"Lo yakin, Ri? Udah istikharah?"
Aku mengangguk saat dia menanyaiku, di detik-detik terakhir Dokter Gamma mengucap janji ijab qabulnya. Sejak tadi, Irsyad memang hanya berputar-putar di ruang makan, demi meyakinkanku sekali lagi.
"Sial!" Irsyad meraup muka dan rambutnya. Tatapannya terlihat ... kesal.
"Emang kenapa sih, Kak? Lo jangan bikin Kak Tari ragu dong! Malu sama orang sekampung kalo gak jadi nikah!" sanggah Febi yang menggenggam tanganku sejak tadi, seolah berat melepas kakak pertamanya ini ke pelaminan.
Febi lah yang menyiapkan riasanku, dibantu salah seorang tetangga yang mulai mahir menyulap wajah dengan ilmu make up andalannya. Mereka berdua baru-baru ini sering bereksperimen, lalu menggugah videonya ke Youtube, sejak akhirnya alat make up kami lengkap sisa wisuda dulu.
April, Bude, juga para tetangga, sedang menyiapkan kudapan yang akan disuguhkan di tenda yang didirikan di depan masjid. Ya, Bapak meminta ijin untuk menyelenggarakan akad kami di masjid, dan mengadakan syukuran di halamannya. Halaman kami terlalu kecil.
Sederhana.
Pesta kami sangat sederhana. Ini permintaanku dan Bapak, karena kami masih berkabung. Hari ini, tepat tiga minggu selepas Ibuk meninggal. Dokter Gamma nggak mau menunggu lebih lama lagi, karena dia merasa sudah punya janji pada Ibuk untuk menjagaku.
Berbeda dengan Tante Hayati, beliau tetap akan merencanakan pesta resepsi untuk kami, sekitar tiga hingga enam bulan ke depan. Aku maklum. Keluarga beliau punya banyak kolega, dan aku nggak boleh menghalangi keinginan seorang Ibu yang ingin membuatkan pesta pernikahan untuk anaknya sendiri.
Jadwal koasku dicutikan oleh Prof. Sujatmiko dengan mudahnya, melalui Dokter Gamma, selama satu ... setengah ... bulan.
Lama sekali!
Itu berarti, aku sepertinya akan mengulang stase Bedah lagi dari awal, dan terpisah dengan kelompok koas yang sudah aku anggap bagaikan saudara sendiri.
Semalaman jua, aku, Febi, dan April masih sempat begadang mengenang masa kecil kami dulu.
Masa dimana keluarga kami hidup tanpa hutang, masa dimana Ibuk masih ada, dan masa menyenangkan dimana kami masih bisa berbondong-bondong naik kereta ke Ragunan atau naik bus ke Monas. Menikmati hidup sederhana sebagai keluarga kecil yang super duper bahagia menurutku.
Akankah setelah ini ... aku juga bisa hidup bahagia membina keluarga baru dengan Dokter Gamma, layaknya keluargaku dulu?
"Ini beneran gak sih?! Ri, come on ... jangan bilang lo mau nikah karena mau makasih, gara-gara dia yang udah lunasin hutang lo. Gue gak mau lo tersiksa! Nikah buat seumur hidup, kalo lo lupa!"
Sekali lagi, aku mengangguk.
Terlepas dari rasa terimakasihku atau nggak, keyakinan menuntunku padanya. Entah mengapa keberadaannya di sekitarku, berhasil menyerap setengah kerapuhan, dan menaikkan separuh keberanianku. Sama seperti Irsyad. Namun sejak dia menolakku dulu, lama-lama nalarku berjalan. Perasaanku sedikit demi sedikit terkikis, dan tergantikan dengan Dokter Gamma yang makin intens hadir di sekelilingku.
Soal hutang itu, aku berjanji dalam hatiku tetap akan menggantinya setelah aku bekerja menjadi Dokter. Sementara sekarang, aku akan mencicilnya setiap bulan dari hasil yang kudapat dari royalti menulis, juga keuntungan berjualan online. Ini ikrarku, meskipun satu jam lagi mungkin Dokter Gamma sudah akan berstatus menjadi suamiku, dimana dia adalah pria yang nggak pernah sekalipun hitung-hitungan uang denganku.
Dokter Gamma masuk setelah menyingkap tirai pembatas antara ruang tamu dan ruang makan, diikuti Rara dengan kebaya modernnya, juga Bapak yang sudah memakai jas hitam. Semua kostum yang dipakai hari ini dibeli kilat di butik terkenal yang Kak Tika pilihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)MASIH LENGKAP
Chick-Lit#1 chicklit (27 Feb 21) #1 metropop (21 Feb 21) #1 doctor (14 Apr 21) #1 youngadult (15 Des 20) #1 fiksiumum (1 Mar 21) #1 spiritual (8 Feb 21) #1 mentari (15 Des 20) #1 getaran (11 Feb 21) #1 inspirasi (6 Jan 22) #1 acak (18 Mei 22) #3 romance (3 M...