Prolog

1K 112 18
                                    

Song: When The Truth Hunts You Down - Sam Tinnesz

(Kalian bisa melihat tautan playlist buku ini di bab MAKLUMAT. Atau kalian bisa DM Dee untuk tautannya.)

.

.

.

Mata biru itu berkilat seolah hendak menghantar kiamat. Dada Jeno menyempit sesak. Rasa sakit menyerang sekujur inci raga, membuatnya tak mampu berkutik; jatuh ke permukaan tanah kasar dan menggesek lutut hingga lecet tanpa bisa ia beri perhatian. Sosok bermata biru mendekat, berdiri di hadapan Jeno yang mendongak sambil mengerut kesakitan.

"Siapa kau?"

Deru napas Jeno memburu seiring pertanyaan yang keluar susah payah. Telinganya berdenging. Ia butuh tahu sosok itu, vampir yang berhasil membuatnya bertekuk lutut, melupakan senjata yang siap dikokang. Sosok itu seakan memiliki kendali yang tidak pernah Jeno rasakan dan temui sebelumnya. Terlebih, kedua mata itu.

"Aku adalah kematianmu." Suara si vampir bergema.

Jeno semakin mendongak, berusaha menangkap rupa wajah si sosok pucat. Namun, mengabaikan jarak sedekat ini, ia tetap tidak mampu.

Kembali mengerang, jantung Jeno seakan menebal dan berdetak makin gila, mengancam lepas dari lingkup rusuk dan dadanya. Ia meremat bagian depan baju kuat-kuat, berusaha menahan dorongan jantung yang menolak tinggal.

"Apa yang kau lakukan padaku?" lirihnya. "Apa yang sedang kau lakukan? Kau sedang membunuhku?"

"Meski ingin, aku tidak bisa," jawab si vampir. "Aku adalah kematianmu, tetapi kau juga adalah kematianku. Karena itu, kita tidak bisa mati di tangan satu sama lain. Ironis."

Kalimat itu membuat rasa sakit dan sesak, serta gejolak liar jantung yang seolah ingin lepas, seketika lenyap, menyisakan raga Jeno dalam keadaan sehat walafiat yang asing. Ada sebersit perasaan, pengetahuan dan kesadaran, yang mengingatkan bahwa ia tidak seharusnya merasa seperti ini; tidak ketika Jeno tak mengetahui kondisi si vampir. Apa mungkin dia merasakan hal sebagaimana yang kurasakan?

Ketika pada akhirnya Jeno bergerak bangkit, menyamakan tinggi badan dengan wujud si vampir, barulah ia bisa menangkap rupa wajahnya dengan jelas. Sebagaimana malam itu, yang terpampang adalah wajah itu, yang dengan berani dan sok menarik hasrat kerja sama Lia lepas darinya. Meninggalkan Jeno bagai si dungu dan bocah haus perhatian. Setelah segalanya, ia seharusnya membenci sosok ini, tetapi anehnya, ia lantas merasakan simpati.

Butuh waktu beberapa saat untuknya kembali menemukan suara. "Siapa kau sebenarnya?"

Wajah berbalut kulit pucat itu menarik senyuman tipis nan lembut. Manik birunya tidak terlihat seteguh sebelumnya. "Siapa kau sebenarnya?" ia balas bertanya.

Sebelum Jeno mampu menjawab, sebuah pusaran terasa seolah merenggut raganyaㅡtidak, mungkin merenggut raga si vampir menjauh dan meninggalkannya, hingga yang tersisa hanyalah gambaran kecil nan buram yang lenyap menjadi debu.

Ketika akhirnya merasakan permukaan empuk kasur di balik punggungnya, Jeno membuka mata.

* * *

Sudah lama wanita itu menempati alam bawah sadar Mark dalam wujud gelombang mimpi fana memabukkan. Puncaknya adalah ketika bersama Haechan, dan saran lelaki itu untuk menerima dan berbagi, membawa sosok si wanita yang adalah Nari semakin gencar merasuk alam mimpi. Ketika Mark tertidur usai perjalanan panjang dengan kendaraan manusia yang tidak bersahabat, di tengah lelahnya, Nari muncul. Mark melihatnya bagai sosok seorang ibu. Sorot mata damai memandangnya dari kejauhan, sehingga tanpa ragu Mark mendekat, meraih uluran tangannya.

"Sudah sangat lama, Anakku." Nari membawa telapak tangan Mark ke hadapan bibir, mendaratkan kecupan. "Bagaimana rasanya bertemu lagi?"

"Kita baru menghabiskan waktu beberapa malam lalu, Bu," ujar Mark tanpa beban.

Nari tertawa. Ia menarik sang putra menuju sebuah bangku kayu, dan ketika Mark menempatkan diri di sana, ia berubah menjadi bocah berusia tujuh tahun; putra kebanggaan sang ibu.

"Safirku." Suara Nari terdengar lebih lembut. Mark baru menyadari bahwa ia sedari tadi mendongak penuh puja pada wanita cantik itu. "Aku sedang tidak membicarakan diriku. Kau baru melakukan pertemuan dengan orang yang seharusnya kau temui sejak lama."

"Aku ... tidak mengerti." Mark menggeleng pelan.

"Tidakkah dia menggemaskan?"

"Siapa, Ibu?"

Nari tersenyum dan mengusap ujung hidung pucat Mark. "Ini semua karena ayahmu. Bagaimana kabarnya?"

Setelah kalimat-kalimat Nari sebelumnya, Mark lebih memahami yang ini. Mendengar sang ibu membicarakan ayahnya membuat Mark Kecil seketika mengangkat bahu acuh tak acuh. Ia menolak pandang dari wajah cantik sang ibu, hanya menyorot tatapan kesal pada ruang kosong di depan.

"Dia semakin galak. Ibu tahu, aku melarikan diri darinya."

"Ayahmu, kan, memang keras sedari dulu."

"Tapi sekarang lebih menyebalkan. Aku tidak berani bertatap muka dengannya, Bu."

Nari kembali tertawa. "Akan ada saatnya, Sayang. Ketika matahari dan bulan bergerak dalam ritme harmonis dan menciptakan pemandangan bagai wabah penyakitㅡdan memang wabahlah yang ia bawaㅡkalian semua akan membaik. Kalian bertiga."

"Aku, Ayah, dan siapa, Bu?"

Nari tersenyum. Kemudian ia membungkuk, berbisik di telinga Mark.[]

.

.

.

Selanjutnya: 1 | Kosong dan Tidak Ke Mana-Mana

[✓] Ocean Eyes Arc #2: Burning Soul [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang