05 : She Never Knew

63 7 0
                                    

Aku tidak punya banyak hal menyenangkan untuk dilakukan saat aku masih kecil. Aku paling sering menghabiskan waktu di rumah, mencari kesibukan dengan melakukan hal-hal tidak berguna. Aku tidak boleh bermain dengan teman-teman sebaya di komplek tempat tinggalku, karena kata ibu dan ayah, mereka memberikan pengaruh yang tidak baik.

Hubunganku dengan adikku juga tidak begitu baik. Alih-alih bermain bersama, kalau kami ditempatkan dalam satu ruangan tanpa pengawasan orang dewasa, mungkin kami bisa saling membunuh. Hanya ada satu orang yang benar-benar memahami ku dengan baik di rumah, Oma.

Oma bukan seseorang yang akan memberikan uang dalam jumlah banyak untuk menyenangkan cucu-cucunya. Justru, Oma lah yang mengajarkanku cara mengelola uang dengan baik. Dia menggunakan cara sederhana dengan membawaku ke sebuah zona permainan anak-anak yang ada di dekat rumah.

Dia akan duduk menungguku bermain dengan berbekalkan sejumlah koin untuk mengoperasikan mainan-mainan disana. Setelah koin-koin itu habis, dia akan membawaku pulang, dan di jalan aku hanya bisa menangis tanpa suara, menyesal karena tidak bisa mencoba permainan yang lain karena menghabiskan semua koin untuk satu permainan yang sama. Lama kelamaan, aku belajar untuk membagi koin itu sama rata agar aku bisa mencoba semua permainan disana. Oma tidak pernah marah, tapi tidak juga mengucap sepatah kata.

Sesampainya di rumah, ibu dan ayah akan menyalahkan Oma karena menghabiskan uang hanya untuk mengajakku bermain. Aku ingin membela Oma, tapi terlalu takut mereka akan semakin marah. Aku tidak pernah bilang terima kasih pada Oma, karena aku pikir, yang Oma lakukan adalah kesalahan karena ibu dan ayah marah. Aku menyesal tidak pernah memberitahu Oma, kalau aku bahagia setiap kali dia membawaku pergi diam-diam untuk bermain.

Oma bukan seseorang yang akan bermain kejar-kejaran dengan anak-anak padahal sudah tahu nanti akan kesakitan di sana-sini. Oma hanya akan mengawasi ku berlarian dari kejauhan, dan menegurku sedikit kalau aku ada dalam bahaya. Misalnya dekat dengan benda tajam, atau berlari di jalan yang licin. Kalau aku jatuh, dia hanya akan memegang tanganku, membawaku duduk dan mengobati lukaku.

Dia akan tersenyum, mencoba menenangkan aku yang tidak bisa berhenti meronta karena rasa perih yang membakar ketika obat dari kapas menyentuh lukaku. "Tidak apa-apa, lukanya akan sembuh. Yang penting sudah tahu, kalau lari-lari nanti bisa jatuh dan luka. Lain kali kalau tidak mau sakit, hati-hati, ya?"

Lalu dia akan membereskan mainanku yang berantakan. Sekali lagi, tanpa berucap sepatah katapun. Saat ibu dan ayah melihat kekacauan itu, aku akan ditarik masuk ke dalam dan dipukul agar aku bisa disiplin dan tidak mengulangi kesalahan.

Setiap kali itu terjadi, Oma selalu ada di ambang pintu dan meminta mereka untuk berhenti. Aku ingin lari ke arahnya dan bersembunyi di belakangnya, tapi aku terlalu takut dia terluka. Aku hanya bisa berteriak dari kejauhan, "Oma, keluarlah, biarkan ibu dan ayah!"

Aku tahu itu menyakiti hatinya. Dan itu tidak terjadi hanya sekali, aku menyesal tidak pernah menjelaskan maksud sebenarnya. Aku menyesal dia tidak pernah tahu kenapa aku melakukannya.

Umurku bertambah sedikit, dan orangtuaku mulai melihat bakat-bakat yang ada dalam diriku. Mereka mulai menyuruhku mengikuti lomba ini-itu, padahal aku tidak ingin. Beberapa di antara mereka terlalu sulit untukku, dan aku belum tahu apa yang sebenarnya ingin aku lakukan.

Aku sering menangis di malam hari setelah bertengkar dengan orangtuaku, ketika aku tidak berhasil menggambar dengan benar, atau mengerjakan soal matematika dengan tepat. Oma akan bilang pada ibu, "jangan dipaksa, mungkin dia memang tidak ingin melakukannya."

Aku ingat mendengar ibu bilang, "dia harus bisa! Bakat itu harus diasah sejak dini, mau jadi apa dia kalau hingga besar tidak bisa mengembangkan apa yang seharusnya dia bisa lakukan?"

UNTOLD (Short Stories)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang