Aku nggak jadi makan malam bersama Mas Gandhi. Baru lima menit kami membelah jalanan, sembari aku memikirkan makanan apa yang cocok dimakan sore-sore begini, Dirga meneleponku. Dia minta maaf karena seharian sibuk dengan banyak meeting, sehingga tidak bisa membalas pesanku.
Sebenarnya aku tidak percaya sepenuhnya dengan alasan itu. Namun, mengingat kalau selama bekerja dia memang lebih aktif memakai tablet dibanding ponsel, aku nggak bisa membantah. Mungkin besok-besok aku harus mengecek isi tabletnya. Barangkali seluruh bukti perselingkuhannya ada di sana.
Dirga menanyakan apa aku sudah makan, dan ingin ke apartemenku dengan membawakan makanan. Tentu saja aku lebih memilih Dirga ketimbang Mas Gandhi yang baru kukenal kurang dari satu jam yang lalu. Meski aku sudah janji dengan Mas Gandhi akan mentraktirnya, janji itu nggak bisa menggeser prioritasku pada Dirga yang sejak lama sudah menempati urutan pertama.
Dengan kalimat maaf berkali-kali, aku membatalkan rencana makan dan meminta Mas Gandhi mengantarku pulang. Untungnya Mas Gandhi nggak ribet dan langsung mengiyakan dengan santai. Dia sempat menyinggung kalau urusan makan malam ini menjadi hutang yang harus kubayar lain kali. Berhubung aku beranggapan kalau setelah ini aku nggak akan berurusan dengannya lagi, aku asal mengiyakan seluruh ucapannya.
Begitu sampai di apartemen, aku buru-buru mandi. Aku harus terlihat seperti baru bangun tidur, yang sejak tadi tidak ke mana-mana. Ini akan membuat Dirga lebih jujur padaku, ketimbang kalau aku bilang baru pulang dari Malioboro.
Dirga datang satu jam kemudian, tanpa membawa apa-apa. Padahal dia sendiri yang bilang kalau ingin membawakanku makan malam. Meski aku nggak lapar, aku heran kenapa dia nggak jadi beli makanan.
"Kok nggak jadi bawa makanan?" tanyaku sembari melebarkan tangan minta dipeluk. Ini sudah menjadi kebiasaanku, setiap kali bertemu Dirga, aku harus dipeluk dulu dan diberi kecupan beberapa kali sebelum mulai ngobrol.
"Nggak sempet, Sayang. Aku naik ojek, jadi males ribet. Kita pesan aja ya, kamu mau makan apa?" tanyanya sembari mengecup keningku beberapa kali dengan tangan yang melingkari tubuhku.
"Kenapa naik ojek? Mobilmu kenapa?" aku balas bertanya dengan heran.
Ingatanku langsung tertuju pada mobil Afira yang berada di Gyu Kaku. Jangan-jangan, Dirga memang makan bersama Afira sekaligus menumpang mobilnya.
"Lagi di bengkel, Yang. Service bulanan," balasnya santai.
Dirga mencium rambutku, kemudian merambat sampai rahang dan berakhir di leher. "Ih, kamu wangi banget!"
Aku mengelusi rambutnya sementara dia terus mencium leherku dan memberikan gigitan kecil-kecil di sana.
"Seharian kamu ke mana aja, Sayang, capek banget nggak?" tanyaku.
Ciuman Dirga terlepas. Tangannya balas mengelus rambutku, kemudian mengecup bibirku sekali. "Capek banget. Pijetin ya?"
Tawaku tergelak.
"Sini aku pijetin." Tanganku yang semula di rambutnya, turun ke bahunya dan mulai memijat bahunya.
"Pijet plus-plus, Sayang ...,"
Aku cukup terkejut dengan ajakannya yang frontal. Sebenarnya dia sudah sering begini sembari tertawa kecil dan bermanja-manja padaku. Aku selalu gemas dengan tingkahnya dan nggak mungkin menolaknya. Namun, aku merasa ini aneh, karena belakangan dia jarang begini.
"Semalem masih kurang, Yang," lanjutnya.
Kali ini dia kembali membenamkan kepalanya di leherku. Dia nggak menciumku, hanya menyesap wangi leherku dan menghembuskan napas kasar di sana, seolah berusaha memancingku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Over Again (COMPLETED)
RomansaKaraleya curiga kalau pasangannya selingkuh, dan berusaha membuktikannya. Namun, dalam usahanya membuktikan, ia bertemu Jian, laki-laki yang mengalihkan perhatiannya dari rasa curiga terhadap sang kekasih. *** Karaleya merasa curiga kalau Dirga-keka...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir