Sampah

97 8 1
                                    

Sam.pah
*n ki : hidup sebatang kara, kadang dianggap sampah masyarakat. Padahal, mereka 'jarang' mengulurkan tangan hanya untuk sekedar menyapa.
.
.
.
Malam itu gue memutuskan datang ke pub, mengajak si pak dosen sekalian. Beberapa kali pernah gue kesini, bukan karena hobi minum tapi nganter teman yang manggung sebagai band indie. Beberapa staf sudah kenal gue, ketika seorang atau dua orang berpapasan. Bahkan mereka tau apa yang gue minum.

"Wahh, saya kira kamu gak pernah datang ke tempat seperti ini." Dosen muda itu mengamati sekeliling, mungkin karena fisiknya yang tampan, berkarismatik, dan gayanya yang stylish. Banyak pasang mata meliriknya dari ujung kaki hingga rambut.

"Saya bukan kutu buku. Pa dosen mau minum apa?" Tanya gue berusaha ramah, padahal dongkol betul mendengar omongannya tadi siang.

"Saya? Hmm, hey... Kamu punya Storm beer?" Dia bertanya pada bartender, yang nampaknya sedikit kesal. Entahlah, mungkin kalah pamor.

"Tidak ada, kalau mau saya  rekomendasikan Albens Cider." Jawab Bj-bartender yang gue kenal, karena mengantar Anto pulang mabuk dulu.

"Wahh, sayang sekali. Tapi baiklah, terserah mana yang terbaik." Dosen itu duduk di kursi bar, menunggu pesanannya.

Gue pergi kebelakang sebentar, sebelum akhirnya pak dosen menghentikan. "Mau kemana?" Tangan gue dicekal, "toilet." Dia ngeliat gue lekat, dengusan jengah akhirnya.

"Lu gak percaya gue?" Sorry, gue gak bisa basa-basi lagi. Dia malah ngulas senyum sok cool, pas ubun-ubun lagi panas begini.

"Nahhh, gitu dong. Dari tadi jaga image terus, gak cape apa."

"Maksud lu! Nyari ribut lu!?" Pesanan dia datang, langsung diminum dengan tatapan mata masih ngeliatin gue.

"Buat apa saya nantang kamu. Lucu kok, saya suka." Shiiiit! Salah gue emang, orang gila gue ajak kemari. Daripada makin panas, gue milih ngacir ke toilet buang hajat.

Eh malah tuh orang ngikutin gue, melototlah. Sial banget gue ketemu psikopat!

"Ngapain lu ikutan!" Gue lagi pipis ini, sial banget dia lirik-lirik barang gue.

"Kayanya saya mabuk, jadi pengen pipis." Gak taulah. Nih dosen gila beneran kali. Tapi kok bisa ya dia jadi dosen, kalau semisal emang sinting!?

Begitu urusan gue kelar, buruan cuci tangan dan keluar. Pokonya gue harus kabur dari nih orang, minta tolong Bj buat ngehalangin tuh orang tadi biar gak ngikutin gue. Setelah itu gue beneran cabut dari pub, pakai gojek lagi mangkal rada dipaksa. Tujuan akhir cafe tempat kerja Airen.

* * * *

"Lu yakin tuh orang psikopat?" Rei dan gue duduk di pojokan meja cafe, biar gue bisa merhatiin Airen juga jaga-jaga kali aja tuh dosen gila stalker.

"Gak juga sih, cuma.. gue gak suka aja sama dia. So kecakepan."

"Hahaha! Bukannya lu juga gitu, ya? Tiap cewe lu sapa, kaya lu Kebagusan aja."

"Tai... Gue emang cakep." Pose gue pede, "lu cuma sirik aja gak secakep gue."

"Hidihhh, cakep kok jomblo. Mending gue,"

"Punya pacar aja bangga lu."

"Harus! Hahaha...! Pra?" Rei mendadak melongo, gue lagi nyeruput susu vanila dingin pas dia ngomong.. "kayanya dia emang cocok deh buat lu." Kening gue kerut, pas balik badan.

"SHIT!" Peduli setan sama pekikan gue. Tuh pak dosen muncul betulan, sambil pasang senyum sok kecakepan bangsat.

Dia berdiri di depan meja, sambil menyeringai. Berkacak pinggang lagi, merapihkan rambut belah kiri yang sedikit berantakan. Gue sama bengongnya dengan si Rei tadi, 'apa masalah gue dengan nih orang?'

"Hahhh, kamu! Jahat sekali ninggalin saya. Untung saya bawa mobil sendiri, hmm? Ini siapa?" Dia nunjuk Rei gak ngiceup, malah bergumam nyebutin nama artis. 'Joy Taslim..'

"Pacar gue. Kenapa?" Rei melotot ke arah gue, mau menyangkal gue sumpel juga congornya. Tapi kayanya siasat gue gak mempan, tuh dosen malah senyum aja. Beneran gila nih orang.

Dia duduk di kursi gue dan Rei, kita jadi duduk bertiga. Gaya duduknya aja bikin gue kesal, kaki di silang, nyender, sok mikir lagi liatin si Rei. "Kamu bukan pacarnya, kan. Your straight, right? Have a girlfriend. Hahaha, yah saya tau. Jadi," sekarang dia liat gue, tau kebodohan gue terbongkar. "Will you to be my boyfriend?"

"Dia udah punya pacar." Airen muncul dari belakang, nepuk pundak si pa dosen yang sekarang ngelirik ke arahnya. Wajahnya mendadak gak suka, dia tersenyum sinis.

"Who?"

"Gue."

"Hahaha, you? Nahhh, mana mungkin."

"Kenapa? Anda gak percaya?"

"Buktikan."

Airen mencium Praga, tanpa aba-aba atau komando. Senyum pa dosen menghilang, menjadi saksi peristiwa bersejarah yang akan mengguncang Praga dan Airen. Rei tutup mulut, melirik ekspresi mereka bertiga. Apa yang direncanakan bocah itu sebenarnya?!

"Sekarang, lu percaya." Ujar Airen, sementara Praga masih syok.

Pa dosen tersenyum sinis, kembali melihat Praga yang terlihat bingung. "I don't believe him. Coba katakan sesuatu, jika kamu memang pacarnya pemuda ini, Praga." Yang dipanggil memandang bingung, melirik pa dosen dan Airen bergantian.

"Gue gak suka kalian berdua. Gue benci kalian berdua!" Praga pergi dari cafe, dengan raut wajah kecewa dan sedih. Airen diam sementara pa dosen berdiri, tersenyum sinis kembali.

"Do you know, saya rasa hanya kamu yang menyukai Praga. Tapi tidak dengan dia, so.. kita akan lihat. Siapa yang mendapatkan lelaki itu lebih dulu." Tantangan dibuat, surat perjanjian di atas langit telah tercatat.

Pa dosen pergi, sementara Airen terduduk lemas di hadapan Rei. Si manajer cafe itu sedang menonton pertunjukan opera sabun secara eksklusif rupanya. Airen menyembunyikan wajahnya sekarang, tertelungkup di atas meja.

"Kenapa lu lakuin itu, bocah?" Tanya Rei akhirnya. "Apa.. Praga, bukan Kaka buat lu?"

Airen melirik Rei masih di atas meja, matanya sayu, aura anak kucing yang merajuk setelah berbuat salah.

"Lu nganggap si Praga sebagai apa sebenarnya?"

Remaja 19 tahun itu nampak bingung, sedih, juga terlihat bodoh sekarang. Mungkin perasaan Airen masih labil.

"Bos.."

"Hm?"

"Aku.. suka dia sejak dulu." Rei melotot, buru-buru kalem. Ceritanya makin seru.

"Sejak kapan tepatnya?"

"Hmm, sejak Abu ngenalin Tante Teresia dan Kak Praga. Saat itu cuma sekali kita ketemu, tapi Kak Praga humble dan care banget. Dia tau aku dibully pas dia main ke sekolahku, terus temenku bilang kak Praga nantang anak yang bulli aku di gang belakang sekolah. Padahal dia baru sekali ketemu aku, tapi.. kenapa dia malah ikut campur dan bilang.. 'dia adik gue! Kalau sampai lu macam-macam sama dia lagi. Gue laporin lu sama kepala sekolah bahkan polisi. Lu tau, Abang gue itu polisi dan tentara semua, dan mereka gak ada yang belagu macam lu!', berbohong dan kelahi buat anak cupu macam aku. Karena itu aku ingin dekat sama Kak Praga, tapi.. dia malah hidup sendiri di sini. Apa dia gak mau punya adik kaya aku? Apa dia.. gak bisa menerima aku sebagai adik? Kalau gitu, aku mau jadi pacar-- Aduh!" Rei geplak kepala Airen, bocah lanang itu mengerutkan kening sekarang.

"Lu ini, sebenarnya suka dia sebagai kakak, atau sebagai pacar lu? Pikir yang betul. Setau gue, dari awal kenal sama si Pra, hidupnya udah cukup melelahkan. Tapi gak sedikitpun dia ngeluh, orang kira dia mungkin cuma bisa pacaran. Tapi harus lu tau, dia kerja mati-matian buat bertahan hidup di sini. Belum pernah gue denger suara dia sesedih itu, kalau sarkas gue tau dia cuma bercanda sangking semangatnya. Tapi tadi, apa yang lu lakuin, gue rasa itu buat dia sedih. Tiap hari dia nungguin lu 'adiknya', cuma karena alasan khawatir. Sampai bawa kerjaan dia ke cafe, itu tandanya dia peduli. Tapi kalau sampai seperti ini, kalau gue jadi dia udah gue tonjok lu. Tapi.. dia masih tahan diri buat gak bikin malu lu. Pikirin perasaan dia, sebelum lu mikirin diri lu sendiri."

.
TBC.

JUAL CINTA BENTUK SKRIPSI 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang