13. Kotak Makan Stereoform

60.5K 8.5K 285
                                    

"Lo suka sama Dokter Gamma ya?"

"Hah?"

Aku seketika menoleh pada Irsyad. Panik, aku nggak siap harus menjawab Irsyad dengan kalimat seperti apa.

"Kok lo mikirnya gitu sih? Nggak laaahhh!" sangkalku.

Benar, aku nggak suka Dokter Gamma. Aku hanya ... takjub dengannya. Dia pintar, kaya, baik, ramah, dan super gaul. Mungkin dia juga lupa dengan umurnya sendiri, saking gaulnya. Dia santai, nggak pernah berlama-lama memikirkan satu hal layaknya aku. Atau mungkin karena kecerdasannya, dia bisa berpikir lebih cepat dari durasi yang kupunya? Dia juga jujur. Sangat amat jujur, hingga kadang menyakitkan. Tapi entahlah, mengapa aku merasa nyaman dengan kejujurannya yang menyakitkan itu.

"Lo nggak bisa boong sama gue, Ri!"

"Lo yang nggak bisa baca hati gue, Syad," jawabku lirih tanpa memandang Irsyad. Pasang netraku justru kini sedang teralihkan oleh gelak tawa anak-anak korban banjir di depan sana, yang sedang asyik bermain bola di sisa-sisa lumpur tipis di halaman balai RW. Halaman yang cukup luas, dengan tanah yang belum terjamah oleh polesan semen dimana-mana. Rumput yang seharusnya terhampar hijau, kini hanya terlihat kecoklatan karena lumpur.

Ternyata, bahagia mereka sederhana. Mereka bahkan lupa, seisi rumah mereka kemarin tergenang air dua meter. Sama sepertiku. Bagiku, bahagia nggak harus didapat dari melimpahnya isi kantong dan ATM seseorang. Aku nggak menampik, jika uang bisa membayar kebahagiaan. Tapi, hal itu bukan sebuah keniscayaan. Sebenarnya, banyak bahagia di kanan kiri kita, jika kita mau membuka hati untuk tetap bersyukur. Bapak, Ibuk, Febi, April, dan Irsyad. Mereka syukurku. Mereka bahagiaku.

Kini, tanganku dan tangan Irsyad sedang memangku sebuah kotak makan, berbahan stereoform, yang disediakan untuk kami makan siang. Aku dengannya duduk berdampingan di teras balai RW, tempat kami mengadakan pengobatan gratis tadi.

Dokter Gamma, Rara dan teman-teman kalangan borjuis yang tergabung di zonaku, masih menikmati santapan yang sama dengan kami, hanya saja di tempat yang berbeda. Di rumah Pak Ketua RW, yang berjarak nggak jauh dari sini.

Aku menetap dengan alasan akan mencicil membereskan perlengkapan pengobatan yang tadi kami pakai. Irsyad menetap karena mungkin melihatku menetap. Irsyad nggak pernah tega membiarkan aku sendirian.

"Hati lo memang kayak gimana, Ri?"

Tiba-tiba jantungku berdebar lagi. Terlalu banyak kejutan untuk diriku hari ini. Dan satu lagi yang mengejutkanku adalah pertanyaannya yang kemudian memicu ketidakmantapanku. Hatiku bergetar, namun ragu.

Aku berusaha melirik Irsyad dari sudut mataku. Ternyata, aku nggak bisa menilai ekspresinya dari posisi seperti ini. Kucoba memberanikan diri memalingkan tatapanku padanya. Nyatanya, pasang matanya masih seperti tadi. Fokus memandang kawanan pemain bola dadakan di depan kami.

"Hati gue?"

Aku mengikuti arah pandangnya lagi. Nasi di kotak stereoform kami, rasanya nggak bisa mengalihkan perhatian kami berdua siang ini. Aku meluruskan kakiku ke tanah. Undakan teras ini memang nggak terlalu tinggi, sehingga kami bisa dengan lengangnya mengistirahatkan tungkai kami.

"Tumben, lo mau tau isi hati gue?" tambahku.

"Karena gue sahabat lo 'kan?"

"Iya. Tapi kayaknya, kejujuran gue juga nggak akan ada artinya. Jadi mending nggak usah. Heheee ..."

Aku tertawa canggung. Rasanya ingin menangis dan meneriakkan isi hatiku padanya. Aku suka sama kamu, Irsyad. Aku mau kamu.

Irsyad menoleh. "Kalo lo gak suka Dokter Gamma, gak usah deket-deket. Mumpung belum suka. Ntar sakit hati kalo udah terlanjur. Dia kejauhan, Ri. Kita yang kejauhan dari dia. Jauh segala-galanya."

Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)MASIH LENGKAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang