"Ujian skripsi?"
Aku tersentak saat seseorang bersnelli putih, mengagetkanku dari belakang dengan suara halusnya. Sudah hampir satu tahun, aku nggak pernah lagi mendengar suaranya. Satu tahun pula, aku juga nggak lagi berpapasan dengan sosoknya.
Nyatanya, aku masih sering melihat dirinya berkunjung ke kampus, untuk urusan akademik. Namun, satu-satunya hal yang bisa aku lakukan, adalah hanya terus bersembunyi. Dari dirinya.
Aku takut. Entahlah, apa yang aku takutkan. Mungkin, aku takut tersakiti lagi dengan kata-katanya. Atau mungkin, aku takut jika suatu hari, aku bisa saja tertaut dengannya, lalu sulit melepaskan diri lagi. Seperti kemarin. Bagiku, Dokter Gamma sudah mirip layaknya sebuah obat anestesi. Sekejap disuntikkan, membuat nyaman, lantas aku akan terasa ringan, kemudian tertidur pulas. Hingga pada akhirnya, diriku sendiri pun nggak akan menyadari, bahwa ada bagian dari tubuhku, yang sedang berdarah-darah dan tersakiti.
"D-dokter ngapain?" tanyaku khawatir. Apa yang dia lakukan di tempat yang bukan divisinya.
"Emang aku gak boleh main ke Jantung?" tanyanya tengil.
"B-boleh. Silakan."
Aku menepi, memberinya akses jalan untuk masuk ke dalam Sekretariat Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Namun, tubuh tingginya kian bergeming. Dia lebih menyibukkan diri untuk mengamati penampilanku satu per satu. Dari atas, hingga ujung bawah.
Kemeja atasan putih, rok hitam panjang, dan rambut sebahu, yang dikuncir dengan karet sederhana berwarna senada. Sepatuku sudah berganti dengan sepatu coklat sederhana, berbahan plastik super elastis, yang aku beli di pasar malam seharga tiga puluh lima ribu. Sepatu yang sempat dia lecehkan dulu, sudah tergantung di rak teras belakang dan berlabel rusak.
Lantas, tatapannya beralih ke barang bawaanku yang tergeletak di kursi panjang ruang tunggu itu. Ada sepuluh jilidan tebal skripsi yang tertumpuk rapi di sana, dengan tas ransel hitam kebanggaanku di sampingnya. Tentunya, tas yang terisi oleh bekal makan siang dan sebotol air putih.
Dia sempat tersenyum padaku. Lebar, hingga lesung pipi yang nggak pernah kelihatan itu, muncul lagi di depanku. Lalu, sedetik dia terkekeh. Apakah aku terlihat lucu?
"Ujian kok sendirian? Temenmu mana? Irsyad mana?" tanyanya dengan sesimpul senyum.
"Saya nggak sedang ujian, Dok. Eh maaf. Sudah, maksud saya. Irsyad di Obsgyn, Dok. Sebentar lagi ujian. Maaf, saya permisi dulu, Dokter."
Aku secepat kilat menghampiri bawaanku dan membereskannya.
"Mau kemana? Gak jadi masuk?" cegahnya.
"Sudah, Dok. Tadi minta tanda tangan Dokter Puji saja. Mari, Dok."
Aku susah payah membenahi tumpukan makalah hardcover itu, untuk kumasukkan ke dalam kardus yang kubawa. Dengan penuh malu, menunduk, lalu mengangkat kardus berat itu.
"Bisa bawanya?" tambahnya dengan senyum menahan tawa.
Kuat, Tari! Kuat! Aku nggak akan kalah hanya dengan ditertawakan olehnya. Sudah menjadi kebiasaanku membawa beban seberat ini. Beban hidupku saja, sanggup aku bawa. Apalagi, hanya kardus remeh-temeh ini.
"Bisa, Dok. Permisi."
BRUKK!!!
"Aww!!! Sssss ... duhh!"
Makalah-makalah tebal itu jatuh. Tepat di atas punggung kaki kananku. Sakit! Sangat ... amat ... sakit! Super ngilu! Aku berjongkok. Mengusap kasar kakiku. Menekannya. Menahan ngilu dengan mendesis dan menggemeretakkan gigiku.
![](https://img.wattpad.com/cover/234307247-288-k570025.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Tak Harus Bersinar (Dokter-Dokter)MASIH LENGKAP
Literatura Feminina#1 chicklit (27 Feb 21) #1 metropop (21 Feb 21) #1 doctor (14 Apr 21) #1 youngadult (15 Des 20) #1 fiksiumum (1 Mar 21) #1 spiritual (8 Feb 21) #1 mentari (15 Des 20) #1 getaran (11 Feb 21) #1 inspirasi (6 Jan 22) #1 acak (18 Mei 22) #3 romance (3 M...