"Ya halo? Maaf ada yang bisa dibantu Dokter?"
"Mentari, besok kuliah saya diundur jam terakhir saja. Jadwal op saya besok banyak."
"Maaf Dokter, jam terakhir besok diisi Forensik, Dokter. Bagaimana kalo jam pulang, Dok? Jam tiga sore."
"Ok. Bisa. Sampaikan ke teman-teman kamu."
"Baik Dokter."
"Mentari ..."
"Ya, Dokter?"
"Kamu yakin ... bukan perempuan yang saya temui di peron waktu itu?"
"Maaf Dokter, sepertinya bukan Dokter."
-----
Kalimat terakhir yang dia utarakan di panggilan telepon semalam, membuatku semakin nggak enak tidur. Setelah mengabarkan perubahan jadwal di grup, aku berusaha menghubungi Irsyad, dan menceritakan semua yang terjadi waktu itu. Irsyad dengan cerewetnya membombardirku dengan segala wejangannya. Tentang probabilitas sekaligus resiko yang harus aku tanggung, antara kalau aku jujur, dengan kalau aku tetap meneruskan ketidakjujuranku. Sudah mirip kakek-kakek.
Aku nggak berani jujur. Kalau aku jujur sekarang, berarti ketahuan kalau aku kemarin bohong. Ketahuan juga kalau akulah perempuan ketus yang menganggapnya pria mesum. Meskipun dia nggak tahu isi kepalaku. Untungnya kemarin aku pakai masker. Mudah-mudahan dia melupakan kejadian sekejap itu. Lagipula, hanya sekejap sekali. Untuk apa diingat-ingat.
----
Aku sedang duduk di bangku depan kelas, bersama teman-teman perempuanku yang sibuk menghebohkan tas keluaran terbaru dari merk yang akhir-akhir ini sedang digilai para gadis seumuran kami. Merk Fancy and co. Aku juga merasakannya sebagai perempuan. Terkadang jempolku sangat gatal, kala tas, baju, dan sepatu cantik terpampang nyata di Instagram. Namun, aku nggak tega merogoh kocekku hanya untuk kesenangan sesaat itu.
Padahal aku juga jualan tas online. Tapi nggak berani menunjukkan pada mereka jualanku. Mereka bukan pasarku. Atau, barangku yang nggak masuk kelas mereka. Murah, tapi tetap bagus kok. Aku menjualnya sebagai reseller, dari brand yang mungkin nggak terlalu terkenal. Asal nggak perlu harus belanja banyak dulu agar aku terdaftar jadi reseller, aku pasti akan dengan sukarela membantu menjualkan.
Aku sedang sibuk membaca novel online gratis di platform baca, saat tiba-tiba suara riuh di sampingku berganti siulan. Hei, mereka bisa bersiul?
Aku memalingkan pandanganku ke arah teman-teman. Dena melongo sembari menggeleng-gelengkan kepala, ada pula temanku yang tersipu, bahkan ada seseorang yang berbalik dan membenahi riasan bedaknya. Beberapa teman laki-laki juga melongok dari jendela, memicingkan mata demi mengamati satu titik pengalih perhatian semua orang.
Kuikuti arah pandang mereka. Ternyata, sebuah mobil Range Rover putih nan mengkilat sedang parkir di area parkir dosen, berhasil membuat para gadis di sampingku siap siaga. Mesinnya sudah mati, tapi sepertinya sang pemilik masih sibuk di dalam. Siap-siap saja mereka kecewa, jika yang keluar dari pintu itu sudah bapak-bapak.
Aku nggak tahu siapa pemilik mobil itu, karena nggak pernah melihatnya lalu lalang di kampus kami. Tapi aku tahu, itu mobil mahal.
Sejak tiga tahun yang lalu, aku yang nggak punya mobil ini, sudah hafal dengan hampir semua tipe mobil yang beredar di parkiran kampus. Hafal kisaran harganya. Sudah pasti, karena impianku beli mobil. Bukan Range Rover. Tapi, Avanza. Seperti mobil yang dulu Bapak jual untuk mengganti uang nasabah.
Aku mematikan handphoneku. Membaca novel mampu sedikit meringankan isi kepalaku, setelah berpanas-panas ria selama delapan jam diisi oleh materi kuliah, sampai meluap-luap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)MASIH LENGKAP
Chick-Lit#1 chicklit (27 Feb 21) #1 metropop (21 Feb 21) #1 doctor (14 Apr 21) #1 youngadult (15 Des 20) #1 fiksiumum (1 Mar 21) #1 spiritual (8 Feb 21) #1 mentari (15 Des 20) #1 getaran (11 Feb 21) #1 inspirasi (6 Jan 22) #1 acak (18 Mei 22) #3 romance (3 M...