Rangkai

41 7 1
                                    

*Rang.kai
: Satu persatu yang terputus harus mulai terurai, dari bagian kusut untuk kembali di rajut.
.
.
.
Kemarin adalah hari yang menyenangkan, walau berakhir mengenaskan untuk sebagian orang. Praga pulang mengantarkan Mira, menggunakan angkutan umum yang katanya baru pertama kali ia naiki.

Entah, bagaimana bisa anak macamnya malah mendarat di kampus kecil di kota ini. Farhan dan Andreas pulang bersama, itu pun setelah memaksa Rei mengantar Mei untuk pulang dengan pacarnya. Mana ada' cewe cina itu, ingin main ke kosan Farhan. Perang dunia yang ada, jadi Farhan dan Andreas buru-buru cabut.

Di angkutan umum Mira tak banyak bicara, dia seperti gugup karena mungkin baru pertama kali juga, duduk berdempetan tanpa seat belt. Menyadari hal itu Praga sebisa mungkin duduk di sampingnya, menjaga gadis itu sebisanya. Ya maklum saja, mau dilindungi seperti apa, kalau duduknya di kendaraan umum begini. Mungkin dari mata-mata jahil dan tangan-tangan kurang kerjaan.

Sayangnya rumah Mira adalah perumahan elit, yang tidak bisa di masuki kendaraan bebas. Mereka berhenti di salah satu halte bis, pasalnya dari sana ia harus masuk lagi ke sebuah jalan yang di lengkapi pos penjaga. Praga berinisiatif memanggil gojek, agar gadis itu tak perlu menunggu supir menjemputnya. Tapi.. melihat tingkah gadisnya yang mudah sekali gugup, bagaimana bisa dia menyerahkan tanggung jawab begini.

"Hahhh, oke. Kita tunggu supir kamu saja datang ya." Akhirnya gue memilih menemani Mira di halte.

"Ka-Kak Pra main yuk ke rumah?" Usulnya.

"Hmm, ada siapa saja biasanya jam segini?"

"Paling Bibi, Mang Yusuf, sama Pak Budi yang mau jemput aku. Yang lain paling pulang sebentar lagi, sambil nunggu mereka kita ngobrol aja dulu."

"Hmm, lain kali saja. Saya banyak kerjaan dan tugas kampus, kan sebentar lagi kami juga harus mempersiapkan PPL dan KKM. Maaf ya," Mira mengangguk paham, dan menyuruh gue lain kali main kerumahnya, beberapa menit kemudian mobil jemputannya datang.

Kami berpisah di halte bis, Mira bilang dia sangat senang untuk hari ini dan memberi salam untuk semua teman gue. Sementara gue.. entah kenapa justru malah masih duduk di sini. Warna jingga langit sore, lingkungan yang tenang, dan.. perubahan udara yang hangat. Rasanya begitu damai dan gue gak mau beranjak, kalau bisa biar waktu saja yang berhenti sejenak.

Mata gue terpejam, konyol mungkin. Tapi ini benar-benar menenangkan, beberapa kenangan muncul tiba-tiba. Semilir angin membawa pikiran gue kemana-mana, tentang wajah bunda dan ayah, wajah terakhir kak Nat', lalu.. wajah Airen. Mata tiba-tiba saja panas, celah sempit itu berkhianat.

"Sedang apa di sini?" Suara itu! Mata gue terbuka lebar, mata tajam, tubuh tegap. Berdiri di depan, pandangan mata kami bertemu.

Gue hapus cepat jejak di mata, berdiri, berniat berlari tapi dia selalu aja seperti itu. Menarik gue mendekati dia, berekspresi cemas, bertanya lewat manik coklat yang nampak dingin.

"Pra..." Dua tangannya menangkup wajah gue. Membuat mata kami benar-benar saling berhadapan sekarang, bisa gak jangan sok akrab setelah membuat luka.

Gue tepis tangannya, mendorong dia buat menjauh dan gue mundur. "Jangan sok akrab ya! Saya tidak kenal anda, jangan macam-macam. Ini tempat umum!" Ancam gue yang gak berguna, beruntung bis datang dan gue lekas kabur.

Gue liat dia masih berdiri diam di halte sana, dan gue sekarang malah merasa malu. Kenapa harus ketemu dia di tempat itu dan dalam keadaan yang menyedihkan. Harus ya gue semakin gak punya harga diri di mata orang-orang macam mereka.

* * * *

Bahkan ketika di kampus, gue malah berpapasan dengan Seno. Tapi buru-buru buang muka, kita memang gak saling kenal jadi gak usah lagi sok kenal.

JUAL CINTA BENTUK SKRIPSI 🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang