Hai... semua yang sudah kangen sama Ai dan Dira... (GeEr banget, ada yang kangen...)
Semoga semuanya dalam keadaan sehat fisik & mental...
Bab ini ada banyak best part nya buat saya...
Enjoooooooooy
__________"Azura, lebih baik kamu pulang. Biar aku yang jaga di sini," kata Dira, menyerahkan dua paper cup syai haleeb (teh susu) pada Azura. Uap dari minuman itu melayang di udara malam yang dingin, memenuhi ruang tunggu rumah sakit dengan aroma manis dan lembut.
Azura menerima salah satu cangkir dengan senyuman samar. "I don't have anyone but her, and I don't want to lose her again. Aku ingin menjaganya sampai dia benar-benar terbangun," katanya, suaranya sedikit bergetar, nyaris melodrama.
Dira menghela napas. "Ok deh, terserah kamu saja." Ia kemudian duduk di sebelah Azura, menyesap teh hangat sambil mencuri pandang pada rekan kerjanya yang terlihat lelah tapi tetap berusaha tegar.
"Oh iya, ini ponsel kamu," ujar Azura tiba-tiba sambil menyerahkan ponsel Dira. "Sorry tadi aku buka-buka. Aku butuh menghubungi orang-orang yang mungkin terhubung sama kamu, terutama setelah kamu menghilang entah ke mana kemarin."
Dira memandang ponselnya dengan alis sedikit terangkat. "Tapi kenapa kamu berusaha menghubungiku? Bukankah kamu tahu kalau aku sudah dipecat?" katanya, dengan nada tajam yang tak bisa sepenuhnya disembunyikan.
Azura terdiam sejenak, sebelum menjawab. "Dan kenapa kamu mau kembali?"
Dira mengangkat bahu. "Aku tidak mungkin pulang tanpa membawa uangku. Dua bulan meninggalkan keluarga itu bukan hal yang mudah bagiku. Jadi, sebenci apa pun dia melihatku kembali, aku akan tetap melanjutkan pekerjaanku," ujarnya sambil tersenyum kecil, lebih pada dirinya sendiri.
Azura tersenyum tipis, tetapi matanya tetap memancarkan kekhawatiran. "Ai itu tak tertebak. Kita tak akan pernah tahu apa yang dia benci, apa yang dia sukai. Apa yang membuatnya marah, dan apa yang membuatnya bangga," kenangnya.
"Karena itu hubungannya selalu rumit dengan semua orang," komentar Dira, terdengar masih ada sisa kemarahan dalam nadanya.
"Kalau kamu masih marah padanya, biar aku saja yang mengurusnya," kata Azura, mencoba mengambil alih tanggung jawab.
"Apa gunanya marah pada orang sakit?" Dira tersenyum kecil, meskipun matanya memancarkan kepedihan.
Azura menatap teh dalam cangkirnya. "Dira, kecelakaan ini terjadi karena dia berusaha melindungiku. Kamu benar, dia memang selalu membuat hubungan rumit dengan semua orang," katanya dengan suara yang pelan, seolah takut merusak keheningan malam.
Dira menoleh cepat, penasaran. "Sebenarnya apa yang terjadi di antara kalian?" tanyanya, tatapannya menembus Azura, mencoba menemukan sesuatu yang tersembunyi.
Azura menghindari tatapan itu, mengalihkan pandangan ke lantai. "Aku tidak tahu," jawabnya dengan nada datar. "Aku melihat jawaban itu dari matanya, tapi tidak mungkin bisa memastikan, karena dia menyimpannya sangat dalam."
"Kamu sama saja seperti Mbak Ai," komentar Dira dengan senyum sinis.
"Kenapa?"
"Kalau ditanya, selalu jawab dengan kata-kata misterius khas seniman," gurau Dira, berusaha menghidupkan suasana. Azura terkekeh kecil, dan Dira merasa lega melihat senyum itu kembali muncul di wajah rekan kerjanya.
Meski begitu, dalam hati, Dira masih menyimpan kekhawatiran yang sama. Malam sudah semakin larut, dan dokter sudah memastikan bahwa kondisi Ai stabil. Tapi bayangan sosok Ai yang terbaring tak berdaya terus menghantui pikirannya. Ia hanya berharap semuanya akan segera baik-baik saja.
***
Saat itu, di dalam ambulans, Ai hanya bisa mendengar samar suara Azura. Kesadarannya nyaris tenggelam dalam kabut, tetapi hatinya tetap memusat pada tangan Azura yang menggenggam erat tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Ruang
RomansaAisha Kartika, CEO perusahaan interior Garis Ruang, memimpin proyek pembangunan hotel di Jeddah, Saudi Arabia, di mana lukisan Azura, sahabat sekaligus cinta yang pernah ia tinggalkan, menjadi bagian dari desainnya. Pertemuan ini menggugah kembali p...