merapikan beberapa pekerjaan yang Daru berikan untuknya. Belum masuk pekerjaan inti sebagai ilustrator, Daru masih memberikan tuguas-tugas untuk Kalla belajar terlebih dahulu agar terbiasa dengan pekerjaan barunya.

Daru tahu, sejak SMA gambar-gambar Kalla selalu bagus dan mengesankan, hasil gambar Kalla tampak hidup. Tak jarang Daru yang sama-sama ikut ekstrakulikuler lukis iri dengan hasil karya Kalla. Di kelas ekstrakulikuler seni rupa gambar dan lukisan Kalla selalu jadi perhatian Guru Pembimbing dan banyak dijadikan perwakilan lomba lukis. Daru yakin ini bisa jadi pekerjaan yang cocok dengan bakat dan kesukaan Kalla. Masalahnya hanya satu, Kalla perlu terbiasa kembali dengan hobi menggambarnya seperti dulu.

Daru menatap Kalla dan samping, gadis itu tampak tenang dan manis kalau serius. Tanpa Kalla tahu bibir Daru membentuk senyum sebentar. Daru sadar dadanya tiba-tiba berdebar lembut ketika menatap Kalla, Daru buru-buru mengalihkan pandangannya ke layar komputernya.

Braak!

Pak Dirga yang berada ruangan khusus masih dalam satu area kantor ini tiba-tiba keluar dengan membanting pintu. Kalla terlonjak kaget sampai melompat dari kursi.

"Haduh, apaan sih bos gondrong!" dumel Kalla sambil menatap sebal ke arah Pak Dirga yang tampak resah.

Tangan Pak Dirga sibuk memasang mantel hitam panjang. Langkahnya buru-buru. Keadaan ruang kerja yang sepi sangat kontras dengan suara tersebut. Semua mata menatap ke arah Pak Dirga, termasuk Kalla dan Daru yang kemudian saling berpandangan.

"Kenapa sih dia? Sering begitu, ya?" tanya Kalla ke Daru yang direspon dengan Daru mengangkat bahunya.

Langkah cepat Pak Dirga terhenti, secara bersamaan para pegawai di ruang kerja menahan napas. Mata Pak Dirga awas menatap ke arah meja kerja Kalla, Kalla yang sempat beradu pandang dengan Pak Dirga dari jarak sekitar dua meter buru-buru menunduk.

"Sial, dia ngelihatin aku!" gumam Kalla.

Pak Dirga berjalan ke arah Kalla, menepuk pundak Kalla, "Kamu ikut saya!"

"HAH?" Kalla memekik.

Suara Pak Dirga cukup nyaring di tengah suasana kantor yang hening, semua mata tertuju ke arah Kalla yang kebingungan, termasuk Daru.

StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang