PROLOG

1.2K 127 2
                                    

Kira-kira dunia ini seluas apa ya? Sangat luas pastinya. Planet terbesar itu 'Jupiter', ternyata bumi masih kalah dari jupiter. Berapa banyak manusia di dunia ini? 1 juta? 1 milyar? Atau 1 triliun? Oke lupakan! Ada 7 milyar lebih manusia yang ada di bumi, dan anehnya pandanganku terus tertuju padanya. Tidak percaya ada 7 milyar? Silakan cari saja di google, ada google 'kan? Atau kamu membaca cerita ini mode offline? Oke, buang sekitar 10 mb-mu sejenak untuk menelusuri google.

Terlalu berbelit-belit ucapanku, lalu bagaimana dengan hubungan kita yang mungkin sangat kusut ini? Bagaimana cara meluruskannya? Apa perlu kupotong? Atau harus kubakar saja 'benang' itu agar tidak ada lagi hubungan kusut ini?

Berapa kali aku memanggil kalian? 1 kali? 10 kali? 100 kali? Atau bahkan 1000 kali? Tidak! Bahkan aku sudah tidak bisa menghitungnya. Hei! Jawab panggilanku, aku membutuhkan jawaban kalian. Berapa banyak lagi pulsa yang harus aku habiskan untuk menelepon kalian? Berapa persen lagi baterai yang harus aku habiskan.

Aku membutuhkan pertolongan.

Tidak! Aku tidak sakit seperti yang kalian pikirkan. Aku sehat, sangat sehat. Bahkan sangking sehatnya, aku tidak pernah lelah meminta perhatian kalian.

Hanya hatiku saja yang sering kalian sakiti.

Hanya perasaanku saja yang sakit.

Tapi, bagaimana jika aku sedikit istirahat, dan berhenti meminta perhatian dan jawaban kalian?

Kira-kira jika aku menutup ponselku, apa kalian akan menelepon diriku balik? Aku sangat mengharapkannya. Terutama dari gadis lavender itu.

Ini hanya sepenggal ceritaku, yang mungkin membuat kalian bosan nantinya. Jangan mengharapkan diriku yang sempurna, karena setiap manusia itu punya kekurangan.

Tapi sepertinya kedua orang yang berdiri di depanku tidak tahu apa artinya kekurangan seseorang. Pria itu sibuk berkicau terus dari tadi mengomeliku. Lihatlah urat di wajahnya yang mungkin akan keluar.

"Kau dengar tidak!" teriaknya padaku.

Aku menghelakan napas pelan. Baru saja pulang sekolah, aku sudah disembur oleh amarahnya.

"Iya, aku dengar," jawabku dengan tenang.

"Sehari saja, tidak bisakah kau mencontoh adikmu ini. Jangan membangkang terus-terusan, cobalah menjadi dia. Kalian itu kembar," marahnya sambil membandingkanku berulang kali.

Aku melirik pada seorang gadis degan surai pirang itu memeluk kuat seorang wanita dengan surai merahnya. Oh, aku lupa mengatakan bahwa pria yang sedang marah ini adalah Ayahku.

"Kami berbeda, walaupun kembar tetap saja aku dan dia berbeda," balasku masih dengan nada tenang.

Ayah terlihat memijit pelipisnya yang mungkin sakit karena aku yang terus berulah. Aku akan terus melakukannya Ayah, jadi persiapkan kepalamu agar tidak pecah karena ulahku.

"Naruto, kau memang berbeda dengan Menma. Dia penurut dan pintar, sedang 'kan dirimu lihat! Bahkan kau lagi-lagi bolos hari ini!"

Untuk kesekian kalinya, apa hanya itu kalimat yang bisa dia lontarkan? Apa hanya itu kalimatnya untuk menyudutkanku? Aku mendengus pelan menatap tajam Ayah. Apa tidak bisa sehari saja tidak membandingkanku?

Aku tidak sepintar dirinya, tapi apa harus dibandingkan seperti ini? Di antara banyaknya manusia, kenapa harus kembaranku yang menjadi tolak ukur untuk diriku? Kami diperlakukan dengan cara yang berbeda padahal kami sedarah. Memangnya Ayah sepintar apa dulu? Aku bahkan ragu Ayah pintar atau tidak.

"Ayah pikir karena siapa aku seperti ini. Ini salah Ayah sendiri," ujarku sedikit geram.

"Naruto! Jaga bicaramu, Minato adalah Ayahmu," tegur Ibu dengan nada tinggi padaku.

Aku berdecak geram, bahkan Ibu juga sama seperti Ayah. "Terserah! Aku lelah tiap hari mendengar ocehan kalian terus!"

Aku segera meraih tas sekolahku yang ada di atas sofa yang ada di sampingku. Marah? Kesal? Tentu saja semuanya aku rasakan. Memangnya siapa yang tahan jika terus diperlakukan seperti ini. Bahkan siapa pun mungkin akan marah jika dibandingkan terus.

"Mau ke mana?" tanya Ibu saat aku akan beranjak pergi.

Aku sedikit tersenyum kecut menatap mereka bertiga. "Bahkan satu panggilan saja kalian tidak mengangkatnya. Sebenarnya, aku dibutuhkan atau tidak sih?"

Aku langsung beranjak pergi meninggalkan rumah ini. Ayah bahkan tidak memanggilku untuk mencegah. Lihat! Lihat perbedaan ini! Aku ini anak mereka apa bukan sih? Kenapa aku merasa seperti orang asing di antara mereka?

Apa hanya karena otakku ini bodoh? Apa karena aku ini sering bolos? Ayah dan Ibu pikir memangnya aku bolos ini tanpa alasan. Aku hanya ingin kalian meneleponku atau setidaknya jawab panggilanku ketika aku jauh dari kalian. Aku sendirian lho.. Kalian tidak kasihan?

Lalu ketika adikku tersayang itu jauh, mungkin untuk bernapas saja kalian tidak tahan sangking cintanya kalian dengannya. Jarak kita benar-benar jauh ya. Sampai-sampai aku ragu, apa aku ini memiliki keluarga atau tidak?

Ting.. Tong..

Aku menunggu pemilik rumah ini membukakan pintunya. Tidak ada suara dari dalam, aku semakin gencar memencet bel rumah itu. Hingga akhirnya terdengar gerutuan kesal dari dalam rumah ini. Pintu itu terbuka menampilkan sosok pria yang menatap kesal diriku.

"Aku mendengarnya bodoh!" geramnya.

Aku tersenyum lebar sambil menggaruk-garuk belakang kepalaku yang tak gatal. Matanya terlihat memincing curiga menatapku.

"Tolong aku," pintaku.

"Apa?"

"Aku ingin menginap di sini beberapa hari saja."

"Haaah? Apa Konoha saat ini gempa sehingga rumahmu hancur?"

Aku terkekeh pelan. Ternyata dia bisa melawak juga, lebij tepatnya menyindirku.

"Aku akan menginap di sini. Jadi aku masuk dan tolong siapkan makan malam untukku."

Sepenggal kisah yang berusaha kutulis di dalam ingatanku, kuharap tidak terhapus oleh ombak lautan.

Mengingat memori yang berharap tak tersamarkan oleh butiran pasir.

Menatap langit malam yang menyerupai jiwaku.

'Jawab Panggilanku'
📱📱📱

[Start]
.
.
.
TBC
.
.
.

Btw hari ini ultahnya Uzumaki Naruto, sebagai penggemarnya mau ucapin selamat ulang tahun buang Bang Naruto.

#HappydayUzumakiNaruto

Publish, 10 Oktober 2020

Jawab Panggilanku [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang