*Ju.jur
: Siapa yang peduli, mau bohong pun sudah tak berarti.
.
.
.
Airen dan Praga duduk berhadapan, entah siapa yang tengah disidang sebenarnya. Keduanya saling bertanya tentang perihal diri mereka masing-masing."Oke, kamu mau tau yang sebenarnya?"
"Ya,"
"Baik." Jawab Praga mengambil napas, "tapi sebelum itu, kita buat kesepakatan."
Airen tak menjawab, iya mengangguk walau sedikit ragu. "Kesepakatannya adalah, setiap dari kita hanya menjawab dan bertanya masing-masing satu pertanyaan setiap selesai bertanya. Setuju?"
"Oke. Jadi, siapa yang akan lebih dulu mulai?"
"Aku akan mengalah, silahkan." Praga memberi kesempatan pertama pada Airen.
"Hah.. apa lu bohong kalau lu amnesia?"
"Tidak, aku memang sempat lupa tapi hanya dua bulan. Sekarang giliran ku, kenapa kau kembali?"
Airen menarik napas, dia tidak lekas menjawab. "Rindu. Karena gue sangat rindu sama lu." Praga berpaling sesaat, hingga Airen bertanya lagi, "sejak kapan lu berpura-pura gak kenal gue?"
"Sejak.. tanpa sengaja melihatmu beberapa kali di sekitar kampus. Ku kira hanya halusinasi karena kecelakaan, hampir saja menganggap diriku gila. Sampai kau kembali menghilang, dan aku tidak melihatmu lagi. Kurasa.. aku hanya merindukan adik yang disayangi karena kesepian." Praga diam, memilin jari jemari.
"Dan lu pura-pura lupa, ketika gue benar-benar muncul di hadapan lu?"
"Ini gili-"
"Lu tau seberapa marahnya gue!"
"Gak, deng--!"
"Lu yang dengerin gue sekarang!!" Suara pemuda itu meninggi, sakit benar rasanya merindukan seseorang, yang ada di depanmu tapi tidak bisa terjangkau. Ketika bertemu semua seolah semu, bahkan cara wajar terasa menjadi kurang ajar.
"Gue benci banget sama lu! Benci! Tapi gue gak bisa ngelupain lu, Pra. Sejak bunda tau gue suka lu, dia nampar gue dan memohon untuk ngejauhin lu. Katanya, gue dan dia udah cukup buat lu menderita." Airen menggulung kaus lengan panjang tangan kirinya, menampakkan garis-garis luka yang membekas di sana.
"Sedalam ini gue kecewa, seberusaha ini untuk lupa. Tapi.. kenapa gak bisa!" Airen menunduk di hadapannya, menangis dengan menutupi wajah.
Wahai sunyi, bisakah waktu ini berhenti sejenak. Biarkan aku memeluknya, mengucap kata maaf sekali saja. Dan bersama ia selamanya, hanya waktu ini yang aku harap tak pergi.
Praga merengkuhnya dalam pelukan, Airen menarik tubuh lelakinya. Pengap dan dingin dalam rongga dada mereka, kini mulai terbuka dan meluas hangat. Seperti es yang mulai mencair, keduanya berbagi kenyamanan memberi pesan bahwa musim dingin akan segera berganti. Semi akan memberi warna lagi, pada rumput-rumput kering yang hampir menjadi ilalang.
"Bunda dan ayah bertengkar hebat, saat itu.. ia sedang hamil adik kita. Gue baru bisa pergi melarikan diri, setelah bunda melahirkan. Gue pikir mereka gak ingin lihat gue lagi, jadi.. gue pergi." Airen masih memelukku ketika ia menceritakannya, aku masih diam mendengarkan. "Dua tahun gak ngeliat lu, gue cari tau apa yang terjadi. Lalu.. gue dapat kabar bahwa lu kecelakaan gara-gara orang yang bernama Seno. Hati gue panas dan bertekad mencari dia, saat tau dimana dia tinggal, rumahnya kosong. Tetangga bilang dia pergi keluar kota. Karena cemas dan gak bisa balas dendam, gue memilih tinggal dekat lu. Beruntung tabungan gue bisa beli rumah ini, hebatkan, salah satu tabungan almarhumah istri pertama bokap dulu. Untuk bertahan hidup gue kerja serabutan dan nabung lagi. Anak SMA kerja serabutan emang gak gampang, dan gue sadar bahwa.. hidup lu setelah lepas dari kita, mungkin jauh lebih menyedihkan daripada gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
JUAL CINTA BENTUK SKRIPSI 🔞
Random[publikasi ulang tanpa editing] 🚻Perhatian: cerita berbahasa kadang kasar, memang di buat seperti itu. Untuk pembaca remaja, atau dewasa mohon ambil baiknya, buang keburukannya. Terimakasih. . . . Mahasiswa tingkat akhir, punya masalah mereka sendi...