7. Pengakuan

895 95 42
                                    

Dentingan alat makan menjadi pengisi suara di antara keheningan yang melanda. Tidak ada guratan senyum di wajah pemuda itu, hanya wajah tertekuk masam untuk menyambut sang mentari.

"Kau bolos lagi kemarin," ujar Minato membuka suara sambil memandang dingin putranya.

Naruto tetap bungkam seakan itu hanya angin lalu yang dia dengar.

"Dengarkan Ayah bicara Naruto," tegur Khusina pada Naruo yang duduk di seberangnya.

Pemuda itu menghelakan napasnya pelan dan langsung berdiri dari kursinya.

"Ayah beberapa kali menegurmu Naruto, sekali lagi kau buat masalah di sekolah, Ayah tidak akan mengurusnya," ancam Minato dengan raut wajah serius.

"Iya aku tau itu. Walaupun aku buat masalah Ayah selalu mengutus bawahan Ayah untuk mengurusnya, bukan Ayah sendiri," jawab Naruto dengan nada begitu tenang.

"Kau ke mana saja kemarin?"

"Tidak ke mana-mana."

"Jangan sampai kau dikeluarkan dari sekolah Naruto, mau ditaruh di mana wajah Namikaze."

Pemuda itu sedikit mendengus kagum mendengarnya. Dia melirik ke arah Minato dengan tatapan yang menyiratkan rasa tidak percaya.

"Maaf sudah menjadi aib," desis Naruto dengan hati yang sedikit tersinggung dengan ucapan dirinya sendiri.

Naruto segera berbalik hendak pergi dari kedua orang tuannya. Dia tidak bisa berlama-lama di sana, yang ada mungkin saja Naruto akan gila mendengar ocehan mereka.

"Jadilah seperti Menma, berhenti bermain-main atau aku tidak akan mengangkatmu menjadi pewarisku."

Langkah Naruto seketika terhenti. Dia terdiam sejenak membiarkan keheningan melanda selama tiga detik. Dengan mata yang terlihat tajam dan dingin, Naruto menoleh ke belakang menatap Minato seakan mereka adalah musuh.

"Berapa kali kukatakan, aku dan dia berbeda."

***

Sosok pemuda telah berdiri di depan daun pintu kelas sambil bersedekap dada menunggu kedatangan seseorang. Dia terasa bagaikan hantu karena keberadaannya tidak ada yang menganggap dan mereka hanya melewatinya saja.

Jika Naruto mengingat kejadian tadi pagi, emosinya benar-benar masih tersulut.

"Naruto, ayo ke kelas. Aku malu," ajak Kiba benar-benar tak tahan.

Tapi pemuda dengan wajah tebal itu sama sekali tidak malu berdiri di depan kelas orang, seakan itu adalah kelasnya.

"Sabar Kiba," sahut Naruto.

Kiba sudah berusaha sabar, namun kehadiran gadis yang mereka tunggu tidak kunjung datang.

Naruto tahu bahwa sahabatnya itu sudah mulai lelah, tapi bagaimana lagi, hanya gadis itu yang ingin Naruto temui sebelum kelas dimulai.

Baru saja Kiba mengeluh, sebuah derap kaki yang begitu tidak asing berhasil mencuri perhatian Naruto. Pemuda itu melebarkan matanya melihat segerombolan gadis yang datang, dari ketiga gadis itu hanya salah satu dari mereka yang sepenuhnya mencuri atensi Naruto.

"Hinata!" sambut Naruto yang mendekati Hinata itu dengan wajah berseri.

"Pagi Naruto-san," sapa Shion tersenyum.

Naruto melirik Shion dan ikut tersenyum. "Pagi juga Shion, dan pagi Hinata."

"Aku tidak?" tanya Menma sedikit berdecih.

"Pagi Menma," jawab Kiba menyengir lebar.

Menma melirik Kiba dengan tatapan tak bersahabat seolah menyurug pemuda itu untuk bungkam saja.

Jawab Panggilanku [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang