Melanjutkan

383 45 3
                                    

Hai... semua yang sudah kangen sama Ai dan Dira... (GeEr banget, ada yang kangen...)
Semoga semuanya dalam keadaan sehat fisik & mental...
Bab ini ada banyak best part nya buat saya...
Enjoooooooooy
__________

“Azura, lebih baik kamu pulang biar aku yang jaga di sini,” kata Dira sambil memberikan dua paper cup syai haleeb (teh susu) pada Azura.
Sembari mengambil secangkir minuman dari tangan Dira Azura berkata, “I don’t have anyone but her and i don’t want to lose her again. Aku ingin menjaganya sampai dia benar-benar terbangun,” kata Azura, terdengar sedikit drama.
“Ok deh, terserah kamu saja,” kata Dira, yang kemudian duduk di samping Azura.
“Oh, iya, ini ponsel kamu. Sorry tadi aku buka-buka, aku butuh menghubungi orang-orang yang barang kali terhubung sama kamu selama kamu pergi entah ke mana kemarin,” jelas Azura, sambil memberikan ponsel milik Dira.
“Tapi kenapa kamu berusaha menghubungiku? Bukankah kamu tahu kalau aku sudah dipecat!” kata Dira.
“Dan kenapa kamu mau kembali?”
“Aku tidak mungkin pulang tanpa membawa uangku, dua bulan meninggalkan keluarga itu bukan hal yang mudah bagiku. Jadi nanti sebenci apa pun dia melihatku kembali aku akan tetap melanjutkan pekerjaanku,” kata Dira. Sambil sedikit tersenyum.
“Ai itu tak tertebak, kita tak akan tahu apa yang dia benci apa yang dia sukai. Apa yang membuatnya marah dan apa yang membuatnya bangga,” kenang Azura.
“Karena itu hubungannya selalu rumit dengan semua orang,” komentar Dira. Terdengar masih ada rasa marah atau semacamnya di hati Dira.
“Kalau kamu masih marah padanya, biar aku saja yang mengurusnya,” kata Azura.
“Apa gunanya marah pada orang sakit?” balas Dira. Sambil tersenyum.
“Dira. Asal kamu tahu, kecelakaan ini terjadi karena dia berusaha melindungiku. Sepertinya kamu benar, dia memang selalu membuat hubungan rumit dengan semua orang,” kara Azura.
“Sebenarnya apa yang terjadi di antara kalian?” Tanya Dira, penasaran. Dia tatap lekat mata Azura untuk bisa mendapatkan jawaban.
Azura menghindari tatapan itu lalu memberikan jawaban, “Aku tidak tahu. Aku melihat jawaban itu dari matanya, tapi tidak mungkin bisa memastikan, karena dia menyimpannya sangat dalam.”
“Kamu sama saja sama Mbak Ai,” komentar Dira atas jawaban Azura yang terdengar tak menjelaskan apa-apa baginya.
“Kenapa?”
“Kalau ditanya itu sukanya jawab pakai kata misteri khas seniman,” kata Dira, bergurau. Dan cukup berhasil menghibur Azura juga. Dira senang melihat rekan kerjanya itu bisa tersenyum. Sebenarnya Dira juga sangat khawatir dan ingin segera bisa melihat Ai bangun, tapi ini sudah malam, dan tadi dokter juga sudah katakan jika Ai akan baik-baik saja. Jadi Dira berusaha tetap tenang.
***
Ai tersenyum menatap Azura, lalu semua orang berteriak dan mengangkat tubuhnya, matanya tak mampu terbuka, namun kesadarannya masih utuh, dia mendengar riuh redam semua orang, namun pandangannya masih terus tertuju pada sosok perempuan yang selalu ingin dia jaga, Azura terus menggenggam tangannya saat berada di dalam ambulance, dengan penuh kecemasan Azura terus berkata, “Please, hold on. I need you in my life.”
“Ya Allah, apakah ini sudah waktuku? Aku selalu berkata, hanya bisa memilih pergi karena tidak bisa memilih mati. Sangat berat hidup dibayangi dosa yang terus merajai. Jika benar ini sudah waktuku, aku akan pamit diri pada semua orang yang mencintaiku,” kata itu seakan menari indah dalam lelapnya.
(Flashback masa kecil)
“Pa, besok Ai ikut ke tempat kerja papa, dong,” kata Aisha kecil pada papanya.
“Iya, boleh. Memangnya ada apa ke kantor papa?”
“Ada tugas sekolah, bu guru meminta semua murid untuk menggambar apa pun yang berhubungan dengan pekerjaan orang tua kami,” jelas Ai, dalam balutan seragam SD nya. Dan papanya hanya tersenyum.
Keesokan harinya Ai ikut papanya ke tempat kerja, berkeliling lalu kemudian duduk manis di ruang direktur milik papanya, sambil membuka buku gambar, sementara sang ayah masih sibuk dengan pekerjaannya, setelah selesai Ai menunjukkan gambar itu pada papanya.
“Jadi, kamu ingin menggambar ruang kerja papa?” Tanya papanya, sambil tersenyum. “Menurut kamu apa sebutan pekerjaan papa?” lanjutnya bertanya pada Ai.
“Aku sudah kelas lima, pa. Aku tahu bahwa papa adalah seorang arsitek,” jawab Ai.
“Kalau ruangan dalam sebuah bangunan, apa namanya?” Tanya papanya, “seperti yang kamu gambar ini,” lanjutnya.
“Ya namanya ruangan, pa,” jawab Ai, polos.
“Namanya “Interior.” Yang mengerjakan desainnya, namanya “Desainer interior.” Mengerti?”
“Kalau begitu, saat dewasa nanti Ai mau jadi desainer interior,” ucapnya, lugu.
Bertahun-tahun kemudian berlalu, pendidikan SMA telah selesai, namun mimpi masa kecil itu seolah hilang, karena perceraian yang terjadi pada kedua orang tuanya. Ai yang beranjak dewasa saat itu hanya mengunci diri di kamar, padahal prestasi sekolahnya bagus, tapi dia tak memiliki kehidupan sosial yang normal. Selalu menyendiri dan pada akhirnya tergoda untuk mencicipi kenikmatan gulungan tembakau yang memang mudah dibeli dan didapatkan, dia berhasil merokok tanpa sepengetahuan mamanya, namun saat mamanya tahu, dia semakin merasa bersalah karena mamanya tidak marah.
“Papa kamu sudah menyiapkan semuanya di Amerika, pergilah, dan raih apa yang pernah kamu cita-citakan,” kata mamanya.
“Cita-cita itu hanya angan anak-anak yang tidak akan sama ketika kami tumbuh,” jawab Ai, dan ucapannya itu sepertinya sangat menyakitkan bagi mamanya. Lalu dengan suara berat mamanya berkata.
“Ai, lihat mama. Maafkan mama yang tak lagi bisa hidup bersama dengan papa kamu. Mama hanya bisa merasa kecewa kamu merokok, tapi mama akan semakin merasa bersalah jika di masa depan kamu hanya menjadi perokok yang pengangguran. Mama hanya janda yang tidak memiliki banyak harta, tidak akan bisa menjamin kebahagiaan kamu,” ucap mamanya. Sebenarnya Ai muda bukan lah tipe remaja dewasa yang suka menjawab saat diberikan nasihat, bahkan ucapan mamanya itu cukup mampu membuatnya menangis, menyesali dirinya sendiri.
“Tapi, Ai kecewa sama papa,” ucap Ai, pelan, dalam tangisnya.
“Ai. Hug me,” kata mamanya, sambil membuka kedua tangan untuk memberikan pelukan, Ai pun memeluk mamanya erat, “I love you, and he loves you too. Ini bukan tentang kami berdua sebagai orang tua, tapi tentang kamu sebagai diri kamu sendiri.”
“I miss you so much, Mama...”
.
“Ah...” suara Ai saat terbangun dari tidurnya. Kemudian seorang perempuan mengenakan seragam medis mendekatinya.
“Hei, good morning. How are you?” Sapa perempuan itu.
“A little dizzy,” jawab Ai, sembari memegang kepala dan mengernyitkan dahi. “Am i in a hospital?”
“Yes, you are,” jawab perawat itu, ramah. Kemudian perawat tersebut memberi kabar pada Azura dan Dira bahwa Ai sudah bangun, dan akan segera bisa pindah, setelah sarapan dan minum obat.
“Can we meet her, now?” Tanya Azura, tak sabar.
“Tunggu dia keluar saja, untuk pindah ke ruang pasien. Sekitar lima belas menit lagi,” kata perawat itu.
“Azura, aku temui Pak Mo sebentar, ya. Katanya hari ini Bapak pulang,” pamit Dira.
***
Dira merasa senang mendengar keadaan Ai, namun dia masih tak cukup berani untuk menemuinya. Ada keinginan untuk marah, namun juga rasa iba, ada juga perasaan bersalah dan keinginan berterima kasih. Mungkin Dira sudah terbiasa merasakan pemecatan, namun baginya hubungannya dengan Ai tak sekadar hubungan antara atasan dan bawahannya, Dira merasa dekat sedekat teman atau bahkan sahabat. Karena itu ada banyak rasa berat yang membebaninya untuk menemui Ai. Dia khawatir bahawa Ai mungkin sudah tak ingin menemuinya lagi.
Sementara Dira masih diliputi perasaan tak karuan tentang atasannya, dia juga membantu Pak Toha untuk bersiap pulang.
“Katanya Ai akan pindah ke kamar pasien, pagi ini?” Tanya Pak Toha.
“Iya, pak,” jawab Dira.
“Aku akan menemuinya terlebih dahulu. Untung saja keadaanku sudah membaik,” kata Pak Toha.
“Tapi Bapak masih harus hati-hati,” kata Dira, sambil membereskan barang-barang di meja.
“Iya,” kata Pak Toha, sambil tersenyum. “Bagaimana rasanya beristirahat beberapa hari? Sudah jalan- jalan ke mana saja?” tanya Pak Toha, kemudian. Dan Dira hanya tersenyum tanpa jawaban.
Azura mencoba melakukan panggilan pada Dira, namun tak terjawab. Bersama dokter Ai dipindahkan ke kamar pasien, Azura pikir Dira belum mengurus kamar, namun ternyata kamar vip sudah dipesan dan siap ditempati.
“Dira, salah satu dari kita harus ada yang jagain Ai. Kalau kamu yang ngantor, aku yang jaga,” pesan itu Azura kirimkan pada Dira.
“Iya, aku saja yang ke kantor. Kan pekerjaan kamu lebih fleksibel,” balas Dira.
“Kamu tidak ingin lihat Ai terlebih dulu?” Tanya Azura.
“Aku buru-buru,” balas Dira, tanpa berpikir.
Dira pergi ke kantor selagi Pak Toha pergi ke kamar Ai untuk menemui putrinya. Beberapa bulan bekerja dengan Ai membuatnya cukup tahu untuk memahami prioritas pekerjaan, ada hal-hal penting yang harus ia komunikasikan dan tanyakan pada Hasin, juga harus menghubungi Janu terkait kontrak yang dibicarakan oleh Jafar tadi malam. Bagaimanapun sikap Ai yang dia terima, Dira merasa telah memiliki tanggung jawab atas perusahaan yang sudah mau menerimanya bekerja, ini bukan mengenai indifidu manusianya, tapi tentang kerja tim yang harus terselesaikan dengan baik.
“Akhirnyaaaa, kamu kembali,” kata pertama itu terucap dari Janu saat menerima panggilan dari Dira.
“Iya lah, pak. Saya kan hanya ingin mengambil waktu liburan,” jawab Dira. “Oh iya, tadi pagi Mbak Ai sudah pindah ke kamar pasien,” kisah Dira.
“Syukurlah,” balas Janu, lega. “Aku belum bilang apa-apa ke mamanya Ai, takut dia kaget, nanti saja kalau kondisinya sudah jauh lebih baik,” lanjut Janu.
“Pak, ini ada obrolan dari pihak perusahaan terkait kontrak kerja sama, katanya jika kondisi Mbak Ai tak membaik terpaksa perusahaan memutus kontrak, dan hanya membayar untuk pekerjaan yang sudah terselesaikan, juga menanggung semua biaya pengobatan, kecuali jika kita bisa tetap melanjutkan pekerjaan, apa pun keadaan Mbak Ai,” Dira mulai bercerita pada Janu.
“Apa kamu berbicara langsung pada Mr. Khalid?” Tanya Janu.
“Asistennya, pak. Tapi kan sama saja. Saya pikir itu wajar, jika berhubungan kerugian waktu yang harus mereka tanggung kalau menunggu pemulihan, pasalnya kecelakaannya di kepala, takutnya terjadi apa-apa jika Mbak Ai langsung bekerja ekstra.”
“Iya juga, ya,” balas Janu, sambil berpikir. “Saya tidak berani mengambil keputusan. Kira-kira apa memungkinkan kamu berbicara pada Ai?” Tanya Janu.
“Belum tahu, nanti atau besok saya akan coba temui, semoga tidak ada masalah,” jawab Dira, tanpa ide.
“Kalau boleh jujur dan kamu tidak keberatan, kamu bisa mengambil keputusan sendiri,” Janu mencoba memberi semangat.
Sambil tersenyum Dira menjawab, “Tidak mungkin, pak.”
“Kenapa tidak mungkin? Kalian berdua sudah melalui banyak hal selama pelaksanaan proyek, tidak mungkin  kamu tidak belajar apa pun. Coba kamu lihat lagi progres yang sudah berjalan, lalu kamu bisa meminta Ai menjadi pembimbing kamu untuk melanjutkan dan menyelesaikan,” nasihat Janu.
“Ini bukan sedang membangun rumah atau ruko, pak. Ini perusahaan besar,” Dira masih juga tak yakin.
“Iya, justru karena kalian berada di perusahaan besar, makanya kalian bekerja dengan banyak tim yang mumpuni,” kata Janu.
Dira masih belum mendapatkan jawaban atas kegelisahannya, hingga waktu pulang kerja tiba dia masih duduk di depan komputer sambil melihat-lihat lagi data yang tersimpan di file milik Ai, pikirannya masih buntu, tapi jauh dalam lubuk hatinya sangat ingin menaklukkan tantangan untuk melanjutkan kontrak. Jika berhenti rasanya sayang dengan waktu yang sudah berjalan, tapi jika lanjut dia tak yakin untuk bisa menggantikan banyak pekerjaan besar yang menjadi tanggung jawab Ai selama ini.
“Pling, pling, pling,” tanda pesan masuk berturut-turut di ponsel Dira, sebuah pesan gambar beruntun dari suaminya. “Itu rancangan kedai mi ayam kita, rencananya PERENCANAAN USAHA ini akan kami jadikan acuan untuk mencari investor,” lanjut pesannya.
“Waaah ini kabar menggembirakan sekali, mas. Akhirnya kita bisa sampai pada tahap ini,” balas Dira.
“Iya, alhamdulillah. Ternyata kemauan belajar itu anugerah, ya,” kata Hikam, diimbuhkan emoticon tersenyum dalam pesan tersebut.
“Mas, aku tanya, ya. Menurut kamu apa faedah belajar pada saat kita sudah bekerja?”
“Aku selalu percaya bahwa satu pengetahuan akan membuka banyak kesempatan. Semakin kesempatan itu kita ambil, semakin bertambah juga pengetahuan kita,” jelas Hikam.
“Bagaimana dengan resikonya?”
“Mengambil kesempatan berarti sama saja dengan kebersediaan menanggung resikonya. Tinggal bagaimana dan di mana prioritas pencapaian kita. Resiko selalu berbanding lurus dengan kesiapan mental. Dan kesiapan mental bisa terarah dengan baik oleh pengetahuan,” agak panjang Hikam, menjelaskan. “Ada apa Yang?” Tanya Hikam.
“Aku harus segera memutuskan sesuatu yang besar terkait kejadian kecelakaan yang menimpa Mbak Ai, tapi aku sama sekali tak memiliki jawaban,” curhat Dira.
“Yang, kamu akan segera mendapatkan jawaban, kalau kamu berhasil meredam kepanikan,” kata Hikam.
Nasihat terakhir dari suaminya itu seakan memberikan penjelasan nyata mengenai kondisi mental Dira yang lebih fokus pada kepanikan atas kecelakaan itu, bahkan dia juga panik akan dirinya sendiri, bahwa dia mungkin tidak akan bisa mengemban tanggung jawab itu, tapi Dira lupa bahwa sebenarnya dia bisa mulai dari memeriksa secara langsung kemajuan proyek dalam beberapa minggu terakhir, dan mendiskusikan dengan tim yang terlibat. Sekaligus menjadi sarana penyuluhan suara, apakah cara Ai memimpin proyek ini cukup efektif bagi para pekerja. Dari situ dia akan bisa menentukan jawaban yang tepat dan bahkan mungkin menguntungkan semua pihak. Intinya adalah mendengarkan, mencatat dan mendiskusikan.
***
“Hei, Ra, Are you oke?” Tanya Ai pada Azura, masih dengan lemas.
“Are you kidding?” Balas Azura, heran. Sebenarnya pertanyaan itu lebih cocok untuk Ai.
“Kamu tidak pergi bekerja?” Tanya Ai.
“I am an artis, i can finish my work anywhere, any time. But now i just want to be here with you,” jawab Azura.
“Don’t be dramatic. I’m ok,” balas Ai, sambil tersenyum meledek Azura.
“I hate you when you say that i am a drama queen,” kata Azura.
Lalu tak lama kemudian Pak Toha masuk bersama Pak Mo.
“How are you my girl?” Tanya papanya.
“Baik kok, pa. Ai masih hidup,” jawab Ai.
“Hari ini papa pulang, karena keadaan papa sudah membaik. Sebenarnya papa ingin di sini saja mengurus kamu, tapi takut malah merepotkan karena tidak bisa banyak membantu,” kata papanya.
“Iya, pa. Tidak masalah.”
“Lagi pula, ada Dira yang sudah biasa mengurus semua pekerjaan dan keperluan kamu.”
“Apakah dia sudah kembali?” Tanya Ai.
“Iya, tapi tadi dia buru-buru berangkat ke kantor, jadi tidak sempat menemuimu dulu,” kata Pak Toha. Dan Ai hanya tersenyum. Dalam hatinya berkata, “Wajar jika Dira masih marah dan tidak mau menemuiku, tapi dia harus kembali karena mungkin ada yang memintanya.”
Seorang Aisha Kartika yang biasanya terlihat kuat dan angkuh kali ini tergeletak lemah di kasur pasien lengkap dengan penyangga di lehernya. Meski benturannya keras dan cedera parah di bagian pundak belakang dan leher belakang namun benturan di kepalanya tidak berdampak pada cedera otak, terbukti dengan masih jelasnya dia berbicara, semua motorik bereaksi normal, dan tidak ada memori yang hilang. Meski begitu benturan di kepalanya membuat kebocoran dan jahitan yang cukup banyak. Jadi masih harus berhati-hati juga.
Seharian Azura menemani Ai, kondisinya masih lemas dan tak banyak bicara. Hanya sesekali Ai minta dibantu untuk minum dan pergi ke toilet.
“Ra, sebenarnya kamu bisa pulang, di sini ada banyak perawat yang bisa menjagaku,” kata Ai.
“Aku hutang nyawa sama kamu,” kata Azura, sembari menggenggam tangan kanan Ai dengan kedua tangannya. “Aku benar-benar takut kehilangan kamu, lagi. We are still friend, isn’t it?” lanjut Azura, dengan suara berat.

“Maaf,” namun kata itu tak sanggup keluar dari bibirnya. Air matanya mencekik. Ai memejamkan mata, mencoba memikirkan kuasa sang pencipta atas dirinya.

Hasbunallah wa ni’malwakiil, ni’mal maula wa ni’mannashiir. Wa laa hawla wa laa quwwata illa billaahil’aliyyil’adhiim (Cukup Allah bagi kami sebaik-baik wakil, sebaik baik kekasih, sebaik baik penolong. Tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah yang maha tinggi pun maha agung.) Aku mengenal perasaan itu, yang kumiliki dan dia miliki, aku menolak cinta itu karena patuh akan aturan agamaku, tapi saat Kau pertemukan lagi dengannya, aku tak lagi bisa menghindarinya. Ya Allah, kali ini aku menyadari tak mungkin bisa memutus hubungan antar sesama manusia tanpa kehendak-Mu. Aku ingin menerima pertemanan ini lagi. Bimbing langkahku untuk senantiasa berada dalam cinta-Mu,” mata Ai terpejam dalam keheningan pikirannya, tanpa terasa air matanya menetes.

Azura keluar karena ponselnya berdering.
“Ceklek...” suara pintu ruangan terbuka. Seorang dokter dan satu perawat masuk bersama dengan Dira, untuk melakukan pemeriksaan kondisi jantung, tekanan darah serta gula darah. Setelah pengecekan semuanya dokter berbicara pada Dira.
“Kondisinya bagus, dan usahakan tetap stabil, jangan memberikan beban berat padanya. Makan sesuai jam, dan minum obatnya, jika sudah mulai bisa diajak jalan-jalan, anda bisa melakukannya,” demikian penjelasan dokter yang menangani.
“Fahimna (baik, saya mengerti.) Syukron,” kata Dira. kemudian dokter itu keluar.
Setelah menutup pintu Dira mendekat pada Ai dan berkata, “Mbak, saya kembali. Maaf, untuk...” kata Dira terputus.
Ai mengambil tangan Dira dan berkata, “Aku yang minta maaf. Terima kasih sudah mau kembali.”
“Harusnya saya merekam permintaan maaf kamu. Ini kejadian langka. Seorang Aisha Kartika minta maaf pada asistennya,” gurau Dira.
Ai menggoyang tangan Dira, dan melepaskannya sambil berkata, “Dasar sinting,” ucapnya sambil tersenyum.
“Sekarang makan, ya, Mbak. Setelah itu minum obat,” kata Dira.
“Jadi kamu masih mau mengurusku?” Tanya Ai.
“Ya, karena saya dibayar untuk itu,” gurau Dira sambil mulai menyiapkan suapannya.
Setelah selesai beberapa suap, Ai merasa kenyang kemudian minum obat. Dan setelah itu dia memulai pembicaraan tentang pekerjaan.
“Dira, Jafar pasti sudah mulai membicarakan soal kontrak kerja?” Tanya Ai.
“Semuanya bisa saya komunikasikan, mbak. Tidak perlu khawatir,” jawab Dira. ia berusaha menghindari kontak mata dengan Ai, dia tahu kalau Ai selalu bisa membaca kegelisahan orang lain.
“Hei. Jangan takut,” kata Ai, mencoba menenangkan Dira, yang terlihat panik. “Di tas kerjaku ada i-pad yang biasa kugunakan untuk meng-handle beberapa pekerjaan, jurnal kemajuan setiap proyek dan target kerja semuanya juga ada di sana. Kamu bisa memeriksanya. Jika tidak keberatan kamu bisa mengambil persetujuan untuk  melanjutkan kontrak sesuai perjanjian, tapi jika kamu keberatan, kita berhenti, dan berarti ini yang terbaik. Tinggal nanti perusahaan harus bersedia menghemat dengan pindahkan gudang yang sewanya lebih murah, dan peremajaan mesin kita cicil satu persatu.”
Dira hanya diam menanggapi penjelasan itu. Akhirnya ia pun memutuskan untuk beranjak dari tempat duduknya yang saat itu tepat di sisi kanan Ai.
“Saya ke toilet sebentar, ya, mbak,” pamitnya.
Ai meraih tangan kiri Dira dan berkata, “Dira, sekarang keputusan ada di tangan kamu. Aku tidak akan memberatkanmu dengan apa pun.” Dan lagi-lagi Dira hanya diam.

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang