*ma.ju :
Menjadi lebih baik.
.
.
.
"Saya kemarin ke kosan kamu." Kami sedang di dalam mobil, kesebuah tempat yang gue gak tau mau di bawa kemana. Yang jelas jangan di kosan Ambyar, bisa gawat kalau kawan-kawan tau apa yang gue kerjain sejauh ini."Oh," otak gue lagi kosong.
"Ngeliat kalian," pak dosen masih juga ngajak ngobrol, sambil nyetir. Konsentrasi kali pak, takut-takut salah masuk gang malah ke pekuburan.
"Siapa?"
"Kamu dan cowo di kafe waktu itu."
"Haha.."
"Kok malah ketawa. Harusnya saya dong yang ketawa, ternyata kalian cuma saudara ya." Gue kaget, liat tuh pak dosen yang masih santuy pegang setir mobil. Pas mau gue tanya, mobil berhenti di salah satu parkir restoran keluarga. Nyuruh gue turun dan ngikutin dia, "saya belum makan malam. Temenin saya ya." Dia senyum, narik tangan gue gitu aja. Mau gue tempas, pegangannya kuat banget. Gue ngikut dah kepaksa macam bocah, dituntun bapaknya.
Udah duduk, udah pesen, tinggal nunggu. Gue langsung tanya balik, kenapa dia bisa berpikir kalau gue dan Airen saudara?
"Hmm, sebelum pergi saya ketemu salah satu mahasiswa disana. Namanya Yuda, dia berkenalan dengan saya, dan ya.. dia bilang kalian saudara."
Si Yuda emang mulut ember!
"Terus kalau kami saudaraan ada masalah? Kalau kami gak saudaraan juga ada masalah?" Cerca gue balik. Si pak dosen malah geleng kepala.
"Tidak ada, justru baguskan. Berarti saya tidak punya saingan lagi untuk mendekati kamu." Mata gue hampir keluar, sangking berasa samberan listrik statis nyentuh telinga menjalar ke badan. Nih tua Bangka emang kagak waras!
"Pak dosen gak malu apa?"
"Malu? Malu untuk apa?" Baru mau ngomong, eh pesanan kami datang. Basa basi sambil nunggu pramusaji pergi.
"Rasa malu bahwa yang dikejar-kejar itu, bukan mahasiswi berkelamin XX. Tapi mahasiswa berkelamin XY. Jujur ya pak dosen yang terhormat, anda ini gay, homo, hetero, atau abnormal? Oh, satu lagi. Sakit jiwa, barang kali?!" Gue ta'ak. Serah deh sama sopan santun, buat orang yang lebih tua. Kalau kelakuan macam ini, mending gue banting sejak awal.
Dia malah menikmati daging steak, santai sambil minum apa tuh. Tuak? Au dah.
"Saya rasa, masalah itu kamu sudah paham sendiri, Praga."
"Maksudnya?"
Dia mandang gue tajam, mata minimalis khas keturunan Chinese. Dari dulu gue emang gak suka, bukan karena keturunannya sih. Tapi mata-mata macem mereka, sulit gue prediksi. Tajam bagai pedang, menusuk bagai panah melesat. Kalau ngomong juga mirip sama si Mei, eh' mereka kan' sebelah dua belas!
"Apa saya harus menjelaskan di sini? Yakin kamu tidak akan.. canggum." Gue mendengus, siapa yang bocorin surat perjanjian yang gue bikin? Pasti ada mahasiswa dia yang jadi langganan gue, tapi siapa!? Terlalu banyak orang yang harus gue ingat, sampai-- "kok malah bengong? Saya tanya, apa saya harus jelaskan di sini?" Gayanya bikin gue kesal, dengan santainya dia menyantap makan malam. Sementara gue, nelen ludah aja kewalahan.
"Oke, saya sudah selesai. Kita keluar." Dia angkat kaki, narik gue lagi. Padahal gue bilang, piring gue aja belum disentuh sedikitpun. Kan sayang duitnya itu, tapi santai banget tuh dosen. "Maaf, kamunya terlalu lama. Saya diburu waktu." Fu*k!
Gue jengah, benci, dan gak biasa dipermainkan kaya begini!
Gue tepis tangannya, pasang muka marah, karena gue kepalang kesal sekarang. Terserah kalau ada orang yang lihat kita lagi ribut diparkiran, apa lagi malam begini. Sungguh, TERSERAH!
KAMU SEDANG MEMBACA
JUAL CINTA BENTUK SKRIPSI 🔞
Random[publikasi ulang tanpa editing] 🚻Perhatian: cerita berbahasa kadang kasar, memang di buat seperti itu. Untuk pembaca remaja, atau dewasa mohon ambil baiknya, buang keburukannya. Terimakasih. . . . Mahasiswa tingkat akhir, punya masalah mereka sendi...