MF.2

3 0 0
                                    





||||||||||

"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan."
(QS. Al-A'raf: 26).

Nisa menutup buku yang beberapa menit lalu dia baca. Buku dengan judul 'Muslimah' yang terasa tidak menarik baginya.

Atas perintah sang abangnya tadi, Nisa langsung mengambil buku tersebut. Nisa sudah bisa menebak apa isi tulisan di buku itu. Apalagi jika bukan tentang anjuran mengunakan hijab. Baru saja beberapa lembar Nisa membaca, dia sudah merasa bosan.

Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Di rumah hanya ada dirinya. Pak Sapto tentu saja sudah berangkat bekerja. Pak Sapto merupakan salah satu pegawai pemerintahan. Dan bu Khadijah sejak pukul delapan tadi pergi kesalah satu rumah tetangga yang tengah mengadakan acara pernikahan.

Nisa menyalakan layar televisi yang ada di depannya. Acara gosip disalah satu saluran membuatnya tertarik. Kabar dari salah satu aktris indonesia yang baru saja berhijrah, membuat mood Nisa kembali anjlok. Entahlah Nisa merasa semua seakan tengah berkonspirasi untuk membuat Nisa memakai hijab. Nisa menghela napas berat. Dimatikannya televisi tersebut.

Kepala Nisa berdenyut. Nisa merebahkan dirinya di sofa. Sebenarnya ada setitik keinginan untuk berhijab di hatinya. Namun Nisa merasa ragu. Ilmu agamanya sangatlah nol besar. Ia takut saat berhijab nanti, dirinya bisa saja melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Sedangkan untuk memperdalam ilmu agama. Nisa bingung harus memulainya dari mana.

Bunyi suara telepon membuyarkan lamunan Nisa. Nisa beranjak, berjalan menuju meja di sudut ruang tengah.

"Halo, dengan siapa?"

"Assalamu'alaikum, ini Nisa ya? Nizam ada, Nis?" Suara seorang lelaki di sebrang telpon terdengar. Suara teman Nizam yang paling malas Nisa dengar.

"Bang Nizam udah pergi dari tadi pagi, kenapa emang?" Tanya Nisa dengan nada malas.

"Aku kira Nizam belum berangkat. Cuma mau bilang nanti acara di ponpes di mulai ba'da isya."

"Hm, nanti aku bilang bang Nizam." Sahut Nisa dan langsung mematikan panggilan tersebut. Biarlah dikata tidak sopan, Nisa tidak peduli.

Nisa sudah akan beranjak menuju kamarnya namun tertahan oleh suara ketukan pintu.

"Nis, buka pintunya. Tumbenan to, kamu kunci pintunya." Ternyata suara bu Khadijah. Mungkin ibunya itu pulang untuk melakukan sholat dhuhur terlebih dahulu sebelum kembali lagi. Nisa membuka pintu tersebut. Terlihatlah bu Khadijah yang membawa dua rantang makanan.

"Opo iku, bu?" Tanya Nisa penasaran. Walau sebenarnya Nisa bisa menebak isi dari rantang tersebut.

"Ini tadi, di kasih sama bu Milah. Katanya buat kamu makan siang. Ya, ibu bawa aja. Kamu ndak masak to?" Jelas bu Khadijah sambil berjalan menuju dapur. Nisa pun setia mengikuti sang ibu.

"Enggak kok bu. Nisa lagi males iki." Nisa membuka penutup rantang tersebut. Seketika air liurnya terasa meluap. Balado empal di rantang tersebut terlihat sangat menggoda. Nisa berjalan kearah rak piring mengambil piring juga sendok. Lalu mengambil nasi. Balado empal adalah makanan favorit Nisa jika ada acara hajatan seperti ini.

"Bismillah dulu to Nis. Kamu itu langsung mangap ae. Doyan kamu sama makanan yang di singgahi setan." Tegur bu Khadijah saat melihat Nisa yang langsung memasukkan sesendok nasi ke mulutnya.

Nisa meringis malu, mendengar teguran sang ibu. "Hehehe, lupa bu?"

"Mosok yo kalah kamu sama si Resa. Dia TK aja udah biasa baca do'a sebelum makan."

"Iya bu, bismillahirrohmanirrohiim."

"Dibiasakan baca basmalah Nis setiap mau ngapa-ngapain. Walau kelihatannya sepele amalan tersebut besar manfaatnya untuk kita." Nisa hanya mengangguk-angguk saja menyahuti ucapan sang ibu.

"Aduh ibu kok dadi lupa. Wong, pulang, mau ngerjain sholat dhuhur dulu, jadi malah nyeramahin kamu." Bu Khadijah beranjak dari dapur. Sementara Nisa masih menikmati makan siangnya.

|||||||

"Ibu ndak ada, Qi. Lagi bantuin tetangga besok mau nikahan. Kamu kalau mau sholat di kamar sana kayak biasanya. Bentar yo, tak ke kamar Nisa dulu." Sayup-sayup Nisa mendengar suara abangnya yang sepertinya baru saja datang. Selesai mandi dan sholat ashar, Nisa hanya mendekam di kamarnya. Suara ketukan pintu di susul panggilan sang kakak, membuat Nisa beranjak.

"Nis ada makanan ndak?" Tanya Nizam yang telah berdiri di depan Nisa.

"Ada bang, ibu tadi bawa balado empal sama sambel goreng ati dari rumah bu Milah."

"Bapak belum pulang Nis?"

"Belum, bapak lembur tadi bilangnya."

"Kamu siapin makan gih, ada Rizqi di luar. Pakai hijab sana Nis. Biar gak dosa."

Nisa tak menanggapi ucapan Nizam. Dia berlalu keluar dari kamarnya. Sebenarnya Nisa sangat malas bila harus menyiapkan makan untuk tamu tak diundang itu. Tapi, daripada abangnya akan mengomel, dengan berat hati Nisa pun menyiapkan makan untuk sang kakak juga temannya.

"Astaghfirulloh, aku kira kuntilanak." Pekikan tersebut terdengar dari arah pintu dapur. Nisa sudah tahu suara siapa itu. Siapa lagi kalau bukan Rizqi. Laki-laki paling menyebalkan bagi Nisa. Lihat saja kan, Nisa saat ini tengah memakai kaos oblong putih dengan celanan jeans selutut. Rambutnya yang sepanjang pinggang ia gerai karena habis keramas tadi. Dan dengan mulutnya yang tanpa saringan itu Rizqi mengatakan dirinya seperti kuntilanak. Dengan sedikit kasar Nisa meletakkan rantang tersebut kemeja. Matanya menyipit sengit menatap Rizqi.

"Numpang aja belagu."

"Aku ini tamu loh. Dan menghormati tamu itu salah satu sunnah yang sangat di anjurkan oleh baginda."

"Bodo, gak usah ceramah di sini deh." Nisa berjalan meninggalkan Rizqi. Entahlah kenapa seharian ini ada saja hal yang selalu membuatnya merasa jengkel.


||||||||

Sulawesi Tenggara. 280121

My FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang