PART 7

8 3 2
                                    

Beberapa menit sebelum jam pulang kantor kemarin, Hera, Mbak Nuri, Aini dan Veno berkumpul untuk mengucapkan salam perpisahan.

"Hera..." Aini terisak sambil memeluk Hera.

Melihat air mata Aini yang berderai-derai, Hera dan Mbak Nuri terpaksa menenangkannya.

"Sudah Aini, jangan menangis. Ingus kamu jadi ke mana-mana tuh." Hera melepaskan pelukan Aini sehingga gadis itu lalu menghampiri Mbak Nuri.

"Mbak Nuri... Hiks, hiks..." Aini melingkarkan lengannya pada lengan Mbak Nuri.

"Ya ampun, Aini... Kenapa jadi kamu yang menangis sesenggukan, sih? Yang dikeluarkan kita berdua ini, sudah jangan sedih dong. Kita masih bisa telponan dan kontak-kontakan lewat sosmed, iya kan? Kalau mau ketemuan pun oke-oke saja."

"Tapi... Tapi... Huhuhu..."

Tiba-tiba bahasa kebun binatang Aini meluncur dari mulutnya, Mbak Nuri segera membekap mulut gadis itu agar umpatannya tak sempat terdengar oleh orang lain, terutama Ms. Chantale yang masih ada di dalam ruangannya.

"Duh, Aini! Anak ini rupanya sudah gila. Sssttttt!" Veno yang tadi memasang wajah sedih dan tak mampu berkata apa-apa, kini jadi berubah panik dan ikut membungkam mulut Aini.

"Kalau Ms. Chantale sampai dengar, bisa gawat! Satu divisi ini bisa di cut semua." gerutu Hera, sebagai orang terakhir yang tangannya menempel pada mulut Aini.

Aini mengangkat kedua tangannya dan memberi tanda bahwa ia tak bisa bernapas. Semua orang pun menjauhkan tangan mereka dari wajah Aini.

"Huuuufffttt... Kalian yang gila! Mau aku mati, hah? Susah bernapas tahu." protes Aini marah.

"Habis kamu juga sih, pakai bahasa tidak sopan dan mencela bos kita. Ingat, ini masih di kantor. Apalagi kondisi perusahaan kita sedang sensitif." bisik Veno dengan wajah pucat.

"Iya, maaf. Habis aku tak bisa menahan emosiku." jawab Aini sedih.

"Cukup, teman-teman... Kita pulang saja, yuk! Sekarang sudah jam lima lewat nih." ajak Mbak Nuri.

"Kalian duluan saja ya, aku masih ada sisa pekerjaan dari Ms. Chantale. Mungkin aku bisa lembur sampai beberapa jam ke depan." kata Hera dengan raut wajah menderita.

Saat Aini hendak mengumpat kembali, Hera cepat-cepat memelototinya. Aini pun tak jadi membuka mulut. Pasti dia baru saja berkeinginan untuk mengatai-ngatai Ms. Chantale.

"Kau yang semangat ya, Hera. Orang rajin dan pintar sepertimu pasti akan mendapatkan yang lebih baik lagi." Mbak Nuri melemparkan senyum pada Hera sambil memeluk gadis itu.

"Betul itu, semangat temanku!" Veno menepuk pundak Hera, lalu mengambil tas kerjanya. "Kalau begitu, kami pulang duluan. Lain kali kita kumpul-kumpul bareng, ya!"

Aini adalah orang terakhir yang beranjak dari ruangan. Sebelum pergi, ia mengangguk sekali ke arah Hera lalu melangkah keluar menyusul Mbak Nuri dan Veno.

Kini tinggallah Hera sendiri di dalam ruangan staff pemasaran. Ms. Chantale pulang sekitar satu jam kemudian setelah ketiga temannya. Penyihir tua itu lagi-lagi memperingati Hera agar pekerjaannya selesai hari itu juga dan jangan sampai ada yang terlewat, atau ia akan mengejar Hera sampai ke rumahnya. Wanita tersebut tak peduli sampai jam berapa Hera akan lembur untuk menyelesaikan semua pekerjaannya itu.

Hera menghela napas di kursinya, berkas-berkas yang menumpuk di atas meja sudah berhasil di input satu-persatu ke dalam sistem data yang ada di dalam komputer Hera. Sebentar lagi pekerjaannya beres.

Sekarang sudah hampir jam delapan malam. Sore tadi Hera sudah menghubungi rumah, dan ia bilang bahwa dirinya mendadak diberhentikan dari kantor hari itu dan kemungkinan akan pulang terlambat karena lembur, jadi ia akan melewati makan malam. Tapi ibunya berkata, jika orang rumah akan menunggu Hera kembali dan makan bersama-sama. Walau Hera bilang itu tidak perlu, ibunya dengan nada bicara sedih berkata bahwa mereka akan tetap menunggu sampai Hera pulang.

Gadis itu berniat untuk rehat sejenak, ia tinggal menekan tombol send di email yang dialamatkan pada Ms. Chantale Lee.

Mata Hera menerawang menatap langit-langit ruangan.

Apa kubakar saja kantor ini diam-diam? Terbesit pikiran jahat dalam benak Hera.

Gadis itu mendadak tertawa cekikikan karena ide itu terdengar lucu, lalu ia langsung berhenti. Siapa tahu ada orang lain yang mendengar tawanya.

"Haahh... Ada-ada saja. Mana berani aku melakukan hal seperti itu, aku bisa dipenjara bertahun-tahun lamanya..." ucap Hera sedih. "Mulai besok aku harus bagaimana ya... Apa yang harus kulakukan? Selama ini yang kutahu hanyalah bekerja, tapi semua usahaku sia-sia dan berujung tak dihargai. Mungkin aku harus bertanya pada teman-temanku yang kaum rebahan?"

Sudah lama ia tak bertemu teman-temannya yang lain karena ia sibuk mengejar karir selama tiga tahun terakhir, terbukti dengan gajinya yang lumayan tinggi sebagai salah satu staff senior. Kalau saja perusahaannya itu tak mengalami kesulitan keuangan, tahun depan mungkin Hera sudah naik jabatan dan dapat kesempatan dipromosikan ke kantor cabang mereka di negara lain.

Hera menghembuskan napas berat untuk kesekian kalinya.

"This is the end of my career here... Sudahlah, hidupku untuk esok hari biarlah kupikirkan besok saja. Sekarang lebih baik aku pulang dulu."

Hera lalu menatap komputernya dan mengeklik tombol send.



Hera VS Unexpected EventsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang