Ekstra Part

5.1K 194 38
                                    

Ruangan itu ramai. Puluhan atau mungkin ratusan orang terlihat menikmati suasana. Musik yang berdentum keras serta bau alkohol adalah salah dua dari bagian meriahnya kegiatan mereka. Lantai dansa itu bergetar tanpa henti oleh sepatu hak tinggi para perempuan dan sepatu mahal para laki-laki kaya.

Seorang laki-laki duduk sendiri, memegang gelas  wine-nya sembari memperhatikan keriuhan orang-orang. Kelab malam adalah tempat terbaiknya untuk menghilangkan penat sejenak. Meski tidak sampai mabuk, tetapi sudah cukup baginya melihat bagaimana orang-orang di sana tampak senang.

Bibirnya sesekali mengulas senyum mendapati tingkah orang-orang semakin konyol saat alkohol kian mempengaruhi akal. Ada yang tidak sengaja menabrak yang lain. Ada juga yang terjatuh saat sedang menari. Sementara dia tetap saja memilih menjadi penonton.

Dia sudah akan bangkit setelah menandaskan wine, bermaksud pulang dan memejamkan matanya dalam kesunyian hingga fajar tiba. Lalu suasana yang mendadak hening mengurungkan niatnya. Segala ingar bingar tadi mendadak lenyap bersamaan dengan ruang yang gelap. Tidak ada cahaya setitik pun. Orang-orang tadi menghilang begitu saja. Musik berhenti berdentum tanpa dia ketahui kenapa.

Alisnya mengerut mendapati keadaan asing. Dia amati lagi sekitar, hanya pekat yang ada. Raganya seperti ditarik ke suatu tempat lain tanpa dia sadari kapan itu terjadi. Semuanya terlalu mendadak.

“Apa ada orang di sini?!”

Dia berteriak, bukan karena takut di tengah kegelapan. Hanya saja, dia benci perasaan asing yang jadi melingkupi hatinya. Dia benci merasakan bagaimana kerinduan pada seseorang di tengah pekatnya ruangan. Dadanya sesak mengingat bahwa keramaian hanyalah kedok untuknya menutupi kesepian.

“Hei, apa ada orang di sini?!”

Lagi, dia berteriak. Kepalanya pusing, bukan karena wine tadi. Namun, setiap kali dia sendiri, memang seperti itulah dirinya. Tubuhnya seperti disiksa oleh waktu yang bergerak lambat setiap kali ada keheningan.
Nyaris frustrasi, dia mengembuskan napas panjang, lalu memijat pelipisnya. Sebuah cahaya kemudian dia tangkap dari satu arah. Kelegaan sedikit menyelimuti hatinya.

Cahaya itu kian mendekat, hingga dia harus menyipitkan mata sebab terlalu silau. Lengannya menutupi mata, sampai dia rasa mampu menyesuaikan diri dengan pencahayaan itu. Namun, seketika hatinya berderak mendapati seorang perempuan yang datang bersama dengan cahaya itu.

Jiwanya yang rapuh kini berguncang lagi mendapati wajah yang dia rindu setengah mati ada di hadapannya. Napasnya mendadak tak beraturan, menyadari pesona perempuan itu memenuhi dada. Tubuhnya nyaris menyentuh lantai sebab semua tulang yang ada di dalamnya meronta ingin keluar dari sana untuk memuja gadis itu.

“Kamu datang, Deandra,” desisnya di antara rasa tertekan dan bahagia.

Dua rasa itu hadir, memorak-porandakan hati yang memang tak lagi sama sejak pertemuan terakhir mereka. Entah bagaimana dia harus menjelaskan bahwa rindunya tidak pernah bertepi selama ini. Lidahnya terlalu kelu untuk mengungkapkan bagaimana hari-hari menyiksanya tanpa kehadiran Deandra.

Hampa. Darel merasa hampa meski harta dalam genggamannya berlimpah. Hal gila itu dia rasakan hanya karena sesosok gadis di hadapannya yang menghilang begitu saja tanpa jejak. Darel ditinggalkan tanpa ada kata perpisahan.

“Aku benar-benar merindukanmu, Deandra.”

Mata Darel berembun, air mata rindu dan sedih itu bersiap luruh. Namun, pernyataannya yang hanya menggantung di udara malah membuat hati itu bertambah perih. Embun di matanya berganti jadi panas yang tak bisa dijelaskan. Sepasang manik cokelat redup itu kini menyimpan tanya dan tuntutan jawaban.

Melihat Deandra hanya diam tanpa berkata, Darel nyaris menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Akan tetapi, sesuatu menahan niatnya. Gadis itu secara alami membuat gerakan mundur, seolah-olah dapat membaca isi pikiran Darel yang ingin mendekapnya erat.
Sosok itu, yang Darel rindukan setengah mati. Sosok yang nyaris membuat Darel kehilangan akal selama beberapa waktu. Sosok yang kini berdiri dengan raut tenang dan hanya terus menatap Darel dalam diam. Cahaya di sekitarnya terus berpendar. Sangat kontras dengan keadaan di sekitar Darel yang pekat. Seolah-olah memberi perbedaan nyata bahwa Darel hidup dalam kegelapan hati dan Deandra dengan sinar merona.

Gadis sang Tuan(Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang