Yang orang-orang tahu, aku menghabiskan sebagian besar masa kecilku dengan mengurung diri di rumah. Atau mungkin lebih tepatnya dikurung. Tapi sebelum aku menghabiskan masa kecil yang terbilang membosankan itu, aku sempat bermain di luar setiap sore dengan teman-teman sebaya di komplek.
Sekedar penjelasan singkat, aku tinggal di sebuah komplek pertokoan di dekat pusat kota yang sering orang sebut dengan Kampung Cina, karena kebanyakan orang yang tinggal disini adalah para keturunan Tionghoa. Aku akan memperkenalkan kalian pada seorang cowok Cina dengan mata segaris dan penampilan yang berantakan, Leo.
Leo dan aku tinggal berseberangan. Leo tinggal di sebuah rumah di ujung perempatan jalan bersama keluarga besarnya. Saat aku bilang keluarga besar, maksudku benar-benar keluarga besar.
Rumahnya dihuni oleh belasan orang, bahkan aku sendiri sempat berpikir kalau ada lebih dari dua puluh orang di dalamnya. Teman-teman bermainku adalah Leo dan sepupu-sepupu perempuannya, ditambah sejumlah kecil anak-anak dari rumah lain.
Berbeda dengan aku yang dibesarkan dengan cara yang konservatif seperti burung dalam sangkar emas, orangtuaku menggambarkan Leo dan saudara-saudaranya sebagai sekumpulan anjing liar, kasar dan jarang diurus. Jadi beberapa waktu sebelum masuk TK, aku ditarik dari pergaulan dengan mereka.
Aku tidak ingat berkomunikasi dengan Leo sejak saat itu, walaupun kami beberapa kali berpapasan. Tanpa senyum, tanpa kata. Aku hanya beberapa kali bermain dengan sepupu-sepupu perempuannya, tapi seiring waktu kami jadi seperti tidak pernah saling mengenal.
Karena kotaku adalah tempat yang kecil, jadi sebagian besar anak mengenal teman sebaya mereka, sekalipun tidak satu sekolah atau berbeda lingkungan tempat tinggal. Beberapa teman sekolahku sempat membicarakan Leo, karena kami—aku, Leo, dan sejumlah anak lainnya—mengikuti kegiatan pramuka mewakili sekolah masing-masing.
Waktu itu kalau tidak salah umurku sepuluh tahun. Teman-temanku membicarakan seberapa Cina tampang Leo, dan dia juga termasuk salah satu yang cukup menonjol diantara teman-temannya karena sering maju untuk menunjukkan kelebihannya dengan percaya diri—berbicara dengan lantang tanpa meninggalkan kesan menyenangkan.
Singkat cerita, aku dan Leo masuk SMP yang sama. Aku tidak menyangka, setelah bertahun-tahun, akhirnya jalan yang kami lewati kembali bersinggungan. Aku berusaha untuk tidak dekat-dekat dengannya, karena orangtuaku bilang dia akan memberikan pengaruh buruk. Aku sendiri melihat seberapa kasarnya dia dibanding dulu, walau sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan sifatnya di masa lalu.
Aku dan Leo ditempatkan di kelas yang sama, dan suatu hari kami ditempatkan duduk bersebelahan. Leo benar-benar berisik. Bukan untuk menjawab pertanyaan di kelas, tapi mengoceh untuk menghilangkan rasa suntuknya karena bosan belajar.
Satu-satunya percakapanku dengannya sebelum hari itu hanya ketika dia bertanya, "kenapa kamu bisa masuk kesini? Aku pikir kamu akan masuk sekolah negeri." Aku hanya menjawab dengan dingin, "bukan urusanmu. Orangtuaku yang menyuruh, itu saja yang perlu kamu tahu." Leo tampak tidak terusik, lalu berjalan pergi.
Di sampingku, Leo berusaha mencatat materi yang tertulis di papan dengan susah payah. Aku mendengus lalu mengejeknya dalam hati, sepertinya bukaan mata yang kecil mempengaruhi penglihatan. Dasar Cina. Aku sendiri tidak mencatat apapun karena sudah menghapal semuanya diluar kepala. Karena bosan, aku mengedarkan pandangan ke seluruh kelas, lalu tatapanku jatuh pada catatan Leo.
Sebuah buku tulis yang nyaris terlepas dari sampulnya, dan tulisan yang nyaris tidak bisa dibaca. Tapi aku menangkap sebuah kesalahan dari catatannya. "Hei, bagaimana bisa rumusnya seperti ini?" Tanyaku sambil menunjuk tulisannya. "Wahai nona angkuh, lihatlah ke papan tulis, aku menyalin persis apa yang tertulis disana." Aku mengalihkan pandangan untuk membaca, dan benar saja, rumus itu salah. Aku mengangkat tanganku di udara, dan mengonfirmasi semuanya. Benar saja, guru itu melakukan kesalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOLD (Short Stories)
Storie brevi[COMPLETED] Kita semua diciptakan unik, dengan ratusan bahkan jutaan cerita yang membentuk kita menjadi lebih dewasa, atau mungkin sekedar cerita-cerita konyol untuk dikenang dan ditertawakan bertahun-tahun setelahnya. Sama seperti kalian, aku juga...