"Jadi begitu kata Om Surya, kebetulan penginapannya sedang kekurangan penerjemah. Kalau kau berminat, minggu depan kau bisa mulai bekerja di sana."
Makan malam hari itu diawali dengan pembicaraan tentang lowongan pekerjaan di penginapan Om Surya. Sudah sebulan lebih Om Surya mencari tambahan penerjemah Bahasa Inggris yang kompeten, tetapi beliau masih belum juga mendapatkan orang yang sesuai. Saat ayah Hera berkata bahwa putri bungsunya itu sedang mencari pekerjaan, Om Surya langsung bersemangat menawari Hera agar dapat bekerja dengannya secepat mungkin.
"Maaf ayah, sepertinya aku belum siap untuk tinggal di puncak. Dan... Aku masih ingin mencari peluang pekerjaan di kota." tolak Hera secara halus. Ia lalu melirik ke arah Indri. "Bagaimana kalau Indri saja yang menggantikanku? Bahasa Inggrisnya lumayan, apalagi dia bisa berbahasa Korea. Itu akan menjadi nilai tambah, bukan?"
Indri mengangguk dengan mata penuh harap. "Iya, ayah. Bilang ke Om Surya, aku siap kok walaupun harus tinggal di puncak yang jauhnya beberapa jam dari kota ini."
Ayah mereka mendengus kesal, lalu menatap tajam ke arah Hera.
"Hera, sebenarnya apa sih yang menjadi masalahmu enggan untuk bekerja di puncak selain kamu benci hawa dingin? Masalah gaji? Kalau masalah utamamu itu, Om Surya bilang jangan terlalu dipikirkan. Jika pekerjaanmu berjalan dengan baik, gajimu otomatis akan ia naikkan. Jadi buktikan saja kau bisa bekerja keras."
"Bukan begitu ayah... Belum ada sebulan aku keluar dari kantor lamaku. Lagipula aku sudah mengirimkan lamaran pekerjaan ke beberapa perusahaan. Siapa tahu ada yang memanggilku untuk wawancara minggu depan. Setidaknya aku ingin melihat keadaan di kota dulu. Kuharap ayah mau mengerti."
Raut wajah ayah Hera menjadi lebih muram mendengar jawaban anaknya itu. Lalu ia beralih kepada Indri.
"Indri, kamu yakin bisa berkomitmen dengan pekerjaanmu nanti? Apa kau sudah merasa siap untuk bekerja dalam jangka waktu panjang dan hidup mandiri tanpa membuat masalah?"
"Oh, tentu saja ayah! Indri yang sekarang bukanlah Indri yang dahulu, hehe... Kalau Hera masih belum bisa move on, lebih baik aku saja yang pergi. Kapan lagi ada kesempatan emas seperti ini. Benar, kan?" Indri menepuk-nepuk dadanya dengan penuh percaya diri.
Hera mencibir ke arah Indri yang balas menjulurkan lidahnya.
"Duh, kepala ayah jadi pusing. Ya sudah, kalau Hera tidak mau, ayah akan bilang pada Om Surya supaya Indri saja yang kerja di sana. Yah, semoga saja dia mau menerima."
"Wah, ayah meremehkan aku? Lihat saja nanti, akan kubuktikan kalau aku juga bisa bekerja keras!" protes Indri yang tersinggung.
"Ya, ya, ya... Pembicaraan kita berakhir sampai di sini. Ayo kita lanjut makan saja."
Ayah mereka mulai fokus terhadap makanan yang ada di depannya. Sementara ibu Hera melihat ke arah putri bungsunya dengan wajah sedih.
Kalau sampai dalam dua bulan ini aku tak bisa menemukan pekerjaan impian yang sesuai dengan kemauanku, maka aku akan menyerah. Dua bulan adalah waktu yang cukup, kan? Pikir Hera.
Sebentar lagi awal bulan dan Hera akan menerima gaji terakhirnya beserta uang pesangon. Ia berpikir untuk menemui beberapa teman dekatnya saat masih kuliah dulu dan mungkin juga akan pergi membeli beberapa baju baru. Sepertinya terakhir kali Hera membeli baju adalah delapan bulan yang lalu, karena selama ini semua uangnya habis untuk ongkos ke kantor, persiapan tabungan masa depan, keperluan belanja keluarga, serta sebagiannya juga untuk membeli gadget mahal, dengan alasan bahwa gadget itu penting untuk keperluan pekerjaannya.
Betul. Kebanyakan wanita berkata kalau belanja itu adalah obat penghibur yang paling ampuh! Setelah sekian lama, tak ada salahnya jika aku 'sedikit' berfoya-foya seperti wanita pada umumnya, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hera VS Unexpected Events
ChickLitKhusus cerita ini, author terinspirasi dari kisah nyata (dengan nama tokoh-tokoh yang disamarkan), tentunya juga terdapat unsur-unsur tambahan yang merupakan fiksi (baik beberapa tokoh dan alur cerita), hal tersebut dilakukan sebagai bumbu ekstra at...