MF.6

1 0 0
                                    

|||||

Pak Sapto, bu Khadijah dan Nizam terus menampilkan senyum bahagia mereka. Nisa memang bukan pertama kalinya memakai jilbab. Namun aura Nisa malam ini terlihat sangat berbeda.

"Semoga istiqomah ya Nis." Doa bu Khadijah, yang diaminkan oleh suami dan kedua anaknya.

"Rizqi tadi sudah pulang opo kemana?" Tanya bu Khadijah.

"Tadi bilangnya mau pulang dulu bu. Nanti katanya dia mau balik. Mau nemenin Nizam di sini. Udah Nizam larang, emang dasarnya Rizqi keras kepala."

"Yo wis kalau gitu bapak sama ibu pulang yo. Kasihan bapak capek, besok harus kerja." Pamit bu Khadijah.

"Bang pesantren Al-Hikmah itu gimana?" Tanya Nisa kepada Nizam yang duduk di samping ranjangnya. Nizam melirikkan matanya keatas sesaat, berpikir.

"Abang gak tahu sih pastinya gimana. Soalnya kan disana abang cuma jadi pengajar, itu pun di sekolah umum."

"Jadi yang sekolah di situ bukan anak pesantren Al-Hikmah aja bang?"

"Iya. Abang juga cuma sesekali ikut pengajian rutinan disana. Itu juga karena ajakan Rizqi. Lebih tepatnya entar kamu tanya aja ke Rizqi."

"Ih gak mau ah. Abang kan tahu mana pernah temen abang itu bicara baik-baik sama aku."

Nizam tertawa sedikit keras mendengar gerutuan adiknya itu. Entahlah mengapa sejak pertama kali Nisa dan Rizqi bertemu selalu ada saja perdebatan kecil yang mereka lakukan.

"Astaghfirullah, Allahu akbar. Ono ustazah teko ndi iki Zam?" Kedatangan Rizqi sontak membuat Nisa memutar bola mata malas. Apalagi mendengar ejekan Rizqi padanya. Dia sakit begini saja Rizqi dengan enteng mengejeknya. Apalagi hari biasa saat Nisa sehat.

Sementara Nizam semakin terkikik geli. Sepertinya perdebatan akan segera di mulai.

"Assalamualaikum ustazah ?" Ucap Rizqi dengan senyum jahil di wajahnya.

Nisa mendengus, "telat!"

"Wes to Qi ojo di ganggu. Lagi gak bisa cerewet dia." Ujar Nizam yang semakin membuat Rizqi tertawa.

"Ih Nisa mau tidur. Waalaikum salam." Rajuknya. Nisa membalikkan badannya kekanan. Membelakangi sang kakak juga Rizqi. Selimutnya yang berada di pinggang ia tarik menutupi seluruh tubuhnya.

"Lah ngunu ae ngambek."

|||||||

Suara lantunan ayat al qur'an terdengar lirih di telinga Nisa. Matanya mengerjap pelan, keadaan ruangan yang ia tempati terasa sunyi. Hanya saja suara lantunan ayat al qur'an masih terdengar meski lirih. Nisa mengalihkan pandangannya. Di pojok ruangan yang jaraknya hanya lima langkah kaki, Rizqi tengah terduduk. Kepalanya menunduk, matanya pun terpejam namun mulutnya masih melantunkan ayat al-qur'an dengan suara lirih.

Nisa mengedarkan pandangan mencoba mencari keberadaan Nizam. Namun tak dia temui. Rasa haus membuat Nisa berusaha untuk duduk dan mengambil air minum di nakas.

Mendengar pergerakan dari arah ranjang Nisa membuat Rizqi sontak menegakkan tubuhnya.

"Ono opo Nis?" Tanya Rizqi terkejut. Suaranya terdengar sedikit meninggi di sunyinya ruangan. Nisa yang mendengarnya pun terkejut.

"Apa?" Tanya Nisa bingung, "ini mau ambil minum, haus." Sambungnya setelah mengerti maksud pertanyaan Rizqi.

"Astaghfirullah aku kira ada apa to?"

Nisa meringis pelan. "Maaf jadi bangunin."

"Bangunin siapa, orang aku ndak tidur kok."

"Halah ndak tidur tapi ngorok."

"Kapan?" Tanya Rizqi mengelak. Nisa terdiam. Hari masih gelap, jam menunjukkan pukul tiga pagi. Tak sopan dan akan memalukan nantinya jika dia berdebat dengan Rizqi. Jadi biarlah untuk kali ini Nisa diam. Beberapa saat keduanya terdiam. Rizqi sudah kembali ketempatnya duduk. Menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata dan menundukkan kepalanya.

"Bang Nizam mana?" Tanya Nisa memecah keheningan. Membuat Rizqi kembali menegakkan tubuhnya dengan cepat.

"Hah?" Tanyanya.

"Tidur kan?!"

"Iyo barusan, yang tadi ndak yo."

"Halah ngeles ae, bang Nizam mana?"

"Biasane piye, paling juga ketiduran di mushola pas dzikir."

Jawaban Rizqi membuat Nisa menghembuskan napasnya kesal. Bagaimana ini Nisa sangat membutuhkan keberadaan Nizam saat ini.

"Kenapa kamu butuh sesuatu?" Tanya Rizqi melihat gelagat Nisa. Rizqi kembali mendekat.

"Em, itu bisa ndak panggilin bang Nizam."

"Emang e kamu butuh opo sih Nis. Tak bantuin aja. Aku males ke mushola, jauh."

Tanpa sadar Nisa mengerucutkan bibirnya. Sebenarnya Nisa ingin pergi ke kamar mandi. Tapi ya masak ia minta bantuan Rizqi. Selain malu tentu saja saling bersentuhan dengan Rizqi bukan hal yang benar.

"Itu...." Nisa bingung harus berbicara apa.

Melihat gelagat Nisa, Rizqi mulai paham apa yang dimau gadis itu.

"Bentar yo tak panggilin suster." Tak melihat tanggapan dari Nisa. Rizqi langsung saja berlalu. Tak lama Rizqi kembali bersama seorang perawat yang langsung menanyakan keperluan Nisa.

"Nis, aku tinggal ke mushola ndak papa kan?" Tanya Rizqi memotong pembicaraan Nisa dengan perawat.

"Iya, nanti sekalian sholat subuh juga gak papa."

"Ya udah assalamualaikum."

"Waalaikumsalam makasih kak Rizqi."

||||||||

Keadaan Nisa mulai pulih siang ini. Tubuhnya juga tak selemas kemarin. Kini Nisa tengah menikmati suapan demi suapan yang ibunya berikan. Bukan seperti orang kebanyakan yang akan malas makan saat sakit. Nisa malah akan semakin lahap makannya.

"Perkedelnya bu." Pinta Nisa, matanya berbinar melihat perkedel kentang bikinan ibunya. Apalagi perkedel itu ditambah dengan daging giling.

"Wih wih wih, wis entek pirang piring iki Nisa bu?" Kedatangan Nizam membuat bu Khadijah menghentikan suapannya. Bu Khadijah terkekeh mendengar celetukan Nizam.

"Mosok yo ndak apal piye adikmu mangan e lak loro?"

"Enak Nis. Besok udah bisa to cuciin bajuku. Klambiku wis numpuk nang omah."

"Ibu, Nisa masih sakit." Adu Nisa pada sang ibu dengan suara yang dibuat selemas mungkin. Selama ini memang Nisa yang akan mencuci baju juga celana Nizam. Bukan dengan sukarela. Tentu saja Nisa akan meminta pajak lelah pada Nizam.

Nizam terkikik geli mendengar Nisa.
"Alah Nis, bentar lagi kamu kan masuk pesantren. Gak bakalan lagi to kamu nyuci baju abangmu yang ganteng iki." Ucap Nizam dengan PD-nya.

||||||||


Sulawesi Tenggara,4'April21

My FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang