[12] Selamat Tinggal

32 10 1
                                    

Bu Anita duduk tepat di depan ruangan Raihan dirawat. Ia sangat khawatir. Dokter bilang kondisi anaknya kritis, apa lagi luka tusuk yang dibuat Reino tadi cukup parah.

“Nyonya Anita,” panggil Maria.

Bu Anita sangat terkejut melihat Maria datang bersama Reino. Saudara kembar anak angkatnya sekaligus orang yang hampir membunuhnya tadi.

“Anak itu ... ke-kenapa dia—”

“Tenang, Nyonya. Percayalah, sebenarnya mereka berdua saling menyayangi. Tolong izinkan anak ini menemui Raihan.” Maria mencela.

“Apa? Apa Anda sudah gila? Anda lupa dengan apa yang sudah dia lakukan? Dia membunuh suamiku, dia juga hampir membunuhku dan anakku. Apa hal seperti itu bisa disebut menyayangi?”

“Aku mengerti perasaanmu, tapi—”

“Anda bilang Anda nenek anakku? LALU KENAPA ANDA MEMBAWA ANAK ITU KEMARI?! DIA BISA SAJA MEMBUNUH RA—” Tiba-tiba bawahan Maria menahan pergerakan bu Anita karena sudah bertindak kasar pada majikannya.

“Apa ini? Ah, jangan bilang sebenarnya kau adalah atasan anak itu. Kau yang menyuruhnya membunuh suamiku, IYA, KAN?!”

“Jaga bicara Anda, Nyonya." Salah satu bawahan Maria memperingatkan.

“Lepaskan. Itu sikap wajar seorang ibu, jika aku dalam posisinya, aku juga akan melakukan hal sama.” Tak mau kehilangan pekerjaan, orang-orang itu mematuhi perintah Maria, dan melepaskan bu Anita.

“Anda mengaku-ngaku sebagai keluarga asli anakku, sebenarnya apa yang Anda inginkan? APA SALAH KELUARGAKU PADA ANDA?!”

“Maaf atas kelancangan bawahanku, Nyonya. Tapi kumohon, izinkan Reino menemui Raihan. Sebe—”

“Kumohon!" Reino mencela. Ia memohon bahkan sampai membungkuk dan berlutut. “Aku sangat merindukannya, aku menyesal melukainya. Aku hiks ... aku menyayanginya. Kumohon izinkan aku bertemu dengannya, aku janji aku tidak akan menyakitinya lagi ...” Perlahan air mata membasahi pipinya. Bu Anita tidak tegak melihatnya, apa lagi wajah Reino sangat mirip dengan anaknya.

Akhirnya dengan sedikit paksaan, Maria berhasil membujuk bu Anita agar mengizinkan Reino menemui Raihan.

Sekarang Reino berada di ruangan Raihan. Dadanya terasa sesak melihat berbagai alat medis terpasang di tubuh kakaknya. Padahal saat ia menusuknya, ia tidak merasakan apapun kecuali kepuasan.

“Maafkan aku, Rai ...” Reino menggenggam tangan Raihan, berharap mereka bisa bertukar tempat sekarang. Tapi bukan berarti ia ingin Raihan menjadi pembunuh sepertinya, ia hanya ingin saudaranya sehat seperti dulu.

“Rei...”

Reino terkejut mendengar suara kakaknya. Raihan membuka perlahan matanya, tatapannya terlihat sayu, ia rindu dengan adik yang padahal seumuran ini bermanja-manja padanya.

“R-Rai? A-aku akan memanggil ibumu.” Reino baru mau memanggil bu Anita, tapi Raihan menahannya.

“Jangan ...” ucap Raihan lemas. “Aku ingin ... bersamamu sebelum ... aku pergi ...”

Reino menggeleng cepat. “Tidak. Kau tidak boleh ke mana-mana. Cukup ayah dan ibu saja yang pergi. Aku tidak mau sendiri hiks ...”

“Jadi ... kau sudah ... mengingatnya ya, Rei?” tanya Raihan memastikan ingatan adiknya yang hilang sejak kecelakaan dua belas tahun yang lalu.

Reino menggeleng lagi. Ingatannya belum kembali, ia hanya tahu masa lalunya dari cerita Maria.

“Begitu, ya?” Natsuki tersenyum. “Tidak apa ... pikiranmu  ... mungkin tak mengingatnya ... tapi ... aku yakin hatimu ... masih mengingatnya ... hari ... di mana kita bersenang-senang bersama ... aku menyayangimu, Rei ...”

MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang