Kulihat tubuh tegap itu. Dia berjalan gagah di depanku. Rasanya, kata takut sudah hilang dari kamusnya. Langkahnya begitu tegas. Berbeda denganku. Yang sedikit-sedikit ingin mundur, lalu berhenti. Kegetiran masih menyelimuti diriku.
Kulihat, siluetnya terbentuk oleh cahaya terang di depan kami. Bayangan tubuhnya memayungiku. Menghalangi pandanganku akan sinar menyilaukan, namun merusak mata.
Aku nggak pernah punya saudara lelaki. Aku juga nggak pernah punya kakak. Yang aku lakukan selama ini, adalah aku merasa harus menjadi kuat untuk adik-adikku. Bagaimanapun situasinya. Menjadi tumpuan bagi Bapak dan Ibuk. Meyakinkan mereka, bahwa mereka bisa mengandalkanku. Kapanpun, dan dimanapun.
Tapi kali ini, aku butuh dia. Butuh Irsyad untuk menjadi kakakku. Butuh pelindung, untuk melindungi diriku yang sedang berusaha tetap tegar, untuk waktu yang lama.
Irsyad masuk, setelah mengetuk pintu ruangan, yang kemarin kutinggalkan dengan membawa segenggam luka.
Aku nggak berani. Sosok penakutku hanya punya nyali untuk berdiri di balik dinding dekat pintu saja. Di tempat yang sama seperti kemarin. Pintu itu, masih sedikit memberi celah. Hingga aku bisa mendengar seruan Irsyad ketika memanggil, "Dok!!"
"Hai Syad. Apa kabar? Mentari mana?"
Itu jawaban pertama yang terlontar dari mulut manisnya. Mulut manis yang ternyata baru kusadari, nggak hanya menyakitkan. Tetapi juga melukai.
"Maaf, Dokter Gamma! Saya di sini mewakili Mentari, memohonkan maaf, kalo Mentari sudah tidak bisa lagi melanjutkan tugasnya menjadi Korbid. Korbidnya langsung Rara yang bantu nanti, Dok."
Sedikit lirih, namun tegas. Suaranya penuh penekanan dimana-mana. Irsyad nggak biasanya berintonasi seperti itu.
"Rara? Adek gue?"
"Benar Dok. Kemarin saya dan Tari sudah bilang ke Baron, ketua angkatan kami. Dan Rara juga sudah bersedia!"
"Wait! Kenapa diganti? Oke ... Korbid gak masalah sih ganti Rara. Tapi, tiba-tiba? Lagian ... lo kenapa sih, Syad? Kenapa jadi resmi begini? Tari mana? Tutup pintunya!"
"Maaf Dokter, karena selama ini saya juga sudah lancang dengan tidak sopannya menganggap Dokter seperti teman saya sendiri! Dokter dosen saya. Jadi gak seharusnya saya panggil Dokter dengan sebutan lo."
"Lo tutup pintunya deh!"
"Gak bisa Dokter! Tari ada di luar! Dia sepertinya juga sudah terlalu jijik untuk masuk dan melihat wajah Dokter, juga mendengar kata-kata manis Dokter. Maaf Dokter!"
Brak!!!
Aku di luar berjingkat, mendengar gebrakan meja dari dalam.
"LO NGOMONG APA?!"
"Maaf Dokter yang paling hebat dan terkaya se-Rumah Sakit Samanhudi. Saya juga mendadak ikut jijik dengan sosok yang beberapa bulan ini saya idolakan."
"IRSYAD!!"
Aku terperanjat. Dia membentak Irsyad. Lantas, pintu ruang staf yang tadinya hanya menyisakan sedikit celah, kini terbuka lebar oleh tangannya. Sosok yang kutakutkan, muncul di sana. Pasang matanya menatap tajam kedua mataku. Gelap. Ada segumpal amarah di sana.
"MASUK!!" perintahnya.
Aku bergeming. Irsyad keluar. Dia berdiri di depanku. Menjadi garda untukku.
"Hahaha! JHUSOM ..." Irsyad tertawa sinis. "Saya sampai browsing kemana-mana, demi ingin mengikuti jejak Dokter. Tapi gak sangka ... mungkin Dokter kebanyakan belajar kali ya? sampe lupa belajar soal bagaimana menjaga perasaan orang lain?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)MASIH LENGKAP
ChickLit#1 chicklit (27 Feb 21) #1 metropop (21 Feb 21) #1 doctor (14 Apr 21) #1 youngadult (15 Des 20) #1 fiksiumum (1 Mar 21) #1 spiritual (8 Feb 21) #1 mentari (15 Des 20) #1 getaran (11 Feb 21) #1 inspirasi (6 Jan 22) #1 acak (18 Mei 22) #3 romance (3 M...