Chapter 6

348 15 9
                                    

Hari paling mendebarkan dalam hidup Camus akhirnya datang juga. Berkali-kali saint Aquarius itu mengecek penampilannya di depan cermin yang terpajang di kamarnya, memastikan jas hitamnya telah membungkus rapi kemeja putih yang tengah dipakainya. Tangannya berpindah ke dasi biru tua sebelum merapikannya lagi. Ia baru saja akan menyisir rambutnya dengan jari saat sebuah suara menarik perhatiannya.

"Itu rambut mau disisir seribu kali juga gak bakal berubah warna, Sensei." Ujar Hyoga sambil berjalan ke arah gurunya di samping cermin. "Udah rapi juga."

"Entahlah, Hyoga..." kata Camus, kekalutan terdengar jelas di suaranya.

Isaac mendengus di dekat pintu. "Ke mana Sensei yang suka marah-marah ke kita ya, Ga?" tanyanya pada saint Angsa itu. "Yang di depan kita sekarang malah Sensei yang gak pede banget."

Camus menatap muridnya dari pantulan cermin. "Diam kamu, Isaac."

"Sudah cakep, cakep." Kata Isaac. Ia berjalan menghampiri gurunya itu dan menepuk punggungnya keras.

"Aduh, Saac!" seru Camus kesakitan. "Apaan sih?"

"Cuma mau ingetin serapi apapun Sensei kalau gak percaya diri ya percuma." Kata mantan marina itu sambil menyeringai.

Camus tertegun di tempatnya. Iya juga sih.

"Santai aja, Sensei." Timpal Hyoga. "Sensei cuma pergi makan malam sama Milo."

"Tapi makan malam ini kesempatanku buat baikan sama Milo, Hyoga." Kata Camus dengan suara bergetar. Ia mendesah putus asa. "Toh kemarin sepertinya ia tidak menerima permintaan maafku. Gara-gara kalian juga sih kasi terjemahan ngaco."

"Mulai, Saac." Ujar Hyoga masam. "Kita lagi yang disalahin. Sudah untung kita bantu Sensei ajak Milo ngedate."

"Iya nih." Timpal Isaac sama masamnya. "Sudah santai aja kenapa."

"Setidaknya Sensei cuma pergi makan malam sama Milo. Bukan pergi perang." Sahut Hyoga.

"Tapi jangan ajak perang pas makan malam loh ya." Isaac menambahkan.

Lagi-lagi Camus menghela nafas panjang. Kepalanya pusing mendengarkan kedua muridnya yang tidak bisa berhenti bersahut-sahutan. Tapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia harus mengakui kata-kata mereka memang ada benarnya. Diam-diam ia melirik jam dinding yang tergantung di kamarnya. Jam 5:50 sore. "Ya sudah. Aku berangkat sekarang ya." Katanya lemas sebelum mengaduh karena punggungnya kembali dipukul Isaac.

"Yang semangat toh, Sensei." Sentak Isaac gemas melihat tingkah gurunya. "Jangan kaya kambing mau dibawa ke pembantaian lah."

Camus mencibir. "Memangnya aku Shura?"

Kedua muridnya tidak menanggapi kata-kata Camus. "Ingat! Sensei akhirnya bisa pergi sama pujaan hati." Kata Hyoga sambil menekankan kata 'pujaan hati'. "Harusnya Sensei senang."

"Jalani aja malam ini." Timpal Isaac. "Santai."

Camus menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan perlahan. "Iya deh." Ia melirik sekilas penampilannya di cermin sekali lagi. "Sudah rapi kan?" tanyanya pada kedua muridnya.

"Rapi. Rapi." Kata Hyoga meyakinkan.

"Kece badai, Sensei." Sahut Isaac sambil mengacungkan kedua jempolnya. "Sekarang pergi sana. Nanti telat." Ia kemudian mendorong Camus ke pintu.

"Iya, iya." Ujar Camus gemas. "Kalau kalian laper..."

"Tinggal minta makan ke Aldebaran. Gampang. Sekarang berangkat." Seru Hyoga.

Camus membelalakan matanya mendengar jawaban kedua muridnya yang seenak jidat mereka itu. Tapi berhubung ia sadar harus menghemat energi untuk malam ini, ia memilih diam dan melangkahkan kedua kakinya keluar dari kamarnya. "Aku pergi. Jangan bikin kacau rumah." Pamitnya singkat sembari berjalan keluar dari kuil Aquarius.

Tembak Aja, Camus Sensei!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang