MF.4

5 0 0
                                    






|||||||||

Dengan kasar Nizam meletakkan motornya. Membuat Nisa semakin ketakutan. Kemarahan Nizam adalah salah satu hal yang ditakuti oleh Nisa. Nizam masuk terlebih dahulu kedalam dengan langkah lebarnya. Didalam rumah mereka disambut oleh sang ibu yang tampak heran sekaligus terkejut karena mendapati Nisa yang tengah menangis.

"Loh kenapa kalian?"

Nisa yang mendengar nada khawatir sang ibu malah membuatnya semakin ingin menangis. Dia mendekat memeluk sang ibu.

"Kenapa Nis? Ono opo, Zam?" Tanya bu Khadijah khawatir.

"Zam, kenapa adikmu iki?"

"Tanya Nisa sendiri bu, ngapain aja dia selama pergi. Berduaan sama cowok, siapa yang ngajarin kamu gitu Nis?" Sarkas Nizam, membuat Nisa semakin terisak.

"Wis wis, istighfar Zam. Lebih baik kamu sholat maghrib dulu." Suruh bu Khadijah pada Nizam. Nizam beristighfar lirih. Ia pun beranjak untuk mengambil air wudhu.

"Kamu sholat dulu ya Nis. Nanti kamu jelasin, inget jangan bohongi abangmu. Katakan yang jujur."

"Nisa gak salah bu." Adunya.

"Iyo iyo, wis sholat dulu sana."

Nisa berjalan memasuki kamarnya. Ia ingin berganti baju terlebih dahulu sebelum mengambil air wudhu.

|||||||

"Bapak sebenarnya juga pengen Nisa masuk pesantern Zam. Bapak khawatir dengan pergaulan Nisa. Bukannya bapak nuduh Nisa yang enggak-enggak. Tapi kalau udah kena bujukan setan...."

Suara pak Sapto yang Nisa yakini berada di ruang tengah terdengar saat Nisa akan membuka pintu. Bahunya melemas seketika mendengar perkataan bapaknya yang menginginkan Nisa untuk masuk di pesantren. Nisa tidak mau, Nisa ingin bersekolah tinggi dan bisa menjadi wanita karir. Dan Nisa yakin jika dirinya masuk pesantren dia tidak bisa mewujudkan cita-citanya.

"Pesantre Al- Hikmah bagus pak. Disana Nisa bisa menuntut ilmu sekaligus memperbaiki akhlaknya. Pelajaran umum juga diadakan untuk santri yang memiliki kemampuan lebih dalam hal ilmu pelajaran umum. Nizam yang sudah mengetahuinya. Selama ini Nizam bukan hanya mengajar disana pak. Nizam juga melihat bagaimana kualitas pesantren Al-Hikmah yang Nizam rasa sangat bagus dalam mendidik santri-santri mereka. Walaupun pesantren Al-Hikmah baru tiga tahun berdiri, tapi pendidikan disana bagus pak."

"Iya Zam. Tapi adikmu juga punya keinginan. Selama ini bapak tidak pernah mau memaksa kalian. Tapi itu bukan berarti bapak melapaskan kalian dari pengawasan bapak."

"Nisa memang selalu nurut pak. Tapi, bagaimana dengan teman-temannya. Jangan sampai Nisa terjerumus kedalam pergaulan bebas."

Nisa tak mendengar sahutan dari sang bapak. Mungkin pembicaraan antara sang bapak dengan abangnya sudah selesai. Nisa mengurungkan niatnya untuk keluar. Perutnya memang terasa lapar, namun nafsu makannya menghilang seketika. Nisa tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya jika ia benar-benar masuk di pesantren. Tempat dengan berbagai banyak aturan yang mengatur kebebasan hidupnya.

'Tok tok tok

Suara ketukan pintu terdengar, menyadarkan Nisa dari lamunannya.

"Nis, ayo makan malam dulu." Suara bu Khadijah terdengar. Membuat Nisa beranjak untuk membuka pintu tersebut.

"Makan dulu ayo. Bapakmu udah nungguin." Dengan pasrah Nis mengikuti langkah sang ibu. Di meja makan sang bapak terlihat tengah menyeruput kopi hitamnya. Sedangkan Nizam hanya terdiam memandang piring yang ada di depannya. Nizam baru menatapa Nisa, saat Nisa mendudukkan dirinya di kursi yang tepat berada di depan Nizam. Nizam sudah akan bersuara, sebelum bu Khadijah yang lebih dulu menyela. Meminta mereka untuk makan terlebih dahulu.

|||||

"Kamu kemana aja tadi sore Nis?"

"Nisa... Nisa ke taman sama Gita pak. Ibu tadi lihat kan Nisa perginya sama Gita." Bu Khadijah mengangguk membenarkan ucapan sang putri.

"Iya berangkatnya sama Gita. Terus di taman sana laki-laki tadi nungguin kalian." Tuduh Nizam, Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya menyangkal tuduhan Nizam.

"Lah terus tadi kalian enggak sengaja ketemu gitu. Terus duduk berduaan di halte. Terus pulang boncengan gitu. Baru lulus SMP aja udah berani-beraninya bawa kendaraan sendiri."

"Ndak gitu bang."

"Biar adikmu jelasin dulu Zam. Kamu dengerin biar jelas masalahnya." Nizam menghela napas. Menenangkan dirinya agar tak tersulut amarah.

"Tadi sampai di taman Nisa cuma sama Gita aja bu. Terus Gita bilang mau ketoilet. Dari toilet Gita baru cerita ternyata dia janjian sama pacarnya. Dari situ Nisa baru tahu bu. Dan Nisa ngajak Gita pulang. Tapi belum sampai kita pergi pacar Gita udah datang sama temannya. Nisa udah bilang ke Gita kalau Nisa mau pulang sendiri. Tapi mereka maksa Nisa. Nisa tetep gak mau dan mutusin buat pergi ke halte sendirian buat nunggu angkot. Nisa udah nunggu lama tapi angkotnya gak datang-datang. Tiba-tiba Nino temannya pacar Gita nyamperin Nisa dan nawarin buat pulang bareng. Nisa udah nolak tapi dia tetep maksa bu. Dan akhirnya karena udah mau maghrib Nisa takut kemaleman Nisa terpaksa nerima tawaran Nino. Baru aja Nisa naik motor Nino bang Nizam udah datang. Beneran bu, Nisa gak ada niat buat janjian sama cowok. Nisa masih takut sama bang Nizam juga bapak." 

Bu Khadijah menatap lembut wajah sang anak. Dia tahu walaupun Nisa belum mau berhijab anak perempuannya itu masih tahu batasan-batasan dalam bergaul. Hanya saja sifat Nisa yang tidak tegaan membuatnya sering dimanfaatkan oleh teman-temannya.

"Kamu udah besar Nis. Kamu tahu kan mana yang baik mana yang buruk. Di zaman sekarang kamu harus pintar cari teman."

"Iya pak Nisa tahu. Tapi hanya Gita yang paling dekat dengan Nisa. Nisa gak tega nolak ajakan Gita tadi pak."

"Bapak gak mau anak perempuan bapak satu-satunya nanti salah dalam pergaulan. Apalagi dengan pekerjaan bapak yang sehari penuh menyita waktu bapak."

Nisa hanya terdiam mendengar ucapan pak Sapto.

"Mungkin kali ini kamu bisa lolos. Tapi besok apa kamu bisa menjamin tidak akan terjadi seperti hal tadi atau bahkan lebih parah. Bapak memang bukan orang alim Nis. Tapi bapak selalu pengen anak-anak bapak nanti bisa menyelamatkan kehidupan bapak juga ibu di akhirat nanti. Jadi bapak mohon ya Nis. Kamu bisa lebih berhati-hati dalam bergaul."

Nisa terisak setelah mendengar ucapan pak Sapto. Nisa tersadar dengan sikapnya yang selama ini jauh dari kata baik untuk seorang muslimah.

"Apa kamu mau Nis, kalau bapak minta buat kamu lanjutin sekolahmu di pesantren? Bapak gak memaksa karena bapak gak mau kamu terbebani dengan permintaan bapak. Kamu bisa pikirkan dulu. Tapi kehidupan pesantren pasti akan menjadikan pribadi kita lebih baik lagi Nis."

Bu Khadijah mengusap lembut punggung sang putri yang masih terisak.

"Bapak pingin yang terbaik buat kamu ndok." Bisik bu Khadijah.

Nizam terus terdiam, matanya memerah menahan tangis. Percayalah walau dirinya selalu bersikap tegas pada Nisa, tapi sudut hatinya selalu merasa perih saat melihat sang adik menangis.

"Pesantren Al-Hikmah juga punya sekolah umum Nis. Kalau kamu takut cita-citamu terhalangi itu tidak akan terjadi. Kamu juga bisa lanjut kuliah kalau kamu lulus nanti. Di sana kamu juga bisa memperdalam ilmu agamamu. Apa yang membuat kamu ragu?" Tanya Nizam.

Nisa terdiam tak menjawab pertanyaan sang kakak. Pikirannya melayang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika dirinya masuk ke pesantren .

"Pesantren Al-Hikmah kan dekat Nis. Hanya satu jam dari rumah, ibu bisa sering-sering jenguk kamu nanti. Lagipula  abangmu juga ngajar di sana ada Rizqi juga kalau ada apa-apa dia pasti mau bantu." Papar bu Khadijah saat belum juga mendapati jawaban dari Nisa. Hingga akhirnya Nisa mengangguk pasrah. Entahlah apa yang membuat dirinya mengangguk Nisa tidak tahu. Nisa hanya berharap semoga keputusannya ini tidak salah.

||||||||||

Sulawesi Tenggara,180221

My FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang