03 : Far From Home

79 9 2
                                    

"Tidak berguna!" Bentakan itu terus terngiang di kepalaku. Aku, benar-benar tidak berguna, ya?

Aku benci bagaimana semua orang ingin aku menjadi seperti ini dan itu sesuai ekspektasi mereka. Aku benci bagaimana semua orang memasang wajah kasihan disaat aku gagal, dan menjauhiku saat aku tidak punya apa-apa untuk diberikan.

Tapi aku lebih membenci diriku sendiri karena tidak bisa berhenti merasa bersalah. Tidak bisa berhenti terikat pada rasa tanggungjawab yang sesungguhnya membunuhku dari dalam. Seandainya saja waktu itu aku tahu, bahwa hidupku berharga bahkan kalau orang lain menganggap ku sampah.

Disinilah aku, di trotoar salah satu jalan utama di kota tempatku tinggal. Hampir 5 kilometer dari rumah, tidak membawa apapun selain kunci cadangan dan handphone. Aku merapatkan jaketku setiap kali angin malam bertiup menembus kulitku. Aku tidak tahu harus menemui siapa, atau pergi kemana. Aku hanya berjalan mengikuti kemana kakiku membawaku pergi.

Situasi di rumah sedang tidak kondusif. Kakak perempuan ibuku datang ke rumah bersama keluarga kecilnya untuk menginap selama beberapa hari karena kakekku sakit parah dan bibiku itu adalah seorang dokter. Kakekku memang keras kepala, dia hanya ingin dirawat oleh anaknya yang itu, dia yang menolak dibawa ke rumah sakit tapi mengadu pada bibiku kalau ibu tidak merawatnya dengan baik.

Pembicaraan antara bibi dan pamanku sejam yang lalu masih terekam jelas dalam ingatanku. "Anak perempuan mereka yang paling tua, Althea, dia lumayan cantik dan sangat berbakat. Seharusnya adikku yang bodoh itu tidak punya alasan untuk hidup susah seperti sekarang." Ucap paman. "Yah, dia memang sangat berbakat, tapi ada banyak anak-anak lain yang berbakat juga dan kompetisi anak-anak zaman sekarang itu sangat sengit." Balas bibi.

Kata-kata berikutnya seolah menamparku bolak-balik. "Kalau dia tidak bisa memenangkan kompetisi demi menghasilkan uang, kalau dia memang sayang keluarganya, harusnya dia rela menjual diri pada pria hidung belang saja, kan?" Kata paman sambil tertawa meremehkan. Tanganku sudah meraih gagang pintu, hendak masuk dan membanting semua barang mahal yang mereka bawa dari rumah mereka. Tapi aku mengurungkan niat, ingin tahu balasan bibi. "Kamu benar. Anak itu memang dilahirkan tidak berguna, sejak ada dalam kandungan sudah menyusahkan, lahir di luar nikah. Adikku sangat malu karenanya dulu, dan sekarang bukannya balas budi, dia malah menumpang seperti hama."

Seketika, aku melepas peganganku dari gagang itu dan berlari ke luar rumah. Sudah malam, semua orang sudah tidur dan tidak ada yang menyadari aku pergi. Aku tidak peduli, aku sudah terlanjur terlalu muak.

Setelah mengunci kembali pintu rumah, aku berjalan tak tentu arah. Aku berhenti di depan sebuah toko parfum yang sudah tutup. Sekarang sudah jam 1 pagi, aku sudah pergi hampir 2 jam dan belum ingin pulang ke rumah. Aku duduk bersandar ke pintu besi toko itu. Aku memikirkan kembali semua kejadian buruk di masa lalu.

Aku ingat orangtuaku harus susah payah membayar mahal untuk memasukkanku ke kursus bahasa Inggris, saat aku meminta handphone baru dan akhirnya hanya mendapat bekas ayahku, saat banyak pegawai dipecat karena keadaan ekonomi yang tidak sebaik dulu. Rasanya aku memang tidak berguna.

Seandainya, aku tidak hadir di antara ibu dan ayahku. Mungkin mereka tidak akan pernah menikah dan bertemu dengan pasangan yang lebih mapan secara finansial. Mungkin ibuku akan bisa mengejar mimpi-mimpinya sebagai seorang musisi dan tenaga pendidik, mungkin ayah sekarang sudah menjadi pengusaha yang sukses. Mungkin mereka tidak akan perlu menghadapi kesulitan seperti sekarang. Mereka harus membiayai hidupku, dan adik-adikku. Harus menerima tekanan batin dari semua orang.

Semua, karena aku. Aku berkali-kali mencoba mengakhiri hidupku sendiri karena ini, tapi sebanyak itu juga aku gagal karena terlalu takut. Aku takut akan kematian bahkan ketika aku sangat menginginkannya. Aku pikir, kalau aku pergi semuanya akan jadi lebih mudah untuk semua orang. Tapi sisi lain hatiku bilang aku tidak boleh mati sebelum bisa membalas kebaikan orangtuaku dengan sepantasnya, mati sama saja menjadi pengecut dan aku harus bisa bertahan hidup. Ini menimbulkan tekanan tersendiri untukku, aku harus bisa membalas kebaikan orangtuaku yang rasanya tidak ada ujungnya.

UNTOLD (Short Stories)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang