4. Sebuah Pengakuan

5.6K 515 38
                                    

Menjadi Cinderella, itu yang tengah Deandra rasakan. Dari kehidupan miskin yang jauh dari kata kaya, kini dia memiliki kesempatan untuk membeli apa pun yang diinginkan. Deandra bahkan tidak percaya bahwa Darel menitipkan sebuah kartu hitam yang dapat digunakan untuk membeli semua kebutuhan Deandra.

Menepati janji adalah hal yang tengah dilakukan Darel. Pelayan yang ditugaskan untuk menemani Deandra benar-benar memuaskan. Perempuan sebaya Darel itu setiap hari menjamin makanan sehat untuk Deandra. Tidak hanya itu, dia juga menemani Deandra belanja dan mengajari cara menggunakan ponsel sesuai titah Darel.

Kesepian yang Deandra rasakan tidak terlalu menyusahkan. Gadis itu menikmati hari-hari barunya. Bahkan dia sudah mulai mahir membubuhkan pelembab pada wajah, pemerah pipi, dan pewarna bibir. Semua berkat pelayan yang dikirim oleh Darel.

“Nona ingin berjalan-jalan?” tanya Agustin.

Deandra mengalihkan pandangan dari langit jingga yang sedari tadi ditatapnya. Agustin yang berdiri di belakang, mengulas senyum. Mereka berdua ada di balkon yang menghamparkan pemandangan indah dari ketinggian yang sebelumnya tidak pernah Deandra berani khayalkan.

“Tidak. Deandra bosan di luar.”

“Kita bisa membeli kue untuk persiapan menonton film nanti.”

Sekali lagi gadis itu menolak. Lalu kembali menatap langit. Selama dua pekan ini Deandra memang banyak melakukan aktivitas baru. Salah satunya menonton film. Agustin yang mengatur segalanya dan Deandra hanya perlu duduk di sofa ruang tamu, menikmati setiap adegan yang tersuguh.

Kadang, gadis itu menjerit ketika di layar besar ruang tamu menampilkan adegan tembak-menembak. Darah yang bercucuran juga membuat Deandra ngeri. Namun, Agustin ada untuknya, memberi penjelasan bahwa itu hanyalah rekaan semata. Kadang, Deandra juga menangis haru mendapati pemeran utama akhirnya hidup bahagia setelah melewati berbagai rintangan.

“Kenapa Tuan Darel tidak menghubungi Deandra?” Pertanyaan polos itu membuat Agustin tersenyum.

“Karena Tuan masih sibuk, Nona.”

“Lalu untuk apa dia menyuruhmu membelikan Deandra ponsel? Ponsel itu benar-benar tidak berguna.” Deandra memberengut, teringat memiliki ponsel mahal, tapi tidak ada yang menghubungi sama sekali.

“Bersabarlah, Nona. Tuan Darel pasti akan segera menghubungi Nona.”

Bukannya tenang, Deandra malah semakin bertambah kesal. Berkali-kali decakannya terdengar. Berkali-kali juga menghela napas panjang. Dia hanya ingin melihat Darel, tapi waktu tak juga membawanya pada kesempatan itu.

Sudah dua pekan berlalu dan Deandra masih saja tidak mengerti perasaan aneh di hatinya sejak mendapati kertas pesan Darel. Meskipun Agustin selalu ada untuknya, tetap saja di satu sudut hati terdalam, Deandra mengharap bahwa penyelamatnya datang. Sesungguhnya Deandra hanya belum menyadari, bahwa dia tengah merindu.

“Apa Tuan sibuk dengan istrinya?”

Agustin menghela napas panjang. Dia paham bahwa Deandra ingin bertemu Darel. Namun, Agustin pun tidak dapat berbuat banyak. Tugasnya tidak lebih dari menemani Deandra, memastikan gadis itu makan dengan benar, dan tidak ketakutan di malam hari.

Hemmm masalah itu, saya tidak tahu, Nona.”

“Kamu pasti tahu banyak tentang Tuan. Duduklah, Deandra ingin tanya-tanya.”

Gadis sang Tuan(Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang