[11] Keluarga

20 13 1
                                    

“Apa?! Kau mau menikah dengan laki-laki rendahan itu?!” bentak Maria pada putrinya.

“Elva! Kau tahu, 'kan, aku sudah menjodohkanmu dengan anak rekan bisnisku? Kenapa kau masih bersikeras menikah dengan laki-laki miskin itu?”

“Namanya Riski, Ma. Jangan panggil dia laki-laki miskin, dia punya nama!” ucap Elva tidak terima kekasihnya disebut laki-laki miskin.

“Terserah apa namanya. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah merestui kalian! Mencari pasangan itu harus jelas! Memangnya apa yang kau banggakan darinya? Perusahaan tidak ada, latar belakang keluarganya pun tidak jelas, ditambah dia itu pengangguran. Dia hanya akan menyusahkanmu. Percayalah pada Mama.”

“Tidak! Riski itu laki-laki yang baik. Kami akan membangun keluarga, baik dengan atau tanpa restu dari Mama.” Elva pergi meninggalkan ruangan ibunya hendak bertemu dengan kekasihnya.

“Kau mau kemana, Elva? Ayo ikut Mom pulang ke Itali. Elva!”

“Aku tidak akan pulang! Aku akan tinggal di sini dan menikah dengan Riski!” Jarak mereka semakin jauh, karena itu Elva harus berteriak untuk menjawab pertanyaan ibunya.

“Kau tidak bisa melakukan itu! Elva!” Elva tidak menjawab. Ia benar-benar pergi, meninggalkan ibunya, dan lebih memilih kekasihnya.

“Anak kurang ajar!”

Keesokan harinya Maria kembali ke Italia, sedangkan anaknya menikah dengan laki-laki pilihannya. Sejak kejadian itu Elva dan ibunya memutus kontak, mereka tidak pernah berhubungan lagi bahkan sampai ia melahirkan kedua anaknya, yakni Raihan dan Reino.

Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa sudah lima tahun sejak kelahiran dua anaknya yang kembar. Riski dan Elva sangat bahagia, akhirnya mereka dapat membeli mobil pribadi setelah jerih payah usaha yang mereka lakukan, bahkan sekarang mereka sedang dalam perjalanan ke kebun binatang untuk merayakan ulang tahun anaknya yang ke lima.

“Tidak mau! Aku ingin naik wahana baru di Ancol! Semua temanku sudah menaikinya, cuma aku saja yang belum hiks ... aku ingin ke sana ...” Reino merengek ingin merubah tujuan liburan mereka. Padahal tahun lalu mereka sudah ke sana, dan itu karena permintaannya.

“Rei, tahun lalu kau ingin ke sana, dan sekarang kau ingin ke sana lagi? Kau tidak boleh egois, kali ini giliran Rai yang memilih tempat liburan kita,” bujuk Elva.

“Tapi aku tidak mau ke sanaaa! Aku ingin ke Ancol! Ancol!”

“Sudahlah, Bu. Kita ke sana saja, Rei berisik sekali, telingaku sampai sakit mendengarnya.” Lagi-lagi Raihan mengalah.

“Rai memang yang terbaik! Aku sayang Rai!” Reino memeluk saudaranya erat. Ia sangat menyayangi kakak kembarnya, begitu pun sebaliknya.

“Tapi, Rai, kau sudah lama menantikan ini, apa tidak apa-apa jika tidak jadi ke sana?” tanya Riski.

“Tidak apa, Ayah. Lagi pula di Ancol juga menyenangkan, ada banyak wahana permainan di sana. Aku juga ingin makan permen kapas yang dijual di sana.”

“Aku juga! Aku mau permen kapas!”
Reino bak pantulan Raihan di cermin, begitu juga sebaliknya. Tapi hanya wajah mereka yang mirip, tidak dengan sifatnya. Reino sangat manja, kekanak-kanakan, dan sulit diatur, berbeda dengan Raihan yang penurut dan sering mengalah demi adiknya.

“Baiklah, kita pergi ke sana. Tapi Rei harus janji, tahun depan giliran Rai yang—”

“Sayang, awas!”

TIDDDD!

DUARR!

Tiba-tiba sebuah truk yang lepas kendali karena pengemudinya mengantuk mengarah ke arah mereka. Kecelakaan tak bisa dihindari, mobil keluarga bahagia jatuh ke jurang. Riski dan Elva meninggal di tempat, sedangkan kedua anaknya mengalami luka yang parah, terutama Reino. Ia bahkan sampai mengalami amnesia gara-gara kecelakaan itu.

Elva memutus kontak dengan keluarganya, dan Riski adalah yatim-piatu. Karena itu setelah kecelakaan, Raihan dan Reino dibawa ke panti asuhan.

“Jadi ... kau sudah mengerti, kan? Percayalah, aku ini nenekmu.” Reino terdiam, ia tidak menjawab. Jujur saja ingatannya masih belum kembali sejak kecelakaan itu.

“Kau membunuh orangtua angakatmu, kau juga membunuh orangtua kakakmu, sekarang kau mau membunuhnya juga? Dan teman masa kecilmu?” Reino masih tidak menjawab, ia sedang berusaha mencerna apa yang sedang dibicarakan Maria padanya.

“Aku tahu orang yang mengadopsimu. Pak Wisnu, dia mengambil alih harta istri pertamanya, lalu pergi dengan istri keduanya. Dia membawamu ke istri pertamanya yang sudah hilang akal akibat perbuatannya. Aku tahu kau menderita. Kau iri dengan kehidupan saudaramu. Tapi asal kau tahu, setiap hari ulang tahun kalian di setiap tahunnya, Raihan selalu membeli hadiah untukmu walaupun kalian tidak pernah bertemu.”

Reino terkejut mendengarnya, ternyata selama ini kakaknya masih peduli dan sangat menyayanginya. Tapi ia malah mendatangkan penderitaan pada kakaknya.

“Dua minggu lagi tanggal 27 Juli, ulang tahun kalian, bukan?” Maria menjeda sejenak. “Penyakitnya semakin parah, apa lagi barusan kau menusuknya. Dokter sendiri tidak tahu dia akan bertahan sampai kapan.”

Reino sangat sedih mendengarnya, ditambah karena ulahnyalah kondisi Raihan jadi semakin memburuk. Ayolah, ia tidak mau berpisah lagi, apa lagi untuk selamanya.

“Aku yakin Raihan pasti sedang sedih sekarang. Bukan sedih karena sebentar lagi dia akan mati. Tapi sedih karena dia tidak bisa memberikanmu hadiah sebelum kepergiannya,”

“Benarka—”

“Kalau kau tidak percaya, kau lihat saja di kamarnya. Ah, kau, kan, sudah pernah ke sana, apa kau tidak menemukannya? Raihan menyimpan banyak kado di kamarnya, apa kau tidak melihatnya?”

Maria dan anak buahnya memang hebat, mereka bisa mengetahui segalanya hanya dengan waktu tiga hari. Semua yang dikatakannya memang benar. Saat Reino mengacak-acak kamar Raihan, ia sempat melihat beberapa tumpukan kado dengan berbagai ukuran. Ia juga sudah merusaknya beberapa.

Sombong sekali. Hanya karena ada yang memberinya, dia memajang dan memamerkan hadiahnya seperti itu. Itulah yang Reino pikirkan saat itu. Tapi semua hadiah itu ternyata untuknya.

“Bagaimanapun juga kau sudah membunuh, dan bukan hanya satu orang. Tidak lama lagi kau akan dipenjara atau dihukum mati. Kakakmu meninggal karena penyakitnya, dan kau meninggal karena hukumanmu. Kau senang dengan ending yang seperti itu?”
Tentu saja tidak. Ending yang Reino inginkan adalah hidup bahagia bersama RaiRaihan. Bukan bad ending seperti ini.

“Aku tahu permintaanku ini egois, tapi aku ingin kau melakukannya.”


T

BC

Makasih buat yang uda mampir dan voment:D
Gomen jika banyak typo:)
Jangan lupa beli bukunya di online shop guepedia, disana ga ada typonya:D

MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang