~Bukan Sebuah Akhir~
Tuhan tidak akan memberi cobaan kepada hambanya melebihi batas kemampuan dari hambanya itu sendiri. Percayalah disetiap cobaan yang Allah berikan pasti ada hikmah dan hidayah didalam.
***
Raka adalah seorang laki-laki berusia 20 tahun yang juga seorang mahasiswa diperguruan tinggi, tahun ini adalah semester terakhirnya untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologis. Tujuan Raka menjadi psikiater adalah Raka ingin sekali menolong jiwa-jiwa yang tertekan seperti mereka. yah.. mereka tidak gila hanya saja mereka kehilangan kesadaran untuk mengontrol diri mereka sendiri karena tertekan keadaan.
Dalam perjalanan menuju kekelasnya ia melihat madding. Disana ada brosur mengenai penggalangan dana untuk korban gempa yang akhir-akhir ini sering terjadi. Disana tertulis alamat pengungsian dan pusat rehabilitasi. Pusat rehabilitasi adalah tempat untuk menampung orang yang belum siap secara mental untuk kehilangan sanak saudara dan rumahnya dalam gempa yang melanda kotanya alias shock mental.
***
Raka yang memutuskan untuk pergi ke tempat rehabilitasi itupun akhirnya mendapat persetujuan dan langsung terbang ke tempat tujuannya menggunakan pesawat. Pertama kali yang dilihat Raka adalah bangunan yang roboh setengah atau rumah yang masih setengah jadi dibangun, bencana yang melanda tempat itu masih terngiang dikepala setiap penduduk yang tinggal disana.
Dengan cepat Raka sampai di rumah rehabilitasi, bangunan yang sederhana. Hanya sedikit tenaga perawat yang ada disana dengan banyaknya orang yang butuh perhatian lebih.
“siapa kau? Dan mau bertemu siapa?” tanya seorang wanita paruh baya yang memakai setelan biru muda ala perawat serta mangkuk yang setengah terisi.
“hmm.. saya ingin bertemu kepala dokter disini?” ucap Raka.
“ah.. putraku sudah pulang, ibu sangat mengkhatirkanmu Anjas.” Ucap seorang wanita, usia sekitar 41 tahun yangn tiba-tiba mencubit pipi Raka.
“maaf tapi saya bukan putra ibu.” Ucap Raka dengan lemah lembut sambil tersenyum tanpa menepis cubitan pada pipinya.
“kau bukan putraku?” beliau keheranan melihat wajah Raka dan detik berikutnya beliau menangis lalu berubah menjadi tawa kegirangan dengan cepat.
“putraku dimana… putraku belum pulang, dokter.” Ucap ibu itu berjalan pergi dari sana dan menanyakannya pada dokter Budi yang berjalan melintasinya diujung jalan.
“maafkan atas perilaku pasien disini yah.” Ucap suster itu pada Raka. Raka membalas dengan senyuman dan anggukan.
“apa kau yang bernama Raka, anak muda?” tanya dokter yang sudah menginjak usia 50 tahunan itu. Raka mengangguk mantap.
“aku mengharapkan yang terbaik darimu Raka” ucap Dokter Budi yang sudah mengetahui niat Raka untuk menjadi psikiater magang disana. Sekali lagi Raka mengangguk mantap dengan keputusannya.
***
Tempat itu dipenuhi korban bencana yang tidak siap mental untuk kehilangan segalanya mulai dari sanak saudaranya, keluarganya, anaknya, bahkan finansial.
Suster Diana mengantar Raka menuju kamar 121. Ruangan yang suram tanpa ada cahaya yang masuk, udara disana pun pengap karena tak ada seorangpun yang dibiarkan memasuki ruangan atau membuka pintu oleh penghuni kamar itu.
Raka melihat seorang gadis yang meringkuk dengan membenamkan kepalanya diantara lututnya, makanan dinakas pun belum tersentuh sama sekali. Isakan tangis, hanya itu satu-satunya suara yang Raka dengar.
“Dia Aura Pricilia. Usianya 17 tahun. Sebenarnya dia tidak punya gangguan mental atau semacamnya, saya harap kamu bisa memulihkan Aura yang ceria seperti sedia kala.” Ucap suster Diana, menatap dalam gadis yang masih tidak ingin menampak wajahnya.
Suster Diana meninggalkan Raka dan tempat itu saat melihat salah satu pasiennya mengamuk.
Raka berjalan menuju sisi lain ranjang dan membuka tirai yang terpasang di jendela. Cahaya merangsak masuk kedalam kamar yang tidak terlalu luas itu, membuat gadis yang meringkuk dibawah tempat tidur itu terusik.
“siapa kau? Mau apa kau disini?” gadis pemarah, itulah kesan pertama yang diberikan sorot mata tajam itu. Raka mengambil piring yang ada diatas nakas dan berjongkok menghadap gadis berambut Panjang acak-acakan itu.
“makanlah!!” titah Raka. Raka terkejut saat melihat gadis itu tiba-tiba menangis. ‘gadis ini juga gila ternyata.’ Pikirnya. Raka semakin terkejut melihat perban yang terpasang pada siku dikedua lengan gadis itu, bukan luka gores tapi itu luka pasca operasi amputasi. Yah… gadis itu tidak punya tangan seperti manusia normal.
“aku tidak ingin makan.” Tolak Aura dengan suara serak khas orang menangis.
“maaf gue gak tau.” Ucap Raka.
“sekarang kau tau kan, pergi!” ucap Aura dengan keras. Tanpa kata Raka langsung menyuapkan sendok yang berisi nasi dan lauk itu kepada Aura. Dengan terpaksa Aura mengunyah maknan yang sudah sampai dimulutnya itu meski dengan sedikit pelototan protes.
***
Matahari sudah mulai menyinari daerah itu. Sangat berbeda suasana perdesaan seperti disini dengan hiruk pikuk kota yang selalu Raka lihat tiap harinya. Pagi Raka dimulai dengan senam pagi yang rutin dilakukan ditempat itu, dilanjutkan dengan makan Bersama diruang makan sederhana dan makan seadanya.
Raka menyebarkan pandangannya kesudut ruangan mencari gadis yang diamanahkan dokter Budi kepadanya, namun nihil Aura tidak ada disana. setelah pamit dengan suster Diana, Raka melangkahkan kakinya menuju kamar 121 diujung koridor.
“mau apalagi?” ucap Aura dengan sarkatis.
“lo kok gak ke tempat makan sih?” Ucap Raka balik tanya.
“kamu gak ngerti-ngerti juga yah.” Aura memutar bola matanya jengah.
Raka mengambil sesendok nasi dan menaruhnya dihadapan Aura. Aura membuang muka. Berbeda dengan saat pertama kini Raka membuka mulutnya untuk menyuruh Aura makan. Dengan sedikit terpaksa Aura memakan suapan Raka.
“besok lo temenin gue yah. Gak boleh nolak.” Ucap Raka sambil memberi suapan terakhir untuk Aura.
***
Raka melajukan motor yang dipinjamnya dari salah satu perawat menuju pusat kota yang berjarak 5 km dari tempat rehabilitasi. Kota itu belum sepenuhnya pulih hanya beberapa toko sembako, sandang dan tempat-tempat umum. Tempat itu tidak terkena dampak gempa terlalu parah, bahkan penduduknya sudah mulai melakukan aktivitas seperti sedia kala.
“kenapa kekota sih?” rengek Aura sambil menatap was-was pada sekitarnya. Raka tak memperdulikan rengekan gadis yang memakai kaos dengan lengan sesiku itu.
“eh liat deh jeng, itu tangannya kenapa yah, kok buntung sih.” Bisik ibu-ibu yang berada ditoko yang mereka lewati.
“eh… iya yah. Aduhh… amit amit jabang bayi deh bu.” Jawab wanita satunya dengan pandangan yang menghina.
Aura yang merasa sedang dijadikan bahan omongan, menunduk dalam-dalam sambil mengikuti langkah kaki Raka.
“ha ha tangan kakak kemana.” Tawa anak-anak kecil yang sedang bermain dijalanan yang tidak banyak dilalui kendaraan.
Aura semakin terpukul, ia menggigit biibir bawahnya dengan kuat berusaha tidak memecahkan tangisnya disana. ‘dia jahat. Apa tujuannya membawaku kesini? Untuk mempermalukanku?’ batin Aura untuk laki-laki berkaos abu-abu didepannya itu yang sama sekali tak menghiraukan setiap hinaan yang ditujukan kepada Aura.
***
Aura mendobrak pintu kamarnya kasar dengan kakinya. Ia menumpahkan kekesalannya pada Raka. Tetesan air dari matanya kini tak dapat lagi ia bendung, ia terduduk lemas. Raka yang baru masuk kekamar itu mendapati Aura yang terduduk dibawah ranjangnya sama seperti pertama kali ia bertemu dengan Aura. Bahu Aura terguncang, Raka yakin ia sedang menagis.
“kekurangan itu dihadapi bukan malah ditakuti. Berlari bukanlah sebuah cara yang benar tapi tegak berdiri menghadap ke depan yang seharusnya lo lakukan. Bangunlah dari keterpurukan, buatlah dunia lo sendiri yang penuh dengan senyuman bukan tangisan penyeasalan. Aura” ucap Raka pada gadis 17 belas tahun didepannya itu. Raka berjalan mendekatinya. Aura berhenti menangis, tergugah dengan apa yang dikatakan Raka.
“oh..iya ini kanvas dan alat lukis.” Aura menatap Raka dengan pandangan bingung.
“buat apa?” tanya Aura yang masih berusaha mengontrol nafasnya yang tersendat-sendat karena menangis. Raka menghempaskan tubuhnya dengan posisi terduduk didekat Aura.
“sebenarnya gue beli ini tadi. Kata ayah, Jika orang tidak mengerti apa yang kau rasakan maka goresan catlah yang kau butuhkan.” Ucap Raka yang membuat Aura semakin bingung.
“intinya luapin aja semua kekesalan lo itu di kanvas ini, siapa tau hati lo langsung plong. Dan yah.. gue inget katanya lo itu dulu pinter gambarkan? Just do it” Jelas Raka.
“caranya?” tanya Aura sambil menunjukkan tangannya yang diperban. Raka berpikir keras sambil mengelus-elus janggutnya.
“kaki!” usulnya dengan sedikit kekehan. Ide bodoh! Raka tidak tau apa yang baru saja ia katakana.
Aura mencoba dengan keras memegang kuas dengan kakinya, percobaan pertama gagal total. Percobaan kedua hampir berhasil mengangkat kuas. Percobaan ketiga Aura bisa menggoreskan sebuah garis diatas kanvas putih namun kuas itu langsung jatuh. Aura terus mencoba.
“gue yakin anak yang lo selamatin udah bisa kumpul sama orang tuanya lagi.’ Aura spontan menoleh mendengar ucapan Raka.
“ya gue dengar dari suster Diana. Dengan hiroiknya lo nahan batu besar buat nolongin seorang anak perempuan keluar dari reruntuhan saat gempa, kan?. “ ucap Raka, pandangan mereka bertemu. Aura harus rela kehilangan tangannya karena berusaha mengeluarkan anak kecil yang terhimpit bebatuan. Dengan sekuat tenaga Aura menahan batu itu dan akhirnya anak kecil itu berhasil keluar tapi naas gempa susulan terjadi yang membuat Aura kehilangan keseimbangan dan membuat batu itu menimpa kedua tanganya. Aura bahkan masih ingat betapa sakit rasanya saat itu.
“anak itu terus saja memanggil mamanya.” Balas Aura sambil mengingat kejadian 5 bulan lalu.
“nah itu dia, lo seharusnya seneng setidaknya lo bisa nyelamatin nyawa seorang anak perempuan dan ngasih dia kesempatan buat ketemu mamanya lagi.” Aura tersenyum mendengar petuturan yang Raka sampaikan.
“lo gak seharusnya terpuruk dengan keadaan lo saat ini. Lo seharusnya bangga karena punya bekas kepahlawanan yang udah lo lakuin. Lo bisa tunjukin dan berkata ‘gue bisa nyelamatin nyawa seorang anak kecil saat semua orang kacar-kacir mentingin diri mereka sendiri.’ Ha ha ha” ucap Raka sambil berdiri dan berkacak pinggang. Aura terkekeh dengan sikap Raka yang konyol itu.
“wih bagus banget. Itu gue yah.” Ucap Raka yang sadar melihat goresan cat hitam diatas kanvas hitam dihadapan Aura. Sketsa cat itu sangat mirip dengan dirinya. Sama dengan Raka, Aura juga kaget dengan lukisannya ia tidak sadar membuat sketsa wajah Raka.
“Tuhan memberikan kekurangan namun Dia juga memberikan kelebihan sebagai gantinya.” Raka mengerlingkan matanya.
”ini bukan sebuah akhir, Aura. Namun ini adalah sebuah awal dari kisah baru.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen
Proză scurtăuntuk cerpen-cerpen sebelumnya kalian bisa lihat di akun pertama FWI ya jangan lupa vonte dan share