EP : Melukis Senja

30 3 0
                                    

Kali ini, aku bukan bercerita dari sudut pandang ku. Melainkan dari perspektif seorang pria tua sebelum maut menjemputnya. Sebuah cerita yang berhasil aku selami, setelah menatap kedua kelopak matanya yang terpejam.

Jarum jam terus berdetak, suaranya mengisi keheningan yang menyesakkan. Sungguh, selama hidup aku tidak pernah merasa kesepian. Terbiasa hidup mandiri sejak muda, membuatku membangun dinding pembatas yang tinggi antara aku dan dunia.

Aku sudah tua. Sangat tua. Kalau katanya orang bisa hidup paling lama tujuh puluh tahun, maka aku termasuk salah satu yang paling beruntung karena sudah mendapat bonus sembilan tahun.

Tapi jauh di dalam sana, aku berharap bisa mati saja. Semua orang melihatku sebagai pria tua yang ambisius dengan kehidupan. Masih mengurusi usaha dagang padahal punya anak-anak yang bisa meneruskan, memaksakan diri untuk memperluas relasi walaupun punya kekurangan fisik di sana-sini.

Ngomong-ngomong soal kekurangan fisik, kedua kakiku punya panjang yang berbeda. Salah satunya lebih pendek dari yang lain--aku bahkan sudah tidak bisa lagi membedakan yang mana kanan dan yang mana kiri--sehingga caraku berjalan mirip seperti orang cacat.

Sebenarnya aku terlahir normal, soal apa yang terjadi pada kakiku, biar aku ceritakan nanti. Selain kaki, pendengaran ku juga bermasalah. Sepertinya ada saraf penghubung antara telinga dan otak yang terganggu. Wah, aku bahkan tidak menyangka punya pengetahuan ini. Seingatku, dulu aku tidak suka belajar. Dulu. Dulu...

Aku memandangi kaki telanjangku dengan tatapan pasrah. Celana yang lusuh, penampilan yang acak-acakan. Tidak ada yang akan percaya kalau aku berasal dari keluarga yang tadinya cukup kaya. Tapi karena satu dan lain kesalahan, jadilah keluargaku harus memotong pengeluaran di sana sini.

Termasuk pengeluaran mengurus anak. Aku diusir, adik perempuanku entah sudah dikirim ke mana. Aku tidak fasih bahasa Indonesia dan tatapan orang-orang pribumi yang berlalu lalang seolah menyiratkan betapa malangnya nasibku.

"Hei, anak muda. Kau terlihat pucat, makanlah roti ini," tawar seorang pria gemuk dengan kacamata hitamnya. Aku bahkan sudah lupa seperti apa rasanya lapar. Yah, daripada mati konyol, lebih baik aku makan.

Aku mengulurkan tanganku untuk mengambil sebungkus roti di tangan kanannya. "Terima kasih," ucapku singkat. Aku membuka mulut dan mulai memasukkan roti itu ke dalam tubuhku. Rasanya agak aneh. Tidak berselang lama, perutku seolah dililit tali tambang dan aku kehilangan kesadaran.

Tidak banyak yang aku ingat. Yang pasti, sejak saat itu aku bekerja menjadi seorang pencuri pada pria itu. Dibekali sebuah sepeda, dan dibayar dalam bentuk uang sekolah di salah satu sekolah Cina di daerah itu.

Aku selalu diberi makan hingga kenyang, diberi kelayakan yang mungkin tidak akan aku terima kalau terus berkelana tidak jelas di jalanan. Aku tahu yang aku lakukan ini buruk, tapi bukankah semua yang terjadi dalam hidupku sudah cukup buruk untuk memulai?

Misalnya sekarang, aku mengayuh sepedaku dengan kecepatan tinggi untuk menghindari kejaran polisi.

"Kau, bajingan kecil! Berhenti!" Aku tersenyum miring, sembari mengencangkan ikat pinggangku agar tidak secuil pun emas curian jatuh dari sana.

Tapi namanya orang sial. Sekali sial, akan tetap sial. Ternyata di depan sana sudah ada petugas lain yang menungguku dengan tongkat kayu panjang.

Tamat riwayatku.

Aku mengerem sepedaku lalu melompat dari sana dengan gerakan cepat, mencoba lari ke arah rumah warga. Rupanya, tidak ada jalan keluar lain.

Semua ceramah panjang yang dilontarkan polisi setelahnya terdengar seperti dengungan radio rusak di telingaku. Ikat pinggangku dilepas secara paksa, dan emas yang aku coba lindungi dari tadi berhamburan ke tanah.

UNTOLD (Short Stories)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang