01 : The Cheating Story

297 20 6
                                    

2018. Semester pertama di kelas 8. Sejak awal tahun ajaran baru, orangtuaku mulai memforsirku untuk belajar dalam rangka mempersiapkan diri untuk Olimpiade Sains Nasional yang akan dilangsungkan awal tahun depan. Kalau aku gagal lagi kali ini, sebuah kesalahan yang tidak termaafkan.

Setiap pulang sekolah sekitar pukul 14:30 siang, aku segera pulang untuk membersihkan diri lalu mengerjakan dua paket soal olimpiade. Dilanjutkan dengan bimbel pada pukul 17:00 dan baru bisa pulang 3-4 jam setelahnya untuk istirahat, sebelum bangun keesokan harinya untuk memulai siklus yang sama. Tidak ada libur di akhir pekan, belajar tetap sebuah keharusan.

Tidak lupa sebagai sekretaris OSIS yang bekerja dibawah ketua OSIS yang perfeksionis dan ekstra menyebalkan, aku punya tanggungjawab dan kesibukan dua kali lipat anggota yang lain. Merangkap jabatan sebagai ketua kelas yang setiap hari harus kesana-kemari menemui guru-guru berbeda untuk mengurusi masalah-masalah internal. Laporan mingguan untuk wali kelas dan berbagai macam tugas lainnya. Belum lagi ada pelajaran sekolah yang harus dikejar, tugas-tugas yang harus dikerjakan hingga aku lupa rasanya tidur 8 jam sehari itu seperti apa.

Beberapa orang akan bilang, itu tidak ada apa-apanya, banyak orang yang bekerja lebih keras dari kamu, berhentilah mengeluh dan teruslah bekerja. Sungguh, aku tidak peduli kalau harus dikatai lemah, aku kewalahan dengan semuanya.

Tidak berhenti sampai disana, orangtuaku menuntut agar aku mempertahankan posisi di peringkat 2 serta mendapat nilai diatas 90 untuk setiap mata pelajaran. Gila. Aku tidak memiliki ambisi itu, tapi kalau aku mengabaikan permintaan itu, aku bisa ditemukan tidak bernyawa setelah penerimaan hasil ujian. Sebelumnya, aku selalu punya waktu yang cukup untuk belajar dan tidak ada hal signifikan yang membebani pikiranku selain mungkin beberapa kisah cinta monyet yang tidak berfaedah sama sekali. Tapi kali ini situasinya berbeda.

Aku sering tidur di kelas dan melewatkan banyak materi penting, menghabiskan waktu untuk bergurau dengan teman sebangku dan melakukan hal-hal konyol. Kadang aku bolos dari kelas-kelas yang kurang aku sukai, bersembunyi di ruang OSIS untuk tidur karena tidak mendapat tidur yang cukup di malam hari, menggambar, mengulang materi olimpiade yang sulit, atau bahkan bermain game online di handphone yang sudah aku selundupkan secara ilegal untuk masuk ke lingkungan sekolah.

Aku juga terlalu sering meminta dispensasi untuk tugas, menggunakan kesibukan sebagai alasan. Mustahil di semester kali ini, aku bisa ada di peringkat 2 lagi. Masuk 10 besar saja pastinya butuh keajaiban. Hanya ada satu cara, dan kita tahu bersama apa itu. Menyontek. Aku yakin, bahkan sistem kebut semalam pun tidak akan membantu banyak.

Ini bukan sesuatu yang tabu untuk dilakukan, kelas kami, bahkan secara general angkatan kami barangkali sudah cukup sering melakukannya. Aku sendiri belum pernah menyontek secara terencana, paling parah hanya menanyakan petunjuk pada teman yang paling mudah dijangkau ketika sudah tidak bisa berpikir lebih lanjut.

Aku juga beberapa kali membagikan jawaban, atau berdiskusi dengan teman saat pengawas sedang lengah. Aku kurang tahu metode apa yang digunakan oleh teman-teman yang lain, dan aku tidak peduli. Toh selama ini mereka tidak pernah membuat masalah yang fatal karena menyontek.

Dan aku adalah tipe ketua kelas yang lebih mementingkan kesejahteraan anggota kelas dibanding menegakkan aturan sekolah, karena aku pun memiliki banyak pendapat yang kontras dengan aturan-aturan sekolah yang seolah tidak ada gunanya menurutku seperti datang tepat waktu untuk apel pagi, memakai atribut lengkap sepanjang hari, meminta tanda tangan pembicara di gereja, larangan untuk makan di dalam kelas yang AC nya tidak berfungsi dengan baik, dan keberadaan Ujian Tengah Semester.

Seminggu sebelum UTS, para guru mulai memberitahu poin-poin atau topik yang akan diujiankan, beberapa bahkan memberikan soal yang persis sama dengan isi ujian. Yah guru-guru yang seperti ini barangkali sadar bahwa tidak ada satu pun siswa yang paham apa yang mereka ajarkan, tapi terlalu takut mempertanggungjawabkan pada kepala sekolah dan orangtua apabila nilai siswa kebanyakan rendah.

UNTOLD (Short Stories)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang