16 | Cahaya Meredup

240 32 0
                                    

Playlist: Cornfield Chase - Hans Zimmer

.

.

.

Haechan mendengar suara deru napas seirama denyut jantungnya yang tenang. Perlahan, kelopak matanya terbuka, menangkap cahaya seketika. Rasa hangat menerpa kulit dan sekujur tubuhnya, membuat ia merasa nyaman, aman, dan tenteram. Haechan membuka mata lebih lebar, mendapati cahaya yang teramat silau, tetapi ia tidak harus memejamkan mata sebab segala hal terasa begitu familier.

Bangkit dari posisi berbaring, Haechan mendapati diri berdiri di tengah ladang gandum keemasan. Ia mendongak, menyaksikan lingkar bola api yang menggantung rendah di angkasa, beberapa meter saja dari puncak kepalanya, tetapi ia tidak merasa panas maupun terganggu akan itu. Di sekitarnya, pucuk-pucuk gandum tampak sarat isi, menggemuk dengan angin sepoi yang menggerakkannya ke kanan dan kiri, bagai biji emas akibat muntahan cahaya matahari. Ini adalah pemandangan yang ganjil bagi Haechan.

Seolah hal itu tidak cukup menciptakan keanehan, ketika menunduk dan memperhatikan kondisi diri, Haechan menyadari ia tidak mengenakan pakaian sebagaimana yang selalu ia kenakan. Sebuah baju besi tampak membalut bagian atas tubuhnya, sedang lengannya diisi oleh perhiasan emas bertatahkan permata delima. Di pundaknya, jubah satin sutra tampak menggantung elok. Bagian bawah tubuhnya dibalut celana sebatas lutut, dengan alas kaki bertali yang merambati betis. Ini adalah pakaian yang sangat aneh dan Haechan tak mengerti bagaimana bisa sampai mengenakannya.

"Hei!"

Di tengah suasana yang hanya diisi oleh deru angin sepoi, Haechan tiba-tiba mendengar suara seseorang. Ia lekas menoleh ke kanan dan kiri, depan dan belakang, mencari asal suara tersebut.

"Hei!"

Suara itu terdengar lagi, tetapi tak ada sosok yang muncul. Di atasnya, bola api raksasa perlahan bergeser, melintasi garis khatulistiwa, merenggut cahaya di sekitarnya. Menyadari kegelapan, Haechan mendongak, menyaksikan bola raksasa perak yang perlahan bergerak memasuki orbit. Angin yang semula bergerak sepoi, kini menyapu tanpa tahu batas, nyaris mengayunnya dari pijakan. Akibat hal itu, Haechan jadi menyadari kepalanya yang dilapisi rambut ikal keemasan, bukan helai karamel sebagaimana yang ia miliki. Semua tampak aneh dan Haechan mulai merasa takut.

Dua bola raksasa menciptakan singgasana di atas langit. Satu yang semerah dan seterang api memiliki ukuran lebih besar dibanding lainnya, yang berwarna perak dengan pendar malu-malu, bagai mutiara di tengah angkasa. Perpaduan mereka mendorong ladang gandum, yang semula berwarna emas cerah, ke dalam ember perasaan anggur merah, mengubah warnanya menjadi sesuatu yang asing. Sesuatu yang tidak benar.

Napas Haechan kini memburu.

Apa ini? Apa ini? Apa ini?! jerit batinnya ketakutan.

Haechan ingin lari. Ia ingin meninggalkan ladang gandum dan bersembunyi di tempat teraman di mana tidak satu pun bisa menemukannya, termasuk dua bola raksasa yang seolah mendelik marah ke arahnya.

"Hei!"

Suara itu terdengar lagi, lebih jelas dan dekat kali ini. Rasa panas yang semula tidak Haechan rasakan sama sekali kini lantas menguasai diri. Bulir keringat sebesar biji jagung mengaliri pelipis, leher, dan punggungnya. Tenggorokannya seketika terasa kering, seolah tak dibasahi berhari-hari. Rasa sakit perlahan menyerang tubuh Haechan dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hingga tiba-tiba, sesuatu terasa membelit lingkar pinggangnya, menariknya mundur. Haechan tersentak, seketika menoleh ke belakang.

"Hai."

Haechan berkedip, tak mengerti.

Wajah Mark menyambut pandangannya. Kedua manik biru si pemuda menatapnya penuh puja.

[✓] Ocean Eyes Arc #2: Burning Soul [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang