twenty four : these eyes, i give thee

5.2K 405 415
                                    

author's note : this chapter contains surprise. readers are advised to take some deep breath.

Lima bulan kemudian

"Oh, oh, lihat dia."

Naruto menautkan alisnya. Hatinya luluh lantah melihat makhluk mungil yang bergerak kecil di gendongannya. Suara gumamannya yang lucu, pipinya yang merah menghiasi kulit eksotisnya, rambut pirang yang lurus.

Replika dirinya yang sempurna.

Naruto menggeser tubuhnya di sofa, mendekat ke arah istrinya yang tersenyum melihat dua laki-laki identik yang menjadi belahan jiwanya.

Bayi manis itu menangkap kelingking Naruto yang jauh lebih besar dari seluruh jari-jari mungilnya. Dengan lugu, putranya menghisap jarinya begitu bersemangat, membuat kedua orangtuanya tertawa kecil.

Hinata mencium pucuk rambut putranya. Telunjuknya membelai pipi montok sang bayi, yang memiliki goresan serupa dengan ayahnya.

"Boruto sayang Tou-san, ya?"

Naruto tertawa kecil, "Dia lapar."

Boruto mulai meronta di gendongan Naruto, merasa tak mendapatkan apa yang ia inginkan. Sebuah tangisan perlahan-lahan terlepas dari bibir mungilnya, membuat Naruto mengerutkan alis penuh simpati, langsung menyerahkan putranya pada Hinata.

Di hadapan mereka, Kakashi dan Sasuke menatap keluarga itu dengan senyum tipis yang terulas dari bibir mereka.

Meski berbulan-bulan telah 'hidup kembali', tubuh Sasuke masihlah kurus. Benar-benar seperti mayat hidup. Pucat, dan tak bertenaga. Setidaknya, pria itu sudah bisa berjalan dengan lebih baik.

Sementara Kakashi, sebagai manusia normal, kehilangan berat badannya secara signifikan.

Semua orang di desa dapat melihat kedepresian melanda Hokage malang itu.

Hinata bangkit dari sofa, mendekap Boruto sembari mengecup pipi mulusnya, hendak berpindah ke kamar tidurnya untuk menyusui.

Naruto mengikuti Hinata dengan tatapannya. Begitu lama, penuh kasih sayang. Seolah dua makhluk itu adalah hadiah terindah di hidupnya. Matanya seolah memastikan istri dan bayi kecilnya selamat sampai kamarnya.

Saat Hinata menutup pintu kamar, Naruto mengalihkan pandang pada Kakashi dan Sasuke, tersenyum.

"Usianya baru dua bulan, tapi sepertinya Boruto benar-benar sudah menjadi bagian dari seluruh hidupku selama ini. Rasanya ia begitu mengenalku--mencintaiku selama ini. Bukankah itu aneh?"

Kakashi tidak menjawab. Sementara Sasuke mengangkat alis.

"Mana kutahu. Aku tidak punya anak."

"Tch," Naruto memprotesnya, "Menghancurkan suasana."

Naruto menegakkan tubuhnya. Raut riang masih terpancar di wajah pria yang baru saja menjadi ayah selama dua bulan itu. Meski lingkar matanya menghitam, tapi kehadiran Boruto benar-benar membawa kebahagiaan pada keluarga kecil Naruto. Kakashi bisa melihatnya.

Naruto berdeham pelan.

"Sakura masih tidak setuju, hingga detik ini?"

Sasuke tidak langsung merespon. Ia menoleh ke arah Kakashi selaku suami dari yang bersangkutan--namun pria itu justru memalingkan wajahnya datar, menyilangkan kedua tangannya di dada, dan bersandar pada sofa yang ia bagi bersama Sasuke.

Sasuke menghela nafas.

"Tidak. Dia tidak mau anaknya menjadi wadah bagi monster itu."

"Kenapa orang-orang menganggap kami makhluk yang berbahaya?" Naruto mendengar Kurama memprotes panggilan 'monster' terhadap Juubi.

The Uses of SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang