10 : Before The Friendzone

27 5 0
                                    

Tidak ada seorang pun yang dapat mendefinisikan cinta secara jelas. Karena cinta itu abstrak, bentuk dan takarannya berbeda bagi setiap orang. Ada yang menganggap cinta itu perhatian, ada juga yang menganggap cinta itu memberi kebebasan. Ada yang ingin dicintai secara utuh, ada juga yang rela berbagi cinta tanpa beban. Tidak ada yang bisa memastikan mana benarnya dan mana salahnya.

Dalam agama yang aku anut, contoh nyata yang bisa menggambarkan makna cinta adalah kasih dari Tuhan itu sendiri. Cinta yang lemah lembut dan penyabar, tapi juga membentuk kita menjadi orang yang lebih baik. Tapi apakah manusia bisa seperti itu? Belum tentu. Dengan Tuhan saja kita bisa kecewa, apalagi dengan manusia. Jadi aku akan menceritakan pahit manisnya cinta dari sudut pandang seorang remaja yang masih labil.

Saat umurku tujuh tahun, aku bertemu dengan seorang anak laki-laki yang berumur setahun lebih tua, sebut saja Rangga. Dia adalah kakak kelasku di sekolah dasar, sekaligus teman di tempat kursus bahasa Inggris—kami setingkat, tapi ditempatkan di kelas yang berbeda jadi jarang bertemu atau bertegur sapa.

Hingga suatu hari, kami ditugaskan menjadi pembawa acara di perpisahan anak-anak kelas 6 sekolah kami. Guru-guru dan kepala sekolah percaya bahwa penampilan anak kecil di atas panggung akan lebih menarik sekaligus memberi pengalaman. Ini yang kedua kalinya untukku, tahun sebelumnya aku terpilih juga tapi dipasangkan dengan orang lain. Karena ini pertama kalinya untuk Rangga, kami harus sering bertemu untuk latihan. Dari sinilah, kami menjadi dekat.

Kesan pertamaku? Ganteng. Sebagai anak kecil yang minim referensi, aku dengan mudah menilai Rangga yang berkulit putih dan rambut lurus yang rapi ditambah senyum manis dengan skor yang tinggi. Baru dengan berbekalkan opini bahwa dia ganteng, aku sudah dibuat gugup tiap berada di sekitarnya.

"Hai, Althea kan? Aku Rangga, salam kenal," katanya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum tipis. Aku membalas dengan kikuk, "oh, hai, salam kenal juga." Seketika tawa Rangga pecah. "Tidak usah gugup, aku harap kita bisa tampil dengan baik nanti." Wajahku memanas, tapi aku menjaga ekspresiku tetap datar.

"Anak-anak, ayo kita latihan." Ucap guruku yang baru datang membawa dua naskah berbeda, bahasa Indonesia untuk Rangga dan bahasa Inggris untukku. "Ucapkan salam bersama-sama di awal, lalu Rangga baca poin pertama dalam bahasa Indonesia disusul Althea dengan poin pertama dalam bahasa Inggris, lakukan seterusnya seperti itu dan jangan lupa tersenyum sambil memandang ke depan. Boleh melihat teks, tapi sesekali saja," kata si guru.

Aku dan Rangga disuruh berdiri bersebelahan. Rangga sudah lebih dulu mengambil posisinya sambil mengamati naskahnya, sedangkan aku masih menimbang-nimbang harus berdiri sejauh apa darinya. Akhirnya aku melangkahkan kaki dan berdiri satu meter dari Rangga.

"Mendekatlah, Al." Si guru mengisyaratkan dengan tangannya kemana aku harus bergeser. Aku mengambil langkah kecil, tapi di saat bersamaan Rangga mengambil satu langkah besar mendekat ke arahku sehingga sekarang kami seolah hanya dipisahkan seutas benang. Guru itu tersenyum, "nah, kalau begini kan enak dilihat, kalian sangat serasi." Rangga terkekeh di sebelahku, sementara wajahku memerah. Aku ingin cepat-cepat pergi disini sebelum meninggal karena malu.

Beberapa hari sebelum acara perpisahan, aku dan Rangga diminta latihan di aula sekolah sesudah jam pelajaran berakhir. Di luar dugaan, guru itu harus mengikuti rapat dan mengatakan akan terlambat setengah jam. Kami menghabiskan waktu dalam keheningan selama sepuluh menit. Aku duduk di sebuah kursi, dan Rangga berjalan tanpa arah di aula yang luas itu.

Tiba-tiba dia memecah keheningan, "Al, kamu lapar?" Aku menurunkan naskah dari tanganku dan mengangguk. Dia mengeluarkan beberapa bungkus makanan ringan dari dalam tasnya, "ayo kita makan. Aku hampir mati kelaparan."

Rangga duduk di kursi sebelahku, dan membuka satu bungkus keripik kentang. Dia mengambil sebuah kursi dan meletakkan keripik kentang itu disana. "Ambil saja sesukamu. Aku punya banyak, tapi kita habiskan satu dulu, ya?" Aku mengangguk lagi, sudah kubilang kan, berada di sekitarnya mampu membuatku salah tingkah setengah mati.

UNTOLD (Short Stories)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang