Gara-gara pujian Dokter Gamma pada tempe goreng tepung buatan Ibuk waktu itu, kini aku bertambah profesi menjadi tukang antar paket makanan pada sang dosen. Hampir tiap pagi dalam seminggu, Ibuk selalu membekaliku dengan lauk tempe goreng. Bukan untukku, namun untuk diberikan pada Dokter Gamma. Padahal aku telah berkoar-koar pada Ibuk bahwa syuting Dokter Gamma nggak dijadwalkan setiap hari.
"Dia kan dosenmu, Nduk. Siapa tahu kalo kita butuh bantuan Dokter itu bisa bantu," kata Ibuk yang membuatku akhirnya menurut. Manusia memang nggak akan bisa hidup sendiri, semandiri apapun manusia itu. Suatu saat, ada kalanya aku akan membutuhkannya, dan dia membutuhkanku. Entah mengapa kata-kata Ibuk itu bisa sangat sejalan dengan yang Dokter Gamma katakan malam itu.
Tapi sejujurnya aku malu, menyadari fakta bahwa yang bisa aku dan keluargaku berikan padanya hanya delapan biji tempe goreng tepung dimana tempe di dalamnya teriris tipis-tipis. Jadi, sama saja aku hanya memberinya makanan dari tepung.
Aku juga takut menerima fakta bahwa dia menerima setiap bawaan bekalku untuknya, karena rasa belas kasihan semata. Kasihan padaku, dan Ibuk-ku.
"Dokter memang makan gorengan begini nggak ganggu diet Dokter?" tanyaku suatu hari usai dia menghabiskan bekal enam tempe bawaanku. Dia hanya membagiku dua biji.
"Gak. Asal kamu tahu, gue udah luamaa banget gak makan beginian, Tari."
"Nggak bosen ya? Ini udah tiap hari Ibuk bawain terus."
"Kamu harus terima kalo Ibuk kamu suruh bawain. Dan gue ... juga harus terima kalo kamu bawain."
"Maksudnya? Saya nggak boleh nolak Ibuk, dan Dokter ... sungkan nolak saya? Atau ... k-kasian karena Ibuk dan saya udah bawain?" tanyaku ragu dengan suara selirih mungkin.
Dokter Gamma menggeleng. Lagi-lagi, senyumnya terukir.
"Karena dia Ibuk. Ibuk kamu. Karena ini masakan Ibuk. Gue udah lama banget gak makan masakan ... Ibuk," jawabnya yang juga terdengar begitu pelan. Dia mengambil botol air mineral yang ku bawakan karena nggak ada meja di dekat kami, lantas meminumnya membelakangiku. Lama dia nggak berbalik untuk meneruskan pembicaraan denganku lagi. Aku sadar, seharusnya aku bersyukur aku masih punya Ibuk. Dokter Gamma sudah nggak punya Ibuk. Nggak punya Ibuk dan Bapaknya lagi. Aku nggak tahu sudah berapa lama. Tapi aku bisa merasakan kalau aku sudah membawa pembicaraan ini menjadi sesuatu yang sensitif untuk hatinya.
"Maaf ... Dokter."
-------------
Hari ini, awal bulan Oktober, seperti yang sudah dikerjakan senior-senior pendahulu kami, mahasiswa tahun ke tiga mendapat tugas untuk mengadakan bakti sosial angkatan yang diadakan tiap tahun. Dan tahun ini, bakti sosial diadakan di daerah Kampung Melayu yang dua hari lalu dilanda bencana banjir akibat luapan Sungai Ciliwung. Sejak kemarin, air sudah mulai surut, dan pagi ini kami akan membantu membersihkan sisa-sisa banjir juga mengadakan pengobatan gratis untuk para korban.
Satu angkatan dibagi menjadi beberapa grup, yang kemudian tersebar di beberapa zona di daerah Kampung Melayu ini. Grup tempatku bernaung berada di zona B dimana kami sendiri terdiri dari dua puluh orang. Sepuluh perempuan, dan sepuluh laki-laki, termasuk Irsyad. Irsyad dan teman lelaki lainnya mendapat tugas membersihkan lumpur dan kotoran sisa banjir yang berserakan di jalan. Sedangkan kami para mahasiswi membagikan makanan dan mengatur jalannya acara pengobatan gratis.
![](https://img.wattpad.com/cover/234307247-288-k570025.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)MASIH LENGKAP
ChickLit#1 chicklit (27 Feb 21) #1 metropop (21 Feb 21) #1 doctor (14 Apr 21) #1 youngadult (15 Des 20) #1 fiksiumum (1 Mar 21) #1 spiritual (8 Feb 21) #1 mentari (15 Des 20) #1 getaran (11 Feb 21) #1 inspirasi (6 Jan 22) #1 acak (18 Mei 22) #3 romance (3 M...