twenty seven : eternal rest

5.1K 385 394
                                    

Author's note : Sebelum epilog terbit di chapter depan, saya akan bikin FAQ dan jawaban di bawah ya. Mungkin yang mau tanya-tanya juga akan saya sediakan kolom di bawah 😉 

----

"Katsuro."

Sakura mengulangi namanya. Rona di wajahnya kembali, dan kedua matanya bagai kejora. Bersinar seperti pertama kali Kakashi melihatnya kembali dari misi tiga tahunnya. Begitu cantik tanpa celah. Senyumannya menghangatkan hati, membuatnya jatuh cinta berulang kali.

"Nama yang sempurna."

Kakashi tersenyum. Ia mengistirahatkan keningnya pada tubuh mungil Katsuro, menghirup aroma barunya. Menghafal lekat-lekat tiap detil dari garis tangannya, juga pergerakan kecilnya.

"Rokudaime-sama!"

Yamato dan Sai berlutut dan menatapnya dengan cemas.

Kakashi mengalihkan pandang dari paras putranya, menyadari bahwa mereka masih di tengah-tengah medan pertarungan.

Ia bangkit, sedikit tergesa-gesa karena cemas bila ternyata Juubi dan Madara masih ada di sekitar mereka.

Namun, damai.

Para Bijuu terduduk lesu pasca pertarungan yang mereka kira tak pernah ada habisnya. Shukaku dan Kurama masih menyalahkan satu sama lain, berebutan klaim bahwa diantara mereka-lah yang membuat rencananya sukses.

Para aliansi shinobi bersorak sorai, merayakan musnahnya Zetsu Putih yang semula mereka hadapi. Beberapa dari mereka berpelukan, meneteskan air mata, tertawa keras. Beberapa menggendong rekannya yang terluka, beberapa terbaring lesu dengan senyum kemenangan dan tawa kecil.

Mereka menang.

Yamato mengulurkan tangannya pada Kakashi.

"Senpai."

Kakashi menyambut tangannya, mensejajarkan posisinya dengan Yamato dan Sai yang tersenyum bangga padanya.

Sontak, para shinobi Konoha—tua, muda. Pria dan wanita. Berkerumun di sekitarnya dengan sorakan lebih meriah daripada desa-desa lainnya.

Suara rakyat yang merdeka.

"Rokudaime! Rokudaime! Rokudaime!"

Kakashi tertawa kecil mendengar seruan namanya berkumandang di antara kerumunan. Shinobi setia Konoha. Ia tidak sendirian. Tak banyak yang ia lakukan, dan banyak pengorbanan yang telah ia hadapi.

Namun, mereka tetap memercayainya. Dan Kakashi bisa merasakan bahwa mereka mencintai dan mengabdi padanya.

Ia hendak memprotes panggilan yang tak pernah ia sukai itu. Akan tetapi luka tusuk di perutnya masih sangatlah menyakitkan. Yamato menopang tubuhnya, membantunya berdiri lebih tegak.

Pada akhirnya, Kakashi hanya bisa mengangkat satu tangan—yang mana langsung disambut oleh tepuk tangan yang meriah dari rakyatnya.

Sakura tersenyum melihat skenario itu.

Punggung itu—Hatake Kakashi.

Mungkin orang-orang tak terlalu memperhatikan esensi kecil dari anatomi sepele tentang tubuh. Terutama punggung seseorang. Sakura selalu menatap tinggi punggung itu dari usia belia.

Seorang sensei, pada awalnya. Pria yang ia tekuni, dengarkan, kagumi. Kemudian statusnya berubah menjadi seorang ketua tim. Punggung itu berangsur berubah. Sakura melihatnya bagai rekan yang patuh. Seseorang dengan kebijakan tinggi, pelindungnya. Seseorang dengan tanggung jawab besar.

Lalu seorang komandan perang. Komandan dengan sejuta nyawa di tangannya. Memimpin pasukan menuju kematian—atau kemenangan. Punggung yang rela Sakura ikuti ke mana pun ia membawanya. Sakura percaya padanya.

The Uses of SorrowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang