4. Menginap

650 93 19
                                    

"Kau terlihat sehat-sehat saja ya, Naruto."

Naruto tahu bahwa itu adalah sindiran untuknya. Dia hanya bisa berwajah datar dan memutar bola matanya malas menatap sang Ayah— Namikaze Minato.

Wanita dengan surai merahnya itu menangkap pemandangan teman-teman Menma yang hanya terdiam sedikit tak enak. Hinata dan Shion berdiri dan membungkukkan badan mereka sebagai tanda hormat mereka pada wanita itu.

"Maaf menganggu waktu kalian ya," ujar wanita itu tersenyum ramah, istri dari Namikaze Minato siapa lagi jika bukan si Rambut Merah alias Namikaze Khusina.

Naruto sedikit berdecih pelan dan berbalik hendak menaiki anak tangga kembali. Namun tertahan oleh suara Minato.

"Urusan kita belum selesai, Naruto. Dari mana saja kau seminggu ini?" selidik Minato dengan wajah tertekuk. "Kudengar kau membuat cerita konyol di sekolah," lanjutnya kembali.

Hinata tentu saja sedikit kaget, namun dia bisa menyembunyikan raut kagetnya. Berbeda dengan Naruto yang masih setia memunggungi Minato.

"Seandainya Ayah benar-benar berperan seperti Namikaze di dalam cerita itu, mungkin aku tidak berulah," sahut Naruto dengan nada dingin dan melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Naruto seakan menulikan pendengarannya, panggilan Minato hanya menjadi angin lalu baginya.

"Naruto! Dengarkan Ayah! Kembali sekarang!" titah Minato memanggil

Naruto menggigit bibir bawahnya menahan rasa geramnya. Dia bahkan tak segan membanting pintunya saat memasuki kamar tak peduli dengan Hinata dan Shion sebagai tamu terganggu atau tidak.

Saat dia telah berada di dalam kamar gelap miliknya, tubuh Naruto langsung merosot ke bawah bersender pada daun pintu. Pemuda itu menghelakan napasnya pelan menetralkan emosinya.

Drtt... Drt...

Benda pipih yang sedari tadi di kantong celananya itu bergetar membuat Naruto dengan cepat merogoh sakunya. Sudut bibir pemuda itu sedikit terangkat melihat nama yang tertera di sana. Tanpa pikir panjang lagi pemuda itu langsung mengangkatnya.

"Merindukanku Bu?" goda Naruto langsung sebagai sapanya.

"Kamar rumah sakit banyak yang kosong Naruto, mau pilih yang mana?" balas sosok di seberang sana membuat Naruto langsung terkikik geli.

"Maaf Bu, aku hanya bercanda."

"Aku bukan ibumu bodoh!"

"Tapi tidak apakan aku memanggilmu Ibu? Soalnya cuman Ibu saja yang lebih memahamiku. Aku sangat menyayangi Ibu," balas Naruto masih menyungging senyumnya.

Atensi Naruto jatuh pada langit-langit kamarnya itu. Memandang gelapnya ruangan ini dengan debu yang menempel di lantai seolah tidak ada yang membersihkan kamarnya selama dia pergi. Atau mungkin tidak ada yang membuka kamarnya selama dia pergi. MIRIS.

"Kau ini! Bulan kemarin kau tidak datang. Kau tidak lupakan besok?," omel sosok itu semakin membuat Naruto terkikik geli.

"Iya Bu, iya. Aku akan ke sana besok. Terima kasih ya," sahut Naruto dengan lembut.

"Hah? Apa kau mabuk? Tidak biasanya terima kasih," curiga sosok itu.

Naruto tersenyum lebar hingga matanya menyipit seperti bulan sabit. Perasaannya yang tadi kesal kini berubah hangat. Seperti es yang mencair tiba-tiba hanya karena sebuah panggilan telepon.

"Habisnya Ibu yang paling mengerti diriku. Sebenarnya aku bahagia karena Ibu meneleponku, karena sekarang aku tidak merasa sendiri saat mendengar suaramu. Aku senang sekarang," terang Naruto yang langsung membuat suara itu terdiam sejenak.

Jawab Panggilanku [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang