Dokter Gamma tetap menurunkanku di Stasiun UNI meskipun aku memaksa untuk turun di tengah jalan. Mengobrol dengannya hanya seperti membuka satu per satu kotak pandora yang sudah aku simpan rapat-rapat, jauh dari jangkauan orang. Dia terlalu mengerti diriku, sama seperti Irsyad. Tapi bedanya, entahlah, kenapa orang satu ini nggak bisa menahan mulutnya untuk nggak menyindir keadaanku.
-----
Hari ini, setelah beberapa hari aku nggak bertemu dengannya, akhirnya keadaan memaksaku menemui manusia bermulut pedas itu.
Tugas Dokter Gamma mengisi kuliah Pengantar Bedah di kelasku, telah berakhir. Jadwal kuliah Bedah sekarang, mulai masuk materi Bedah Syaraf dan Bedah Anak, yang diisi oleh dokter lain. Aku yang seharusnya akan bertemu dia lagi saat kuliah Bedah Digestif II yang akan dilanjutkan minggu depan, justru kini tengah duduk bersamanya dalam satu mobil, demi memenuhi profesi baruku. Menjadi manager Dokter Gamma yang terbeken seantero pemirsa ATV.
"Kuliah apa tadi?" tanyanya yang sedang menyetir di depanku.
"Parasitologi, Radiologi sama Bedah Syaraf, Dokter."
"Owh. Siapa yang ngajar Bedahnya?"
"Prof Lukman, Dok."
"Bagus dong. Prof Lukman itu meskipun udah 60 tahun, masih kuat lho, beliau berdiri op lama-lama. Gue juga mau kayak beliau! Sampe tua, masih bisa nolong orang, Tari."
"Iya, Dok. Keren."
Aku juga mau sampai tua bisa menolong orang, seperti Prof Lukman. Tapi mungkin, bukan dengan menjadi Dokter Bedah. Aku mau menjadi seorang Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah saja. Jantung itu keren. Jantung bisa berdetak 100.000 kali sehari. Jantung bisa memompa 2000 galon darah, sejauh 60.000 mil pembuluh darah. Jantung memberi kehidupan untuk triliunan sel dalam tubuh. Layaknya jantung, aku juga ingin menghidupkan orang-orang di sekitarku. Seenggaknya, sekarang untuk Bapak, Ibuk, Febi dan April dulu. Hingga kelak, setelah aku lulus, aku bisa membantu lebih banyak nyawa lagi.
"Rencana kamu kalo udah lulus kuliah apa, Tari?"
"Kerja jadi dokter, Dok."
Dokter Gamma terkekeh.
"Haha ... bener-bener. Trus?"
"Trus? Ya jadi dokter seterusnya, Dok."
"Ck! Maksud gue, mau lanjut ambil spesialis apa?"
"Jantung, Dok," jujurku.
"Bagus! Nah, gitu dong. Punya cita-cita. Meskipun kamu belum tahu cara ngejarnya, yang penting punya dulu."
Benar. Dia sangat benar kalau aku hanya bercita-cita, tanpa tahu cara meraihnya. Lulus Coass, Internship, bekerja, lalu mendaftar Spesialis. Jalur itu aku tahu. Yang aku nggak tahu, darimana aku mendapatkan modal untuk membayar uang gedungnya? Mudah-mudahan, ada beasiswa untuk melanjutkan sekolah spesialis.
"Kamu bisa coba beasiswa LPDP Kemenkeu itu, kalo kamu mau. Banyak kok residen Bedah kita di sini yang lewat LPDP. Siapin aja syaratnya dari sekarang!"
Benar 'kan? Dia selalu tahu apa yang kupikirkan.
"Baik, Dokter. Nanti saya cari infonya. Mmm ... tapi maaf, ini apa saya harus ikut ke ATV, Dok? Saya kemarin udah konfirmasi jadwal Dokter ke Mas Arya kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)MASIH LENGKAP
Literatura Feminina#1 chicklit (27 Feb 21) #1 metropop (21 Feb 21) #1 doctor (14 Apr 21) #1 youngadult (15 Des 20) #1 fiksiumum (1 Mar 21) #1 spiritual (8 Feb 21) #1 mentari (15 Des 20) #1 getaran (11 Feb 21) #1 inspirasi (6 Jan 22) #1 acak (18 Mei 22) #3 romance (3 M...