9. Sebuah Kebenaran

84 15 3
                                    

"Mau sampai berapa ratus kali sih Kal, lihat video orang bunuh diri kayak begitu?" Lulu yang ada di sebelah Kalla merasa frustrasi. Sejak tadi Kalla hanya menonton potongan video dari CCTV apartemen yang menampilkan adegan seorang perempuan membenturkan kepalanya ke dinding berkali-kali, hingga mengucur darah dan terjatuh ke lantai. Ya, video detik-detik terakhir kematian perempuan yang Kalla sempat temui arwahnya di kamar jenazah rumah sakit sore tadi.

"Aku merasa ada yang kulewatkan, Lu, tapi nggak tahu apa," kata Kalla matanya masih awas menatap layar laptopnya, mengamati setiap detail yang ada di video. "Kalau kamu ngantuk tidur duluan aja."

"Hah? Aku kan hantu... aku nggak perlu tidur. Kamu yang perlu tidur, Kal! Ini udah jam 3 pagi loh, jam 7 kamu udah harus ke kantor." Lulu mengomel.

"Iya, iya, bawel deh...." Kalla cemberut ke arah Lulu.

"Kamu udah membantu arwah itu kembali ke tempat yang lebih baik, dia juga pergi dengan tenang. Jadi berarti masalah udah beres, kan?" ucap Lulu.

Mata Kalla membulat, "Nah itu! Itu yang aneh, Lu! Cewek itu meninggal karena..." Kalla menunda ucapannya dan menatap Lulu, lalu membuang napas panjang, "Oke, oke, aku tidur nih!" Kalla melepas napas panjang, menutup layar laptopnya dan berbaring di kasur.

Itu yang aneh... cewek itu meninggal karena bunuh diri tapi kenapa bisa pergi dengan damai tanpa penyesalan?

Pikiran Kalla masih melayang-layang walaupun matanya sudah terpejam, pura-pura tidur supaya Lulu tidak semakin bawel.

**

Seharian ini Kalla menjadi sangat pendiam, Daru merasa aneh. Saat dijemput di kost, selama perjalanan ke kantor, mampir untuk sarapan bubur ayam pinggir jalan, dan sampai sekarang sudah hampir masuk jam makan siang Daru belum mendengar suara apa pun dari Kalla. Padahal kemarin dia bilang akan cerita tentang yang dia lakukan dengan Pak Dirga di luar.

Daru menggeser kursinya, menoleh ke arah meja kerja Kalla. Kalla terlihat menunduk, poninya awut-awutan, kebiasaan Kalla kalau lagi pusing suka mengacak-acak poninya sendiri.

Jarinya memegang pensil yang bergerak cepat di atas buku sketsa milik Kalla.

Daru menggeser kursinya lagi semakin mendekat ke Kalla. Namun Kalla terlalu serius dan tidak menghiraukan Daru.

Gambar seorang perempuan yang terbaring di pojok ruangan dengan kepala bersimbah darah, dan seorang perempuan lagi dengan kepala yang menempel di dinding dalam keadaan duduk. Pakaian dua perempuan itu sama. Wajah mereka pun sama.

Daru tidak ingin mengganggu Kalla, walaupun sebenarnya Daru berhak menegur Kalla karena ini masih jam kerja dan Kalla malah melakukan hal selain pekerjaannya. Tapi, sejak dulu Daru selalu suka melihat wajah Kalla yang serius ketika sedang melukis atau menggambar. Seolah pensil di genggaman jemari Kalla menari-nari sendiri, tatapan Kalla tampak dingin dan tajam, hanya lurus menatap ke arah kertas atau kanvasnya, tidak terganggu oleh apa pun.

Daru rindu melihat Kalla seperti saat ini.

Beberapa saat kemudian, Kalla meletakan pensilnya. Sketsa di depannya sudah selesai. Keadaan yang Kalla coba tuangkan dalam gambarnya adalah gambaran yang muncul terus-menerus dalam kepalanya sejak kemarin, setelah membantu arwah perempuan di apartemen itu pergi. Perasaan Kalla bukan merasa lega tapi sebaliknya, Kalla merasa ada yang salah, ada yang belum tuntas, ada sesuatu yang dia lewatkan. Kalla tidak tahu apa itu.

"Bagus Kal, tapi itu bukan kerjaan yang aku kasih ke kamu, ya?" tanya Daru, ketika tatapan mata Kalla sudah kembali seperti Kalla yang biasanya.

Kalla menoleh ke arah Daru, lalu mengangguk, "Sorry, gambar ini ganggu banget di kepalaku dari kemarin."

StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang