3 | Bulan dan Matahari

670 91 20
                                    

Song: The Wisp Sings - Winter Aid

(Kalian bisa melihat tautan playlist buku ini di bab MAKLUMAT. Atau kalian bisa DM Dee untuk tautannya.)

.

.

.

Jangan salahkan Haechan apabila lebih menyayangi Seojun, pria yang memperkenalkannya dengan dongeng-dongeng menakjubkan sebelum tidur. Perhatian yang Seojun beri sejak Haechan kecil membuatnya ragu menyebut Lia sebagai figur ibu yang baik. Setidaknya secara gamblang. Sebagai pria sibuk, yang melek ketika matahari belum menyapa dan tidak tampak meski sang surya sudah memberi salam istirahat, Haechan paham akan konsekuensi melihat ayahnya kurang dari 24 jam dalam satu minggu. Meski begitu, Seojun mengganti kehadirannya dengan buku-buku yang ia beli setiap akhir pekan, juga beberapa tumpuk DVD yang bisa Haechan tonton untuk mengusir bosan. Curah perhatian Lia malah bisa dihitung jari. Wanita itu bahkan tampak tidak nyaman menjadi seorang ibu. Ia hanya memperlakukan Haechan seadanya, bahkan menganggap Seojun terlalu memanjakan sang putra dan merasa cemburu karenanya.

Seojun memang tidak rutin mengunjungi kamar Haechan setiap malam. Pria itu datang sesekali, hanya ketika sempat dan Haechan belum terlelap. Namun, setiap kedatangannya membuka gerbang fantasi yang seolah memikat Haechan untuk ikut terseret arus. Kisah yang paling sering ayahnya ceritakan adalah kisah cinta tak berbalas Apollo, sang Dewa Cahaya, kepada Selene, sang Dewi Bulan. Haechan sampai mengingat detail cerita itu dari awal hingga akhir.

Dikisahkan, Apollo menaruh rasa cinta terhadap adik Helios, Selene. Apollo tidak pernah bertemu Selene, tetapi cintanya tumbuh setiap kali memperhatikan bulan di tengah tabur bintang, di sisi bentangan sungai Leira yang membeku di musim dingin sembari memainkan lira*; alat musik yang Hermes, sang Dewa Pembawa Pesan, hadiahkan untuknya.

"Bekalmu untuk menyanyikan lagu dunia, mengisahkan surga dan neraka yang selalu makhluk bumi terka-terka," ujar Hermes ketika menghadiahinya.

Lira itu berangka emas yang mantap dan kokoh saat dipegang. Tanpa sadar, ia menjadi jimat dan tangan ketiga Apollo. Sebagaimana yang diharapkan, Apollo selalu membawanya ke mana-mana, termasuk dalam petualangan ke bentangan sungai Leira.

Pertama kali Apollo mendengar kabar Selene yang rupawan adalah ketika perjalanan mendaki bukit bersalju sarat pinus. Ia melangkah dalam gelap, berusaha mencapai puncak bukit demi memainkan lira di bawah langit malam. Sinar bulan seolah berpihak padanya. Benda itu tidak ke mana-mana, menemani langkah Apollo, menjadi lampu alamiah yang setia menyorot padanya bagai istri yang patuh. Ketika Apollo mendongak, bulan seolah tersenyum teduh, menghentikan langkahnya di dekat pohon pinus tua. Terbukalah mulut Apollo untuk bertanya.

"Siapakah dia?" Apollo mendongak pada bulan yang bersinar cerah. Pohon Pinus Tua sadar siapa yang dimaksud sang dewa.

"Dialah putri Hyperion dan Theia sang Titan, saudari Helios dan Eos. Dialah zat yang menyelamatkan bulan dan membawanya melintasi langit dan surga. Ibu sang malam, Selene sang Dewi Bulan."

"Selene?" Apollo bertanya memastikan dan Pinus Tua merunduk ke arahnya, seakan mengiyakan. "Apa dia tidak tahu aku Dewa Cahaya atau sebagainya?" celetuknya, merujuk pada usaha sang dewi yang terus menyorotkan sinar rembulan padanya.

Apollo terkekeh. Mungkin sang dewi tidak menyadari kemampuannya menciptakan cahaya yang lebih terang dibanding apa pun apabila ia menghendaki. Setelah mengeratkan ikatan lira di punggung, Apollo lanjut mendaki, dengan Selene yang masih kerap menemani.

Ketika Apollo tiba di puncak bukit, tubuh besar nan kekarnya berdiri tegak seolah menguasai dunia, memperhatikan putih salju yang terbentang di bawahnya; ladang dosa dan pahala yangㅡlucunyaㅡseolah tiada ujung. Ia meraih lira di punggung, memangkunya di lengan kiri, pun memetik senar demi senar di antara jari jemari.

[✓] Ocean Eyes Arc #2: Burning Soul [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang