04 : Complicated Friendzone

159 14 6
                                    

Aku sedang berada di sebuah gereja untuk mengikuti ibadah natal anak-anak. Bukan gereja tempat aku biasa beribadah, tapi ibuku adalah seorang pelayan Tuhan yang bekerja disana. Jadi aku harus datang setiap kali mereka menggelar event besar seperti ini. Acara berlangsung seperti ibadah pada umumnya, dan aku mulai bosan karena banyaknya orang sedikit menghalangi pandanganku untuk melihat apa yang terjadi diatas panggung.

Aku mulai menggeser beranda handphone ku dengan gerakan acak, berharap menemukan sesuatu untuk menghilangkan bosan. Terdengar pembawa acara yang mengatakan bahwa setelah ini akan ada drama musikal. Aku segera mematikan handphoneku dan naik ke tangga terdekat agar bisa melihat. Aku sangat menyukai drama musikal, dan tidak bisa menahan diri untuk tidak melihatnya.

Aku tidak benar-benar ingat tema apa yang diangkat dalam pertunjukan itu. Aku yakin judulnya ditayangkan di layar proyektor besar di depan sana, tapi aku terlalu fokus melihat para aktornya. Pemeran utama perempuannya adalah temanku, dan si pemeran utama laki-laki bernama Ares. Aku tidak yakin itu nama aslinya, tapi karena temanku dipanggil dengan nama aslinya sepanjang pertunjukan, sepertinya kesimpulanku benar.

Dalam pertunjukan itu, Ares adalah seorang anak laki-laki arogan yang sangat suka merendahkan pemeran utama perempuan dan teman-temannya. Ares juga seperti seorang ketua dalam kumpulannya, dimana teman-temannya mengikuti dia seperti kepala dan ekor. Ares sering membully, hingga akhirnya setelah beberapa peristiwa yang menyentuh hati akhirnya Ares berdamai dengan pemeran utama perempuan.

Aku sangat terkesan. Walaupun alurnya terasa monoton, tapi semua pemeran tampak menjiwai. "Cowok itu tampak sangat cocok dengan perannya, garis wajah dan cara dia bicara, jangan-jangan dia seperti itu juga di dunia nyata. Ya ampun kenapa bisa sampai berpikiran begini sih, sudahlah lupakan." Ucap batinku kala itu.

~~

Beberapa tahun setelahnya, saatnya aku masuk SMP. Hari pertama sekolah, dan moodku sudah buruk sejak detik pertama bangun pagi. Bahkan aku berdoa dengan bersungut-sungut, berharap aku tiba-tiba jatuh sakit dan tidak perlu datang ke orientasi.

Tentu saja pada akhirnya aku tetap datang. Dalam dua hari pertama, aku kebanyakan diam dan hanya berkenalan sedikit dengan orang-orang yang sepertinya baru aku lihat di masa orientasi itu. Setiap detiknya, yang aku pikirkan hanya pulang ke rumah dan segera mencurahkan emosiku pada sahabat-sahabatku. Di hari ketiga, ada seorang siswa yang tidak menghadiri dua hari pertama orientasi. "Orang ini tampak familiar", pikirku. Tapi aku tidak bisa ingat siapa dan dimana. Ingatanku memang sangat buruk, sih.

Kelihatannya dia bukan orang baru, dan kebanyakan teman disini mengenalinya. Bahkan di sesi istirahat, cewek-cewek sempat berkumpul dan mengungkapkan kekesalan mereka tentang cowok yang baru datang itu, yang ternyata bernama Ares. Otakku masih belum bisa ingat apapun tentang cowok itu, tapi menyimak dengan baik apa saja yang diucapkan cewek-cewek waktu itu.

"Menyebalkan, kenapa dia harus SMP disini sih?", "Sungguhan, kalau dia terpilih jadi ketua kelas lagi akan aku pastikan dia menderita", "lihat wajahnya, aku semakin membencinya bahkan tanpa perlu mendengar dia bicara sepatah kata pun". Ya kurang lebih itu intinya. Aku tidak begitu peduli sebenarnya, karena untukku menilai seseorang lewat ucapan orang lain adalah sesuatu yang tidak pantas untuk dilakukan.

~~

Setelah tiga hari itu berakhir, para siswa baru dites untuk penempatan kelas. Kelas A untuk setengah siswa dengan nilai tes tertinggi, sisanya di kelas B. Aku tidak mempersiapkan diri sama sekali, dan ketika mengerjakan soal, aku cukup menyesal karena tidak belajar. Ketika hasil tes ditempel di papan pengumuman, semua siswa berdesakan untuk melihat hasilnya. Aku membelah kerumunan dengan rasa tidak percaya diri sekaligus pasrah yang tergambar jelas.

UNTOLD (Short Stories)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang